Benarkah Lara harus membuat kebahagiaan sang papa terancam kandas karena kehadirannya?
Pak Herman terlihat ragu mendengar pilihan yang diberikan istrinya. Sementara Lara hanya bisa menangis melihat papanya yang tak mampu mengambil sikap tegas.
‘Ya Allah sebegitu takutnya papaku pada Bu Erna. Apa sebenarnya yang terjadi sama papa hingga dia seperti kerbau yang dicucuk hidung mengikuti semua kemauan ibu tiriku?’ gumamnya di dalam hati.
Sebenarnya Lara juga sudah merasa sangat bahagia karena Pak Herman yang selama ini tak pernah memberikan perhatian sedikit pun, tiba-tiba saja berubah 180 derajat dan itu membuat relung hati terdalamnya sedikit terketuk dan haru.
“Ayo cepat ambil keputusanmu, Pa!” teriak Sarah menahan kesal.
Namun, belum sempat Pak Herman menjawabnya, seorang pria berkacamata bersama perawat dengan setelan jas putih masuk ke ruangan itu, menghampiri dan langsung memeriksa keadaan Lara. Beruntung suasana berubah kondusif seketika.
“Syukurlah sekarang Nona telah sadar, pacar Anda ini benar-benar sangat perhatian bahkan dia sedikit pun tak pernah ingin meninggalkan Anda selama koma!” Dokter itu tersenyum sumringah melirik pada wajah Andri yang malah garuk-garuk kepala tak gatal dan tersenyum karena merasa lucu.
‘Kenapa dokter dan suster malah mengira kami pacaran hehehe.’
“Maaf, Dokter, Anda salah paham. Perempuan cantik yang berbaring ini adalah kakak kandungku, dan aku adalah adik kesayangannya … bukan pacarnya!” tegas Andri langsung menjelaskan.
Lara hanya bisa tersenyum dengan anggukan pelan membenarkan perkataan adiknya.
“Masya Allah, saya kirain pemuda ini adalah pacar Anda, ternyata malah adiknya, ya? Saya sangat senang melihat hubungan adik dan kakak begitu kompak dan juga saling menyayangi, apalagi di zaman sekarang ini sudah terlalu susah untuk melihat keakraban di antara sesama saudara.” Dokter itu kembali mengambil alat yang dibawakan oleh suster dan mengambilnya.
“Kita periksa lebih detail dulu ya, Nona,” lanjut sang dokter dengan senyuman ramah membuat siapa pun pasien akan merasa jauh lebih tenang dengan sikapnya.
Dengan cepat gadis yang masih terbaring di brankar itu tersenyum seiring anggukan kepala. Lara disuruh membuka mulut, kedua matanya juga diperiksa oleh dokter yang terlihat begitu ramah dengan usia sekitar 40 tahunan.
“Sekarang coba gerakkan kedua kaki dan juga tanganmu, Nona!” titah dokter itu lagi.
Sang dokter juga kembali melakukan pemeriksaan terhadap kedua kaki Lara hingga selesai.
“Setelah saya periksa secara menyeluruh, seharusnya Nona sudah dalam keadaan baik-baik saja tapi kenapa belum bersuara sejak dari tadi ya, Nona?” Dahinya berlipat bingung.
Lara melakukan apa pun yang dikatakan oleh sang dokter dan merasakan seluruh tubuhnya hanya merasakan sakit karena mungkin efek dari tabrakan yang dialaminya. Namun, dia bisa meyakinkan diri bahwa tak ada organ tubuhnya yang mengalami kefatalan akibat kecelakaan.
“Sa-saya hanya haus saja, Dokter …,” sahutnya lemah.
“Dasar Kak Lara, tadi Andri-kan udah nanya apa yang sedang dirasakan, kenapa malah diam? Harusnya tadi bilang kalau kakak itu lagi haus, memangnya Andri sebegitu pelitnya nggak mau mengambilkan air minum,” omel adiknya selaras cebikan di bibir.
Pemuda itu dengan cepat mengambilkan segelas air yang ada di dalam dispenser, membantu kakaknya dengan posisi sedikit duduk, lalu memberikan perempuan itu air yang ada di dalam gelas hingga masuk ke tenggorokan sang kakak sampai tandas.
“Kalau begitu, saya permisi dulu. Nona Lara belum diizinkan untuk pulang sampai besok karena pihak rumah sakit masih akan melakukan observasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. Semoga masih sabar berada di sini ya. Semoga Nona cepat sembuh,” ucap Dokter itu tersenyum sebelum membalikkan tubuhnya.
“Terima kasih banyak, Dokter," ujar Pak Herman berbarengan dengan putra bungsunya — Andri.
Begitu pun dengan suara pelan Lara yang mengucapkan ungkapan terima kasih pada dokter yang memeriksanya. Matanya kembali teralihkan pada sosok sang papa yang seolah sudah berubah dengan menyambut lagi kehadirannya setelah sekian lama tak pernah memberikan perhatian.
Lara sudah sangat kebal dengan kata pedas yang keluar dari mulut sang ibu tiri, tapi hatinya begitu terasa sakit apabila perkataan dan juga umpatan kasar jika meluncur indah dari bibir papanya sendiri.
Gadis itu memang dari lahir dianggap sial oleh papanya karena lahir seiring dengan hembusan terakhir nyawa istri tercinta. Herman menganggap Lara sebagai anak pembawa sial karena telah membuat wanita yang sangat disayang meninggalkannya untuk seumur hidup.
“Sekarang ayo kita pulang, Ma! Ngapain menunggu anak pembawa sial ini, bagusan putus saja hubungan kita selamanya agar dia tak merepotkan lagi!” Mario kembali bicara dengan tatapan sinis pada gadis yang terbaring lemah di atas brankar.
Pria itu memang tak suka dari awal pada adik tirinya itu karena Lara lebih bisa diandalkan dari dirinya yang hanya tau meminta uang pada Erna tanpa ingin melakukan pekerjaan.
“Wah, kamu benar juga, Sayang. Untuk apa kita berada di sini kalau hanya bikin darah tinggi saja!” Sarah menatap tajam suaminya, “lagian papamu sepertinya juga sudah mengambil pilihannya sendiri! Mama akan segera menggugat cer–”
Belum selesai Sarah mengucapkan kata-kata pedas yang ingin menggugat cerai sang suami tapi Pak Herman lebih dahulu membuatnya tersentak kaget.
“Tutup mulut kalian berdua, jangan selalu mengoceh tak karuan!” sela Pak Herman memarahi istri dan anak tirinya.
Selama ini dirinya selalu mengalah karena tidak suka ada keributan dan selalu membiarkan anak kandungnya tertindas demi menyenangkan hati sang istri.
“Jangan ribut lagi dan bikin malu karena di sini rumah sakit, bukan pasar!” lanjutnya membungkam mulut istri dan anak tirinya.
Pasangan anak dan ibu itu pun akhirnya diam, padahal sebelumnya Erna begitu menggebu memarahi suaminya.
“Mama apa-apaan sih? Dari tadi kerjanya ngomel terus, daripada Mama di sini hanya menggerutu dan mengomel tak jelas, lebih baik pulang istirahat yang benar biar nanti nggak kumat darah tingginya!” pinta Andri berusaha mencari jalan terbaik agar tidak lagi terjadi keributan di antara kedua orang tuanya.
Erna langsung melotot, mengarahkan mata membulat pada putra bungsunya.
“Kamu lagi! Masih kecil sudah berani membantah orang tua, kamu mau jadi anak durhaka ngomong kasar begitu sama mama, iya?” tanya Erna dengan suara tinggi merasa kesal karena putra bungsunya bukan membela tetapi malah mengusirnya pulang.
Mario mendekati Andri yang masih berdiri di samping brankar Lara. “Eh Bocah Tengil! Kamu itu masih kecil dan kerjaanmu baru bisa minta duit untuk jajan sama mama dan papa, jadi nggak usah sok bijak menasehati orang tua segala! Ngurus diri sendiri saja belum bisa tapi belagu ngurusin orang lain!” bentak Mario pada adiknya selaras tangan yang mencengkram kerah baju si bungsu.
Pak Herman dengan cepat menarik tubuh Mario yang sedikit gempal hingga pria itu kesal.
“Lepaskan adikmu, Mario! Lebih baik kamu pulang bersama mama daripada membuat gaduh di rumah sakit ini, malu kalau didengar sama orang! Ngomongin adik taunya minta duit tapi kamu sendiri nggak berkaca!” raung Herman dengan tatapan tajam.
“Pa!! Jangan pernah menceramahi putrakuu! Mario ini anak baik dan tubuhnya gak bisa dibawa untuk bekerja, yang ada nanti malah jadi sakit! Mario ini anakku yang paling baik dan suka membantu pekerjaan di rumah!” Erna sungguh tak terima kalau anak bawaan dari suami pertamanya mendapatkan hinaan.
“Ini lah kenapa Kak Mario selalu membangkang karena Mama selalu membela pria benalu seperti dia!” tunjuk Andri dengan jari kiri.
Plak!
Satu temparan akhirnya mendarat di pipi Andri karena Erna benar-benar Tidak suka Mario dianggap benalu oleh anak bungsunya sendiri!
“DIAAM! Silakan kalian pergi dari sini semua!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Umi Fuadah
hadeeeh laki2 kok nggak tegas blas.. memalukan
2023-11-11
0
Dwi Retnowati
bodoh JD cewek
2023-11-10
0
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
iiihhh Bu Erna tega bener ya, sampai menampar putranya sendiri
2023-05-11
1