bab 4

Bab 4

"Ya Allah, Jenar! Kamu mau buka warung di rumah?" omel Mamak Ndari padaku saat melihat hamparan makanan yang sudah aku beli secara online demi bisa berjumpa dengan Bang Agus.

Aku hanya diam saja. Biarin deh Mamak mau berkomentar apa. Yang penting aku masih pengen usaha demi bisa berjumpa dengan Bang Agus tercinta.

"Kalau Mak mau, makan aja," sahutku tak terlalu menggubris kemarahan Mamak.

Tapi sepertinya kata-kata hanya membuat mamakku kesal. Plak! Dengan teganya, mamakku menempeleng kepalaku.

"Ngapain kamu hambur-hamburin uang kaya gini? Mamak udah masakin pete sama rempeyek. Kamu malah jajan sebanyak ini!" gerutu Mamak Ndari padaku.

Mamakku selalu saja seperti ini. Ngomel-ngomel nggak jelas dan selalu ngomentarin apa pun yang aku lakuin. Yang penting kan aku jajan nggak pakai duit Mamak. Kalau aku pakai duit mamak, udah pasti dihajar aku.

"Iya, nanti aku makan!" jawabku enteng.

Aku lagi pusing mikirin Bang Agus. Aku juga lagi pusing mikirin duitku yang udah hangus. Perjuanganku sia-sia sudah. Kini ditambah mamakku juga ikut ngajak ribut.

"Daripada kamu ngabisin uang buat jajan, mendingan kamu nabung buat kawinan! Mau sampai kapan kamu kayak gini terus?" Mamakku mulai membahas tentang tabungan pernikahan.

Setiap kali aku mengeluarkan uang untuk diriku sendiri, mamakku selalu saja mengomentari. Seolah mamakku tidak ikhlas aku menggunakan uangku untuk hal-hal yang aku sukai. Mamakku selalu saja menyudutkan aku dan memintaku untuk segera menabung demi biaya pernikahanku nanti.

"Kalau ada duit lebih tuh baiknya disimpen! Biaya nikah zaman sekarang tuh mahal! Kalau kamu makin nunda-nunda nikah, juga makin mahal nantinya!" omel Mamak Ndari tak henti-hentinya membahas tentang biaya pernikahan.

Padahal uang yang kuhabiskan juga tidak bernilai sampai puluhan juta. Tapi rasanya aku udah kayak penjahat korupsi, cuma karena aku menghabiskan uang ratusan ribu untuk jajan.

"Aku juga tahu, Mak! Jenar juga nabung kok!" sahutku pada Mamak Ndari. "Tapi mau gimana lagi? Jenar juga belum punya calon, ngapain nabung banyak-banyak dari sekarang?"

Kalau soal nabung buat nikahan, tentu aja aku juga pengen tapi. Tapi masalahnya, calonnya aja belum ada. Aku mau nikah sama siapa emangnya?

"Ngeles aja kamu bisanya! Kamu mau nunda sampai berapa abad lagi? Kamu pengen nikah waktu kamu udah jadi nenek-nenek?" sindir Mamak Ndari. "Kamu tahu nggak biaya dekor manten? Kamu tahu nggak biaya makanan buat hajatan? Kamu udah gede kayak gini harusnya kamu lebih bisa ngatur uang. Gimana kamu bisa nikah kalau kamu begini terus?"

Mamak Ndari nggak tahu aja kalau sekarang ini aku sedang berusaha mencarikan calon menantu untuknya. Mamak Ndari bisanya cuma ngomel dan marahin aku terus setiap hari.

"Udah, deh! Capek ngomong sama Mamak!" ujarku, kemudian masuk ke dalam rumah tanpa ingin melanjutkan kembali perdebatan yang menyakiti hati ini.

"Kamu beneran kesambet, ya? Kamu hambur-hamburin uang kayak gini pasti karena kamu ketempelan sama jin!" ucap mamakku lagi kembali membahas soal jin. "Uangnya disimpan! Jangan dipakai jajan mulu!"

Ya ampun! Kenapa mamakku masih aja nganggep aku kesambet? Apa-apa nganggapnya kesambet.

"Mamak besok cariin dukun, deh! Kita ke tempat Pak Ustadz aja! Kalau perlu kita minta ruqyah sekalian!" sahut Mamak Ndari.

Aku hanya bisa mengelus dada. Pusing aku bagaimana harus menjelaskan pada Mamak Ndari. "Aku masih waras, Mak! Aku nggak butuh ruqyah!"

Samar-samar, aku dengar Arya ikut menimpali. "Bagus deh kalau Mbak kesambet! Sering-sering aja kesambetnya, biar aku bisa dapat makanan enak gratis sebanyak ini!" celetuk Arya.

Dasar adik laknat! Aku yang buntung, dia yang untung. Mendingan aku lanjut semedi aja deh daripada dengerin omelan Mamak.

****

Aku termenung sembari menatap tulisanku yang belum selesai. Rasanya nggak semangat banget buat nulis.

Aku kepikiran terus sama Bang Agus. Aku nggak tahu lagi gimana caranya biar aku bisa secepatnya ketemu lagi sama Bang Agus.

Harus pakai cara apa lagi, ya? Masa aku harus pesan makanan online terus? Lama-lama duitku bisa habis cuma buat makanan. Kalau habis, tapi bisa ketemu Bang Agus sih nggak apa-apa. Tapi ini? Udah abis duit, ketemu pujian hati juga masih sulit.

"Duh, harus ngapain lagi, ya?" gumamku mulai frustasi mencari ide.

Sebagai penulis, seharusnya aku tidak kekurangan ide. Tapi kalau lagi kayak gini, otakku mendadak buntu. Yang aku pikirin sekarang cuma bayang-bayang mukanya Bang Agus, bukan cara gimana aku bisa nemuin Bang Agus.

"Apa aku coba hubungin kantornya aja, ya?" ocehku mulai membuat rencana baru untuk mencari Bang Agus.

Sempat terlintas di pikiranku untuk menghubungi kantor Kojek demi mencari informasi tentang driver Agus yang sudah mencuri hatiku. Tapi aku harus gimana, ya? Aku harus ngomong apa? Nggak mungkin juga mereka akan membocorkan identitas driver dengan mudah.

"Ayo, mikir dong, Jenar!" ujarku sembari menjambak rambutku sendiri.

Mikirin Bang Agus beneran bikin aku kehilangan fokus. Konsentrasiku mulai buyar. Dari tadi nulis nggak selesai-selesai.

"Bang Agus? Kamu di mana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?" Lirik lagu Kangen Band tiba-tiba terlintas di benakku.

Bang Agus, kamu itu makhluk planet mana, sih? Kok rasanya susah banget buat nemuin kamu. Apa kamu udah pindah alam?

Semoga kamu baik-baik aja ya di sana. Aku sekarang lagi usaha buat nemuin kamu. Kira-kira kamu juga lagi usaha buat nyari aku nggak, ya? Aku kangen banget nih.

Aku meluapkan seluruh curahan hatiku sembari menatap aplikasi Kojek yang sangat ini tengah aku buka. Rasanya geregetan banget waktu aku pesan makanan, tapi nama driver yang ambil orderan bukan Bang Agus.

"Sayang banget sih aku nggak bisa milih drivernya," gerutuku kesal.

Coba aja aku bisa milih driver yang bakal ngantar pesanan. Semuanya nggak akan jadi rumit kayak gini. Aku juga nggak perlu kehilangan banyak uang. Aku juga nggak perlu pesen banyak makanan.

Kenapa sih sistem di aplikasi ini nggak mau berpihak padaku? Sekali-sekali kek bantuin orang buat jadi mak comblang.

"Bang Agus, apa kamu memang bukan takdirku?" gumamku ingin menyerah saja.

Tubuh udah lemes banget. Otak juga udah mampet banget.

"Apa aku daftar jadi driver aja, ya?" Mendadak terlintas ide gila yang muncul di kepalaku. Jika aku ikut menjadi driver, kesempatanku untuk berjumpa dengan Bang Agus lagi mungkin akan terbuka lebar.

Sepertinya ini bukan ide yang buruk. Jadi driver Kojek juga bukan pekerjaan sulit, kan? Ibu-ibu juga banyak, kan? Siapa tahu, dengan ini aku bisa berjumpa dengan calon imam pilihanku.

****

Terpopuler

Comments

🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈

🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈

wahahahahaa.. ayokmk smgt

2023-05-11

0

alexis_sances9

alexis_sances9

lanjut

2023-05-04

0

Sena_cantik9

Sena_cantik9

perjuangan

2023-05-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!