Bab 2
Krukkk! Waktu sudah menunjukkan tengah hari. Perutku sepertinya udah demo minta diisi lagi.
Siapa bilang kerjaanku cuma tiduran sambil main HP? Nyatanya nulis seribu kata aja, bikin satu piring nasi yang aku makan tadi langsung ludes. Kerja pakai otak itu beneran nguras tenaga.
"Duh, laper banget!" gumamku sembari berjalan menuju dapur untuk menemukan sesuatu yang bisa dimakan.
Sayangnya nggak ada apa-apa di dapur. Mau nggak mau, aku harus nyari sesuatu buat dimakan sebelum aku pingsan.
Aku melangkah menuju jendela dan mengamati situasi di luar rumah dengan penuh waspada. Kalau aku beli makanan di warung sekarang, pasti aku ketemu sama ibu-ibu. Kalau aku ketemu sama ibu-ibu, aku pasti disindir lagi. Kalau aku disindir lagi, nanti aku sakit hati. Kalau aku sakit hati, nanti imbasnya aku nggak bisa fokus cari duit.
"Pesan online aja, deh!" ujarku kemudian setelah memikirkan matang-matang baik buruknya jika aku membeli makanan di warung.
Ternyata lebih banyak buruknya. Mendingan pesan online aja. Aku tinggal duduk manis di rumah. Nggak perlu keluar panas-panasan. Nggak perlu buang-buang waktu. Nggak perlu buang-buang tenaga. Dan yang paling penting, nggak perlu ketemu sama ibu-ibu nyebelin.
"Pasti sekarang juga aku lagi digosipin di warung." Pikiranku selalu penuh dengan prasangka buruk setiap kali aku berjumpa dengan Bu Margiyati.
Aku segera meraih ponselku dan bergegas memilih makanan yang ada di daftar menu. Kalau pesan online, pilihannya lebih banyak juga.
Aku bisa beli siomay, martabak, cimol, sate maranggi, nasi padang, tanpa mengkhawatirkan uang. Sekali-sekali boleh dong nyenengin diri sendiri? Lagi pula pekerjaanku juga menghasilkan uang yang cukup besar untuk ukuran wanita single yang tidak mempunyai beban hidup sepertiku.
"Beli es buah juga deh biar seger!" ujarku segera memilih minuman dingin menyegarkan untuk mendinginkan otakku yang panas karena Bu Margiyati.
Usai memesan makanan, aku pun menunggu sembari menyelesaikan tulisanku. Jempolku sampai gemetaran saking laparnya.
Saat ini aku tengah menulis bab novel yang berisikan tentang tetangga julid yang mirip sekali dengan Bu Margiyati. Memang aku sengaja memasukkan karakter seperti Bu Margiyati dalam novelku sendiri. Meskipun ibu-ibu julid itu hanya bisa membuatku kesal, tapi sebagai gantinya aku membuat interaksi antara denganku dengan Bu Margiyati sebagai inspirasi untuk bab selanjutnya di novel yang saat ini tengah aku kerjakan.
Sebisa mungkin aku berusaha mengambil sisi positif dan juga keuntungan yang bisa aku dapatkan dari cibiran yang aku terima. Daripada stres mikirin ledekan mereka, mendingan mereka aku masukin aja ke dalam novel aku. Hitung-hitung sebagai inspirasi cerita.
Biarpun kadang juga aku agak sakit hati sebenarnya. Aku juga sadar kalau aku memang terlihat seperti pengangguran. Tapi yang penting aku tidak menganggur betulan, kan? Setiap bulan dompetku tidak pernah kosong. Paling sedikit, dua juta pasti aku kantongi.
Jumlah yang cukup besar untuk hidup di kampung kecil ini. Apalagi rata-rata penghasilan warga kampung di sini juga kebanyakan masih di bawah UMR.
Mereka udah nguli siang dan malam, tapi mereka cuma dapat bayaran di bawah standar. Kalau mau ngeledek, harusnya aku yang meledek mereka, kan? Aku bisa duduk santai di rumah tanpa berkeringat, dan aku bisa menghasilkan uang yang lebih banyak dari mereka.
Kalau mereka tahu kehidupanku yang sebenarnya, mereka bakal iri, kan?
[Saya sudah di depan, Kak.]
Aku langsung heboh mengambil jilbab begitu aku membaca pesan dari driver yang mengantarkan makananku. Makanannya sudah datang.
Segera kuraih jilbab bergoku dan aku pun bergegas berlari menuju pintu untuk menyambut makanan pesananku.
Driver yang membawa makananku itu sudah berdiri di depan pintu. Cowok ganteng dengan atribut berwarna hijau itu menyodorkan plastik makanan sembari melempar senyum padaku.
Astagfirullah! Aku langsung menjerit dalam hati begitu aku melihat paras driver kojek yang mengantarkan makanan itu.
Baru kali ini aku melihat driver kojek seganteng ini. Kulitnya putih. Badannya tinggi. Kelihatan proporsional banget!
Alisnya tebal. Bibirnya tipis. Senyumnya duh ... manis sampai bikin diabetes. Mimpi apa aku semalam? Padahal aku cuma duduk aja di rumah, tapi aku bisa berjumpa sama cogan.
Aku menatap driver ganteng itu tanpa berkedip. Mulutku juga menganga sampai iler pun hampir membanjiri sudut bibirku.
Nggak nyesel aku pesan makanan online. Kalau bisa manjain mata setiap hari lihat cogan kayak gini, aku rela deh mesen makanan online tiap jam.
"Mbak!" ujar driver itu sembari menepuk bahuku pelan.
Sepertinya driver itu sudah berteriak memanggilku sejak tadi. Masa sih aku bengong? Masak sih aku ngelamun dari tadi? Masa sih cuma gara-gara lihat driver ini aja, aku langsung jadi salah tingkah begini?
"Atas nama Mbak Jenar, ya?" tanya driver tersebut padaku.
Mau jawab aja rasanya udah gemeteran duluan. Jawab pertanyaan Mas Driver ganteng ini rasanya lebih sulit daripada jawab soal ujian UN.
"I-iya, betul!" ucapku dengan suara terbata-bata.
"Silakan dicek pesanannya dulu, Mbak!" ujar driver itu padaku dengan senyum ramah.
Ya, Gusti! Meleyot aku! Jantungku nggak kuat. Udah deg-degan banget ini. Rasanya kayak mau meledak.
"I-iya, Mas!"
Ini orang makan apa sih bisa terlahir ganteng kayak gini? Mukanya nggak kalah ganteng sama Nicholas Saputra.
"Udah semua, Mas," ucapku pada driver itu dengan senyum lebar hingga memperlihatkan gigi-gigiku.
Harusnya tadi aku pakai dempul dulu. Harusnya tadi aku pakai gincu dulu. Nyesel deh aku keluar dari rumah dengan tampilan kusam kayak gini.
"Kalau begitu saya permisi. Selamat menikmati, Mbak!" ucap driver itu kemudian berpamitan meninggalkan rumah.
Rasanya nggak rela banget waktu driver itu melangkah menjauh dariku. Hatiku masih saja berdebar meskipun aku hanya melihat punggungnya. Sepertinya aku benar-benar jatuh dalam pesonanya.
"Mas driver, apa ini yang dinamakan takdir?" ujarku mulai mendramatisir. Maklum, aku kan penulis novel romantis. Boleh dong lebay dikit?
Mas-mas kojek itu pun pergi, dengan membawa hati dan jiwaku bersamanya. Mungkinkah ini yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama? Meskipun aku sudah tua, nggak ada kata telat untuk jatuh cinta, kan?
"Mas kojek, I love you!" ucapku sembari tersenyum-senyum sendiri pada driver kojek yang sudah melaju dengan motornya itu.
Aku kembali masuk ke dalam rumah dan terus tersenyum seperti orang gila. Namanya juga lagi kasmaran. Aku nggak bisa menahan diri buat nggak senang saat aku berjumpa dengan pria idaman.
"Mas driver ... apakah kamu takdirku?"
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Raudatul zahra
hayooo ngaku thoorr
2023-08-14
0
Raudatul zahra
jangan-jangan,, bu margiyati di novel ini, terinspirasi dari kisah nyata author 😅😅
2023-08-14
1
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
nahhh kan bener...
smgt kk thor
dah like dah masuk fav
bunga mendrt....
2023-05-10
1