"Tolong kasih saya waktu," Selma memohon pada wanita bertubuh tambun yang memakai gamis berwarna cerah itu.
"Sudah dua minggu kamu telat bayar. Mau sampe kapan?!" Sentak wanita itu sambil berkacak pinggang.
"Maaf saya belum gajian, nanti awal bulan pasti saya lunasi," Lirih Selma sambil menundukkan wajah.
Wanita bernama Rosna itu menghembuskan nafas kasar, sebenarnya dia juga kasihan pada wanita muda yang berhutang padanya. Namun, ia juga tidak bisa memberikan kelonggaran lagi, karena Selma sudah lama menunggak.
Jika dia terus membiarkan Selma, Bila-bila semua nasabahnya iri dan ikut- ikutan menunggak, bisa rugi Rosna jika seperti ini.
"Aku itu sebenarnya kasihan sama kamu, kamu masih muda tapi harus menanggung beban keluarga seperti ini."
Mendengar ucapan Rosna, Selma semakin menunduk. Tetapi kemudian ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Rosna dengan senyum manis.
"Maaf ya Mbak Ros, tapi saya janji gajian nanti akan saya lunasi," ucap Selma dengan suaranya lembut.
"Kalau begitu beda hitungan ya Sel, perhari ada denda dua puluh lima ribu, kamu hitung sendiri. Pokok dan bunga awal jangan lupa di hitung, maaf meskipun aku kasihan aku nggak bisa kasih kamu keringanan. Bisa-bisa yang lain tiru nanti," ketua Rosna.
"Iya Mbak Ros, saya mengerti. Maaf kalau saya merepotkan."
"Ya, ntar kalau udah gajian cepet lunasin jangan molor lagi. Aku pamit dulu," ucap Rosna sebelum beranjak meninggal rumah dengan model lawas itu.
Selma mengangguk paham, gadis itu menatap lamat punggung Rosna yang menjauh. Rosna orang yang baik, meskipun dia menjalankan uang berbunga tetapi dia jiga masih memaklumi jika Selma kekurangan uang saat pembayaran. Hanya saja kali ini, Selma memang sudah sangat telat dari tanggal pembayaran.
Selma masuk dan menutup pintu, rasa lelah dan penat setelah seharian bekerja di pabrik tak menyurutkan selma untuk mampir ke kamar sang Bapak. Dengan jemari lentiknya Selma menyibakkan tirai dari kain batik lawas sebagai pengganti pintu di kamar Mardi, Bapaknya.
Dengkuran halus terdengar dari pria yang tenang berbaring, Selma pun mengurungkan niatnya untuk menyapa.
"Udah pulang si Rosna tadi?" Tanya seorang wanita yang tak lain adalah Ibu Selma, Ani.
"Sudah Bu," jawab Selma sambil meraih tangan Ani untuk di cium.
"Kamu tuh Sel, bikin malu aja. Kalau utang tuh mbok ya cepet di bayar, Si Rosna itu kalau lagi nagih suaranya kayak toa masjid tau nggak, bikin aku malu. Cepat lunasin!" Gerutu Ani dengan tatapan tidak suka pada anak keduanya itu.
"Ya kan Selma belum gajian Bu, darimana aku dapet uang buat bayar," Selma melepaskan tas selempang yang ia pakai meletakkannya di bangku kayu yang ada di dapur.
Letak dapur dan kamar Mardi memang tidak terlalu jauh, kamar mandi juga ada disebelahnya. Mardi sengaja di tempatkan di kamar belakang agar memudahkan dia ke kamar mandi dan dapur jika butuh sesuatu.
"Dari awal Ibu sudah hilang, kalau nggak ada uang nggak usah maksa bawa Bapak kamu ke rumah sakit, mahal. Kalau kayak gini gimana? Aku yang malu, paham!?"
Selma yang akan membasahi tenggorokan dengan air pun menunda, ia menatap Ani kemudian menghampirinya.
"Setidaknya Selma pengen yang mencoba yang terbaik untuk Bapak. Agar Bapak bisa sembuh dan kembali berkegiatan seperti sebelumnya! "
"Halah Bapak kamu memang udah Tua, mau berobat kayak apa juga nggak akan sembuh, " Ketua Ani sambil menatap remeh pada anak yang selama ini banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
"Sudah ya Bu, Selma mau mandi!" Ketus Selma, sambil berjalan melewati Ani begitu saja.
.
.
.
Tiga hari sudah Sofia menginap di rumah Sebastian, tak ada perdebatan yang berarti. Wanita yang tak lagi muda, tetapi tetap cantik.
Meski tak ada perdebatan bukan berarti rumah itu sudah damai, sekarang saja mereka sedang perang dingin. Meja makan yang seharusnya hangat akan perbincangan ringan antara suami istri dan mertua, berubah seperti rapat dpr yang sedang saling bersitegang. Marlina dan Sofia tak ubahnya seperti musuh yang saling melemparkan tatapan sinis, Sebastian hampir tak bisa menelan apa yang sedang ia makan karena suasana yang sungguh tidak enak ini.
"Mama akan pulang hari ini," ucap Sofia tiba-tiba, tentu saja itu sangat membuat Marlina senang setengah mati.
Wanita itu baru berencana akan meminta tian untuk menyuruh ibunya pergi, ternyata Sofia lebih peka dan pulang sebelum dia usir.
"Kenapa buru-buru sih Ma?" tanya Sebastian, sebenarnya dia masih ingin menghabiskan waktu bersama Sang Ibu meski keadaan di rumahnya seperti itu.
Marlina langsung mendelik tajam pada Sebastian. Sofia tersenyum tipis melihat tingkah menantu yang sangat jelas tidak suka dengan keberadaannya di rumah itu.
"Mama ada urusan penting yang harus di kerjakan Tian, mama bukan istri yang cuma bisa menghamburkan uang papamu, mama punya sedikit kesibukan yang bermanfaat. Ya setidaknya kesibukan mama lebuh berfaedah dari sekedar nongkrong di kafe," ucap Sofia dengan tenang, tangan lentik dengan kuku yang berwarna merah maroon itu mengusap sudut bibir yang sedikit kotor.
Tangan Marlina mengepal, mukanya merah padam menahan gemuruh di dada. Berani sekali wanita tua itu terang-terangan menyindir dia. Untuk kali ini Marlina memilih diam, yang penting mertua menyebalkan itu cepat pergi.
"Ma," panggil Sebastian dengan wajah memohon, pria itu tahu kemana arah pembicaraan Sofia.
wanita yang mengenakan pakaian berwarna biru mengangkat bahunya acuh, dia tidak perduli jika Marlina tersinggung. Toh , apa yang dikatakan Sofia adalah fakta.
Sebastian hanya bisa mendesah pasrah, ia melihat pada sang istri yang tengah mengepalkan tangan di bawah meja. Sebastian bersyukur karena Marlina bisa menahan amarah dan bukannya meladeni Sofia.
Setelah menyelesaikan sarapan Sebastian pun berangkat ke kantor dan seperti biasa tak lama setelah sang suami berangkat Marlina pun ikut keluar.
.
.
.
.
.
Senja mulai menyapa, langit jingga tampak begitu elok di dengan semburat keunguan. Sebastian memutuskan untuk pulang lebih awal hari ini. Dia ingin mengantarkan Sofia pulang, dia juga sudah sangat lama tidak berkunjung ke rumah besar semenjak dia menikah.
Rumah di mana dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang, tempat dimana dia bertengkar hampir setiap hari dengan Devi, saat mereka masih kecil. Sebastian anak yang sangat usil, dia selalu menganggu Devi ketika bermain, hingga akhirnya Kakak. Tanpa sadar Sebastian tersenyum mengenang masa lalu yang indah itu, rasanya ingin kembali mengulang masa dimana dia hidup tanpa beban.
Ah masa yang indah, sejenak Sebastian terlena dalam kenangan masa lalu, perjalanannya pulang terasa sedikit lebih menyenangkan. Tak butuh waktu lama untuk pria sipit itu sampai ke rumah.
Segera Sebastian turun dari mobil. Sebuah teriakan dari sang istri menyambutnya bahkan sebelum ia membuka pintu.
"Memangnya siapa kau?! Beraninya kau mengatur hidupku!"
Sofia duduk santai di sofa ruang tamu, tas yang berukuran tidak begitu besar ada di sampingnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Anita♥️♥️
haduhhh nasib Tian begitu memprihatinkan,,bisa"nya dapet istri modelan Alin
2024-04-01
0
kieky
apa sebastian g tau y, apa" aja yg istrinya keluarkan diluaran sana..jangan terlalu percaya dengan omongan istrimu tian..
2024-03-04
0
kieky
bener koq bu apa yg sibilng selma, sekalipun kita tau penyakitnya ridak bisa disembuhka, setidaknya kita uda berusaha untuk mengobatinya
2024-03-04
0