Perdebatan 2

"Sayang duduklah, kita bicarakan baik-baik," bujuk Tian pada istrinya yang sudah berdiri dengan tangan mengepal di meja.

Alin melirik tajam pada sang suami yang seolah lebih membela ibunya, Tian menggeleng pelan. Dia tidak ingin perdebatan itu semakin memanas.

"kenapa kau membahas Devi dia bahkan tidak ada di sini. Anak-anak Devi akan menjadi pewaris Wiguna, dia memantu tunggal di sana, sedangkan anak-anak Tian akan menjadi pewaris Bagaskara. Apa masalah semudah itu aku masih harus mengajarimu?"

"Lagi pula pernikahan, kalian sudah lebih dari lima tahun. Kau seharusnya tidak terus menunda kewajiban kamu sebagai seorang istri dan menantu, apa kau pikir aku merestui Tian untuk menikah denganmu hanya agar kau bisa menghabiskan harta anakku Mar?" Mata Sofia bahkan tak menatap sang menantu saat mengucapkan itu semua, sebenarnya dia juga sudah mulai malas membahas masalah yang sma terus menerus. Namu, Marlina terus mengelak dari kewajiban dia sebagai seorang menantu membuat Sofia geram.

"Suruh saja anak perempuan mu itu untuk melahirkan seorang putra lagi dan jadikan dia pewaris Bagaskara! Jangan terus mendesak aku hamil, aku belum siap!" Alin melenggos setelah menepis tangan sang suami yang masih memegangi lengannya.

"Sayang jangan kasar seperti itu," Tian masih berusaha berkata lembut pada Alin, meskipun dia tidak suka cara Alin bicara pada sang Ibu.

Sofia tersenyum sinis, dia menoleh menoleh menatap sang menantu dari atas sampai bawah. Semua yang melekat di tubuh wanita itu begitu mahal, jauh berbeda dengan apa yang dulu Marlina kenakan.

"Lalu kapan siapmu? sepuluh tahun ? lima belas tahun? Kapan?"

"Apa kau sengaja membuat Tian tidak punya keturunan? katakan saja jika kau memang tidak ingin punya anak dari anakku," ketus Sofia penuh penekanan.

Marlina sedikit tercengang, kenapa mertuanya itu seolah bisa membaca keinginannya. Dari dulu dia memang tidak mau repot masalah anak, tapi tidak mungkin dia bicara jujur pada Tian, Marlina hanya bisa mengulur dan terus mengulur.

"Kenapa Mama tega bicara seperti itu? tetu saja aku ingin punya anak dari Tian, dia suamiku. Aku hanya belum siap Ma, tolong mengertilah," kali ini Marlina melembut, air mata sudah mulai menetes membasahi pipi yang baru tiga hari yang lalu melakukan perawatan rutin di dokter kecantikan ternama.

Tian berdiri, dirangkulnya bahu Marlina yang mulai berguncang. Ia mengajak sang istri kembali duduk daan menenangkannya. sofia hanya bisa tersenyum melihat sandiwara menantunya yang semakin baik.

"Mama bukan tidak memberi kalian waktu, lima tahun bukan waktu yang singkat Marlina. Aku rasa itu cukup untuk kau bersenang- senang, sudah saatnya kau memenuhi kewajibanmu sebagai seorang menantu keluarga Bagaskara. Jika rahimmu bermasalah atau kau mengidap penyakit tertentu yang membuatmu tidak bisa hamil mungkin aku akan maklum. Tapi kalian berdua sehat dan sangat memungkinkan untuk memiliki keturunan, kalian sendiri yang terus menunda dan mengulur waktu."

"Ma, Tian mohon sudahi perdebatan ini," laki-laki berkulit putih itu menatap Ibunya dengan memohon. Namun Sofia seolah tak mendengar, kali ini tidak ingin mengalah dengan ego menantunya yang sudah kelewat batas.

Wanita paruh baya itu tak menghiraukan ucapan Sebastian.

"Jangan bersandiwara, itu malah membuat membuat mama muak, marlina. Ingat siapa dirimu sebelum Tian menjadikanmu Nyonya Bagaskara, aku setuju anakku menikah denganmu untuk menjadikan istri dan ibu dari anak-anaknya bukan sekedar untuk melayani dia! Jika hanya sekedar masalah ranjang, aku bisa membeli perawan tiap kali Tian mau melakukannya!"

"Ma!'' pekik Tian tertahan, dia merasa Sofia sudah sangat keterlaluan.

Marlina mendorong kursinya dengan kasar, wanita itu pergi berlari ke kamar dengan mata yang sudah berlinang air mata. Melihat hal itu, Tian segera menyusul langkah sang istri. Namun, Sofia mencegahnya dengan berkata. "Biarkan istrimu waktu untuk berpikir Tian."

Sebastian yang tadinya akan berlari menyusul Marlina pun kembali duduk. Lelah, itu yang sangat ia rasakan sekarang, Rasa penat yang ia bawa pulang dari kantor belum sepenuhnya hilang, sekarang dia harus menghadapi pertikaian Sofia dan Marlina sang istri yang seolah tak ada habisnya.

Sofia bangkit, ia berjalan mendekat pada sang putra yang terlihat frustasi. Sebenarnya, tak sedikitpun niat di hati Sofia untuk melakukan hal yang membuat Sebastian sedih. Wanita itu sangat menyayangi Sebastian, dia melakukan semua ini untuk satu alasan yang sangat kuat, sebuah alasan yang ia sembunyikan dengan begitu rapih.

Tangan Sofia terulur mengusap rambut Sebastian yang hitam dan tebal seperti sang ayah. Pria itu pun mendesah pasrah, dia tidak bisa marah pada sang ibu, tetapi dia juga tidak tega jika Marlina terus disudutkan Sofia seperti ini.

"Ma, Tian mohon. Jangan terus mendesak Alin, Tian akan bicara baik-baik padanya," ujar Sebastian sambil menunduk menyentuhkan keningnya di meja marmer.

Sofia mengambil nafas dalam sebelum mulai bicara."Kapan kau akan bicara? dan jika kau bicara pada Marlina, apa dia akan mendengarkan mu, Nak?"

Sebastian terdiam, dia memang tidak bisa menjamin Marlina kan setuju untuk progam hamil tahun ini. Sebenarnya Sebastian juga tidak yakin dengan alasan Marlina yang terus menyatakan belum siap untuk memiliki bayi. Padahal mereka sudah akan memasuki tahun ke enam pernikahan mereka.

"Mama melakukan ini untukmu Tian, umurmu semakin bertambah, kau dan istrimu itu tidak akan muda selamanya. Semakin bertambahnya umur seorang wanita, semakin besar pula resiko yang akan ia tanggung saat hamil. Apa kau ingin punya anak saat rambutmu sudah dua warna," ujar Sofia dengan lembut.

Sofia adalah sosok ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Tetapi di sisi lain dia juga wanita yang sangat mandiri dan cerdas.

"Tapi bukan begini caranya Ma, Mama nggak usah mengungkit masa lalu dia," ujar Sebastian dengan lesu.

"Sesekali, biar dia tahu ingat dari mana dia berasal!" tegas Sofia.

Sebastian tak ingin lagi membantah ucapan sang Ibu, ia lebih memilih diam daripada berdebat. Sekarang dia lebih memikirkan keadaan Marlina, wanita itu pasti sedang menangis dalam kamar.

Pria itupun pamit kembali ke kamar, Sofia pun mengangguk paham. Sofia tahu betapa Sebastian sangat mencintai istrinya, tidak ada yang salah dengan itu. Namun, terkadang Sofia ragu dengan hati Marlina, bukan dia ragu karena marlina berasal dari keluarga biasa. Dia ragu karena tak melihat cinta yang tulus di mata wanita itu.

"Semoga wanita itu benar-benar mencintaimu Nak," gumam Sofia menatap nanar punggung Sebastian yang menaiki tangga.

Terpopuler

Comments

EuRo

EuRo

awalnya kupikir Sofia tipe mertua yang rese, tapi sepertinya dia begitu karena feeling seorang ibu yang sayang anaknya.

2025-01-15

1

Rysa

Rysa

oh ini mertuanya baik....
alìn punya alasan apa ya sampai gak mau punya anak

2025-02-28

0

Anita♥️♥️

Anita♥️♥️

dari sini q bisa tau bu Sofia melakukan ini karna menyayangi anaknya

2024-04-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!