Perjodohan?

Bismillah.

"Makasih ya pak." ucap Sakira ramah pada pengemudi grab mobil yang tadi sempat Sakira pesan.

"Sama-sama neng."

Setelah membayar grab Sakira segera masuk ke dalam rumah orang tuanya, tidak biasanya Sakira disuruh pulang secara mendadak oleh umi Intan.

"Kira-kira kenapa ya umi suruh Sakira pulang secara mendadak." ucap Sakira pada diri sendiri.

Gadis berusia 19 tahun itu masih bertanya-tanya kenapa uminya menyuruh dia pulang. Sebenarnya hari ini Sakira ada jadwal untuk mengajar les. Siapa sangka tadi ada musibah yang tak teduga. Sampai akhirnya Sakira meminta untuk cuti satu hari ini.

Kebetulan uminya juga menyuruh sakira untuk pulang secara mendadak. Sampai di depan pintu rumah orang tuanya Sakira langsung mengucapkan salam.

"Assalamualaikum umi." sapa Sakira.

"Waalaikumsalam kamu udah sampe, ini sayang duduk dulu bentar."

Tak perlu sang umi menyuruh dua kali Sakira sudah duduk di sebelah umi Intan. Bersamaan dengan itu seorang ikut bergabung di ruang tamu.

"Abi tumben sudah pulang."

Sakira menatap bingung sang abi, biasanya abi Gilang akan pulang saat sore hari. Tapi sekarang baru pukul 2:30 abi Gilang sudah berada di rumah.

Kepala Sakira isinya sudah berbagai pertanyaan yang belum memiliki jawaban, dia menatap umi dan abinya secara bergantian. Tapi kedua orang itu hanya tersenyum pada Sakira. Sakira merasa ada yang aneh sekarang.

"Abi ada acara penting sama anak dan istri abi." sahut abi Gilang. Menjawab pertanyaan putrinya.

Sakira mau tidak mau akhirnya mengangguk mengerti. Jika sudah seperti ini Sakira paham pasti hal penting yang tidak main-main akan dibahas oleh orang tuanya.

"Sakira." ucap umi Intan terdengar begitu lirih di telinga Sakira.

"Iya um." jawab gadis berbalut hijab army itu dengan senyum yang selalu menghias wajah cantiknya.

"Sakira, abi sudah pernah bilang sama kamu kan, suatu saat nanti abi akan menjodohkan kamu dengan seorang."

"Iya abi, Sakira masih mengingat semuanya."

Tidak ada selembar kecewa pun yang tergambar di wajah cantik Sakira. Hanya ada senyum yang selalu menghias wajahnya.

"Nak." Umi Intan mengelus pucuk kepala Sakira yang tertutup hijab dengan lembut.

Sejujurnya ada perasaan tidak tega di hati umi Intan, karena sudah berani mengatur kehidupan putrinya untuk ke depannya. Apalagi ini masalah pernikahan yang akan Sakira jalani seumur hidup, bersama pasangannya nanti.

"Nak." ulang abi Gilang mengulangi perkataan istrinya barusan.

Sakira hanya putri mereka satu-satunya, harta paling berharga yang dimiliki umi Intan dan abi Gilang. Mereka ingin Sakira hidup bahagia dunia akhirat.

"Nak, waktunya sudah tiba abi akan menjodohkan kamu dengan seorang anak teman abi, apa Sakira siap?"

Abi Gilang kali ini bertanya dengan sungguh-sungguh, jika putrinya menolak abi Gilang tak akan memaksa kehedak putrinya. Karena kebagian Sakira nomor satu bagi mereka dari pada yang lain.

"Apapun pilihan kamu, Insya Allah umi dan abi akan menerimanya sayang." ujar umi Intan menguatkan putrinya.

Sakira berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan papanya, dia akan meyakinkan hatinya terlebih dahulu.

Sejenak Sakira menatap umi dan abinya secara bergantian sebelum dia memberikan jawaban untuk mereka.

"Bismillah, Insya Allah Sakira siap umi, abi, tapi boleh Sakira izin untuk shalat lebih dulu agar hati Sakira lebih yakin lagi." jawab Sakira dengan yakin.

"Alhamdulillah sayang, umi dan abi akan menunggu keputusan terbaikmu, kalau Sakira sudah siap. Calon suami Sakira akan segera melamar." jelas papa Gilang.

Deg!

Sakira tersentak, dia tak menyangka akan secepat itu proses lamarannya, Sakira menyangka masih ada waktu beberapa bulan lagi.

Senyum tulus terukir jelas di wajah Sakira, "Baik abi, umi."

"Astagfirullah. Sakira lupa kasih tau abi sama umi, bang Faqih kecelakaan."

Gadis cantik itu baru mengingat hal penting yang seharusnya dia beritahukan sedari tadi pada mama dan papanya.

"Inalilahiwainalilahirojiu'n." ucap umi Intan dan abi Gilang kompak.

Sementara itu di tempat lain masih di atas bumi yang sama Revan baru saja sampai di depan rumahnya.

Laki-laki berpakaian sudah seperti orang tak beraturan itu merasa heran yah walaupun pakaiannya masih terlihat elegan, dia merasa tumben sekali Mama dan papanya menyuruh dia pulang.

Padahal tadi pagi mereka baru saja perang besar di rumah, semua salah Revan juga orang tuanya. Revan mematikan mesin motornya, lalu dia membuka helmnya matanya menatap ke depan di mana rumah orang tuanya berdiri kokoh di depannya saat ini.

"Tumben, pasti ada yang mereka inginkan dari gue. Wajarlah gue kan anak yang dipanggil jika dibutuhkan saja."

Revan melempar kasar helm yang tadi dia keenakan, langkah begitu malas untuk masuk ke dalam rumah. Walaupun begitu dia tetap mengikuti kemana kakinya melangkah.

Kelk!

Pintu rumah orang tua Revan terbuka lebar, hal yang pertama kali yang Revan lihat, mama dan papanya sudah menunggu kehadiran Revan.

"Revan sini kamu!" suruh papa Riko.

Revan menatap malas mama dan papanya. Bahkan dia bisa melihat mama papanya saat ini sedang menatap tajam dirinya.

"Ada apa?"

Revan sudah berada di hadapan orang tuanya, dia paling tidak suka berbasa basi pada kedua orang tuanya.

"Revan jaga sikap kamu!"

"Apa salah Revan? Bukankah Revan hanya bertanya."

"......"

"Pa sabar, kita harus bicara baik-baik pada Revan." bisik mama Diana pada suaminya.

"Tapi ma, mama lihat saja kelakuan anak ini."

"Sudah biar mama bicara sama Revan."

Mama Diana menatap sejenak putranya, tak lupa sebuah senyum tulus beliau berikan pada mama Diana.

"Revan duduk dulu ya Nak." ajak Mama Diana.

Mama Diana menuntun putranya agar duduk bersama mereka, "Kita bicara pelan-pelan ya sayang."

Revan hanya bisa mengangguk, sebeci ataupun sekesel apapun Revan pada mamanya, dia tidak akan pernah bisa membantah atau pun menyakiti sang mama.

"Revan mama sama papa mau bicara penting."

Suasana di rumah itu kini sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Melihat Revan diam saja mama Diana memutuskan untuk kembali bersuara.

"Revan mama, papa sudah memutuskan perjodohan kamu dengan anak teman papa." ucap mama Diana pelan-pelan.

Brak!

"Maksudnya apa Ma?"

"Revan duduk kamu! Jaga sopan santun kamu sama orang tua! Mau tidak mau kamu harus menerima perjodohan ini! ini perintah Revan! Bukan permintaan!" marah papa Riko.

Mama Diana sampai tersentak kagat melihat reaksi putranya.

Suaranya bahkan naik dua okput dari sebelumnya. Kemarahan papanya begitu besar hingga Revan tak berani bersuara sedikitpun. Kali ini Revan tak bisa membantah perkataan papanya. Sampai berapa waktu terjeda sejenak, barulah Revan angkat bicara.

"Tapi kenapa papa mama memutuskan sepihak?" walaupun ragu Revan akhirnya tetep bersuara.

"Papa sudah katakan Revan ini perintah bukan permintaan! Tidak ada pembantahan sedikitpun. Paham kamu? Harus paham kamu sudah dewasa Revan."

Mama Diana pun tak berani angkat bicara lagi, karena melihat kemarahan suaminya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!