Bismillah.
2 Jam telah berlalu badan Revan sudah kembali bugar seperti sediakala, dia segera keluar dari kamar yang berada di markas geng Revandra.
Revan menghampiri teman-temannya yang masih duduk di sopa, di dalam marks mereka. Revan bisa melihat ketiga temannya sedang menikmati kuaci. Bersama seorang perempuan terlihat tidak ada yang peduli pada perempuan itu kecuali seorang. Siapa lagi kalau bukan Digo.
"Gib, thanks." ucap Revan, sambil mendaratkan bokongnya di sopa.
"Santai Rev." sahut Gibran.
Revan mengerutkan keningnya, dia merasa ada yang kurang, tapi Revan tak berusara sedikit pun. Kejadian tadi pagi di rumahnya masih menyayat hati Revan, tapi dia berusaha sekaan tidak terjadi apa-apa. Revan harus melupakan kejadian tadi pagi.
"Lo kenapa dah Rev tadi?" tanya Irfan.
Memang diantara kelima geng inti Revandra, Irfan lah yang paling cerewat, dia itu seperti perempuan saja.
"Biasa." jawab Revan sambil mengangkat bauhnya acuh.
Gia bangkit dari tempat duduknya, dia ingin menghampiri Revan. Gia ingin memberikan perhatian pada Revan.
Baru gadis itu bangkit dari sopa, belum sempat dia melangkah seorang sudah memegang pergelangan tangannya.
"Mau kemana lo? Duduk aja disini." ucap Digo dingin.
Selain tahu kalau Revan tidak suka Gia dekat-dekat dengan dirinya. Digo juga suka pada Gia. Dia hanya ingin Gia selalu ada disebelahnya.
Tapi sayangnya Digo tak berani mengatakan pada Gia, kalau dia menyukai Gia. Digo tau diri, hati Gia untuk Revan. Walaupun Revan sama sekali tak suka dengan Gia. Bahkan tak pernah menganggap gadis itu ada.
"Lepas gue Dinosaurus! Gue mau ke Revan."
"Nggak bisa! Lo tetap disini, lo tahu Revan kagak bakal mau sama lo!"
"Lo ya ngeselin banget."
Karen kesal Gia mengehentakan kakinya sedikit keras di lanti, semua orang hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Gia.
"Dari pada lo nggak jelas begitu, mending lo telepon abang lo suruh ke markas." suruh Gibran datar.
"Telepon sendiri." ketus Gia.
Saat ini Revan sedang berperanga dengan pikirannya sendiri, mau tidak mau dia harus pergi ke kantor polisi hari ini untuk menyelesaikan masalah yang sudah Revan buat sendiri. Bukankah orang berani berbuat harus berani bertanggung jawab.
Dia menyesal sudah memberikan surat dari polisi pada orang tuanya, sayangnya walaupun surat itu tidak Revan berikan pada mama dan papanya. Otomatis mama dan papanya tetap tahu, jika Revan sudah melakukan kesalahan. Beritanya bahkan tersebar luas di sosia media, juga masuk diberita tv.
Bagaimana tidak, Revan hampir membunuh anak orang, Revan sempat berkelahi dengan seorang temanya di kampus. Sepulang dari ngampus tentunya. Orang itu salah satu dari anggota geng motor lainnya yang merupakan musuh dari geng motor Revandra.
Saat ini orang yang kalah dari Revan tengah berada di rumah sakit, dia mengalami koma. Revan mengajarnya habis-habisan. Saat itu Revan terusut emosi. Orang yang mejadi lawan Revan terus saja memojokan Revan. Sampai Revan habis kesabaran.
"Digo telepon si Faqih, suruh dia kesini. Bilang suruh nemeni gue ke kantor polisi."
"Ngapain lo ke kantor polisi?" bingung Irfan.
"Lo lupa, kalau bos kita hampir ngebunuh anak orang." sahut Gibran.
Sementara Digo sudah fokus menelepon Faqih, Faqih adalah kakak Gia. Dia salah satu anggota inti dari geng Revandra.
"Lagian abang lo kemana sih Gia?"
"Mana gue tau Irfan! Gue bukan buntunya si bang Faqih, apalagi maknya."
"Tapikan lo adeknya!"
"Serah lo Irfan!"
Brak!
Revan menatap tajam Gia dan Irfan yang sedari tadi terus saja ribut saling beradu argumen.
"Gue disini mau menangani diri! Bukan mau denger kalian dekat!" ucap Revan begitu dingin dan menusuk sampai ke ulu hati.
Gia saja sampai takut sendiri, tapi yang namanya Gia sudah kebal dengan semua sifat Revan. Gadis itu sudah sering mengganggu Revan sekalipun Revan tak pernah peduli padanya.
Gia tak tanggung-tanggung bahkan dia akan melakukan apapun, asalkan Revan bisa menjadi miliknya. Gia sudah terobsesi dengan Revan. Itu yang geng Revandra lihat, kalau Gia sudah terobsesi pada Revan.
Irfan maupun Gia tak berani lagi bersuara setelah Revan membentak keduanya. Sebenarnya Revan sudah malas berurusan dengan yang namanya perempuan ini saja Gia mendapatkan izin dari Revan boleh main ke markas mereka. Karena Gia adik kesayangan Faqih.
"Si Faqih otw katanya." ujar Digo setelah menelepon Faqih.
"Sama gue aja ke kantor polisinya kenapa sih Rev."
"Nggak Gib!" tolak Revan mentah-mentah.
"Yang ada kalau bawa lo kalian dua masuk dalam sel dah."
"Bisa aja lo Ir."
Revan memang lebih memilih Faqih untuk ikut dengan dirinya ke kantor polisi, karena Revan tahu diantara mereka berlima Faqi lah yang paling sabar menghadapi sesuatu. Faqih selalu bisa berfikir jerni saat situasi sedang tidak baik-baik saja.
Berbeda sekali dengan Gibran, dia akan menyelesaikan semua masalah dengan kekuatan. Sedangkan Faqih akan menggunakan logikanya. Faqih tahu semua masalah tidak bisa diselesaikan dengan kekuatan yang ada malah nantinya semakin memperkeruh masalah.
20 menit berlalu, akhirnya orang yang ditunggu-tunggu datang juga.
"Dari mana aja lo Qih, baru terlihat batang hidungnya."
"Biasa Fan."
"Kita berangkat sekarang!"
"Cek! Bisa kali gue duduk bentar." ucap Faqih.
Lalu dia melihat adiknya berada di markas mereka. "Lo ngapain disini Gia! Pulang!" suruh Faqih penuh penekanan.
"Iya!"
Revan dan Faqih segera menuju kantor polisi, sampai disana Revan langsung menemui polisi ternyata benar dugaan Revan, kalau orang tuanya sama sekali tidak mengurus kasusnya di kantor polisi.
"Anda sudah bebas dari kasus ini, saya harap nak Revan tidak melakukan hal tak diinginkan lagi."
"Nggak janji pak, cabut Qih."
Tentu saja Revan tidak bebas begitu saja, dia harus mengeluarkan uang banyak. Revan juga menyanggupi untuk membiayai rumah sakit orang yang menjadi korbannya.
Sebenarnya Revan lah yang korban, tapi karena pelaku jatuh koma, jadi Revan yang berbalik mejadi pelaku.
"Lo pulang duluan aja Qih, thanks untuk hari ini."
"Oke, tapi lo baik-baik aja kan?"
"Lo tenang aja."
"Gue duluan." Revan hanya menggangguk untuk meresopan Faqih.
Setelah ke pergian Faqih, Revan segera mengendarai motonya sekencang mungkin, setelah keluar dari area kantor polisi.
Revan terus menyusuri jalan tanpa arah, entah akan pergi kemana saat ini Revan dia sendiri tidak tahu tujuannya mau kemana. Saat ini Revan sama sekali tak memiliki tujuan.
"Gue benci semuanya!" teriak Revan.
Orang-orang yang melihat Revan mengendarai motor secara ugal-ugalan, memaki Revan. Bahkan mendengar teriakan Revan orang-orang menganggapnya gila.
Memang gila si Revan, dia teriak di atas motor melajukan motornya kencang sambil tutup mata.
"Awas!" teriak banyak orang.
Revan membuka matanya dia sebentar lagi akan menabrak seorang yang tengah berjalan di pinggir jalan raya.
"Arhk!"
Brak!
Brak!
Brak!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
𝕸𝘂𝗍i𝝰r𝝰 𝕾e𝗻𝗷𝝰🌅
Cinta yang rumit🥲🥲🥲
2023-06-26
0