Entah angin apa, aku malah nurut dengan perintah anak buahnya itu. Aku duduk di sofa sambil melihat rumah yang cukup besar dengan dua lantai ini.
'Buset, kaya sih kaya. Setengah jam nunggu di sini, air putih juga kagak ada keluar,' batinku mencerca pemilik rumah ini.
Merasa seolah diabaikan, aku berniat pergi dari rumah ini. Kutepuk sofa terlebih dahulu dengan kesal dan bangkit dari tempat dudukku.
"Mau ke mana?" tanya suara bariton asing membuat aku berhenti. Kuputar kembali tubuh ini dan menatap ke arah belakang.
Sudah ada laki-laki dengan pakaian kantor juga wajah terlihat datar di dekat sofa berdiri.
"Mau pulang," jawabku santai setelah melihat dirinya dari atas hingga bawah. Tak akan tertarik, sih, sepertinya aku dengan laki-laki modelan begini.
Mending juga teman kampus aku, udah muda, ganteng, baik, murah senyum. Lah, ini? Ketus, galak mana datar pulak. Amit-amit dah.
"Duduk!"
"Lah, saya salah apa Pak?"
"Jika kau pergi, itu membuktikan bahwa kau salah."
Kuhela napas, tak paham dengan alur bicaranya. Aku duduk kembali dengan kaki kuhentak-hentakkan.
"Kenapa kau berani sekali membawa anak orang tanpa izin orang tuanya?"
"Lah, dia yang mau ikut sama saya, kok!" ketusku sewot. Baru satu kali bertanya udah langsung memojokkan aku, padahal anaknya sendiri yang ingin ikut.
"Seharusnya kau bisa menolak dan melarang dia ikut denganmu. Bagaimana kalo ternyata anak itu adalah anak ******* dan kau mati terbunuh akibat ulahnya?"
Mataku membesar dan wajah yang sedikit menunduk malas langsung terangkat menatap tajam ke arahnya.
"Bapak kejauhan mikirnya, anak kecil gak ada yang bisa kayak gitu kecuali diajari sama orang tuanya!"
"Kenapa kau ajak dia makan di pinggir jalan? Seharusnya kau tau bahwa makanan di pinggir jalan itu tidak sehat!"
"Daripada saya ajak dia makan di tengah jalan Pak. Mending dipinggir jalan, 'kan? Setidaknya, cuma tidak sehat doang."
"Ha? Doang kamu bilang?!" tanyanya tak percaya dengan tangan yang terkepal menatapku.
"Udahlah, ya, Pak. Saya mau pulang dulu, anak Bapak juga udah sampe, 'kan? Saya juga gak ada lakuin apa-apa tadi sama anak Bapak.
Saya masih banyak urusan, soalnya. Saya saranin, Bapak pake baby sister mangkanya atau pengasuh gitu.
Agar ... anak Bapak gak sampe beneran di culik. Tau sendiri zaman sekarang gimana, 'kan?" saranku padanya. Kutepuk paha dan berniat untuk pergi dari rumah ini.
Saat aku baru saja berdiri dari sofa, suara teriakan terdengar dari kamar Daisha. Papinya juga langsung panik dan berdiri.
Pintu kamar tersebut dibuka dengan kasar oleh Daisha, dia berlari dengan cepat sambil berteriak dengan cucuran keringat di keningnya.
"Mami!"
"Jangan tinggalin Daisha Mami!"
Daisha memeluk kakiku, aku langsung kembali duduk ke sofa dengan wajah bingung. Kudekap tubuh mungil dengan sedikit bergetar tersebut.
Suara isakan lolos dari bibir tipis miliknya tersebut, "Daisha kenapa? Mimpi apaan?" tanyaku mengelus surai hitam miliknya.
"Sayang ... itu bukan Mami kamu," kata Papi Daisha yang masih berdiri.
"Kalau gitu, mana Mami Daisha? Papi gak bisa ngasih tau dan nunjukin di mana Mami Daisha, 'kan?" tanya Daisha dengan suara yang sedikit keras.
"Mami ... jangan pergi, ya. Mami temenin Daisha di sini, temenin tidur siang. Habis itu, mandi bareng, makan bareng, main bareng," tutur Daisha mendongak sambil menatap ke arahku.
Aku terkejut dengan apa yang dia ucapkan, mataku mengerjap beberapa kali mendengar permintaan itu. Kulirik sekilas ke arah Papi Daisha, laki-laki itu memijit pangkal hidungnya.
Suara dering handphone membuat perhatianku teralihkan, setidaknya aku bisa mencari alasan nantinya untuk menolak permintaan Daisha tersebut.
"Mmm ... Sayang, Kakak mau angkat handphone dulu, ya. Kayaknya, ada yang penting ini," ucapku mengalihkan perhatian Daisha.
"Sayang, sini! Kakaknya itu mau angkat telepon dulu, sama Papi sini," timpal Papi Daisha yang setidaknya ada gunanya juga.
"Tapi ... Mami mau, 'kan jadi Mami aku? Jangan tinggalin Daisha sendirian Mami."
"Hehe, Kakak mau angkat panggilan dulu, ya," ucapku sambil cengengesan sambil menurunkan dirinya dari pangkuanku.
"Sini Sayang," tutur Papi Daisha menepuk pahanya agar Daisha duduk di situ. Namun, anak tersebut bukannya duduk di paha Papinya malah memilih duduk di samping dengan bersedekap dada.
Aku segera menjauh dari mereka dan mengangkat panggilan dari Ayudia.
"Ha? Ade ape?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Buset, lu naik apaan sih? Kagak sampe-sampe juga, udah jam 2 siang ini!"
"Astaga, gue lupa ngabarin lu kalo gue gak jadi datang ke sana!" Kutepuk jidat saat lupa bahwa sudah janji akan ke tempat Ayudia.
"Lah, kok gak jadi? Mama lu mungut lu balik?"
"Eh, seenak jidat lu ngomong gitu. Sejak kapan gue dibuang?"
"Bwhaha, yaudah deh. Kalo gitu, lu hati-hati ya. Eh, sekarang lu di mana?"
Kulirik ke arah belakang sebentar, terlihat Daisha dan Papinya tengah bercerita dengan serius, "Ada, di rumah orang. Ntar gue kasih tau deh pokoknya sama lu."
"Huwaaa ... Papi jahat! Papi gak sayang Daisha lagi! Daisha cuma mau sama Mami!" teriak Daisha yang membuatku kaget.
"Woy! Lu di mana ini? Lu culik anak orang, ya?" cerca Ayudia dengan berbagai pertanyaan.
"Eh, udah dulu ya. Bye!" Kumatikan telepon dan mememasukkannya kembali ke saku baju dan berjalan ke arah mereka.
Daisha kembali menangis sedangkan aku tak tahu harus melakukan apa, berdiri di dekat sofa seperti patung ide yang baik sepertinya.
"Mami!" teriak Daisha saat menyadari aku sudah selesai menelpon.
Papi Daisha menghela napas dengan wajah lesu, ia menatap ke arahku seolah tak suka, "Datang ke ruanganku, Daisha ke kamar dulu. Biar Papi bicara sama orang gak jelas itu."
"Papi! Mami ini orang jelas, bukan gak jelas!" bantah Daisha membela diriku. Rasa kesal sudah sempat menjalar ke dalam diriku atas kelimatnya itu.
"Ya, terserahmu. Masuk ke kamar, Papi mau bicara dengan dia berdua!"
"Oke Pi!" potong Daisha dengan semangat. Ia pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih bingung dengan situasi saat ini.
"Kamu, ikutin saya!" titah Papi Daisha dingin tanpa menoleh.
Aku enggan mengikuti apa yang dia perintahkan, emangnya siapa dia? Seenak jidat menyuruh-nyuruh aku.
Dia berhenti setelah beberapa langkah menjauh, kembali menatap ke belakang, "Ngapain masih di situ?"
"Emangnya Bapak siapa? Ngapain nyuruh-nyuruh saya?" tanyaku bersedekap dada. Gak. Gak bisa kayak gini, tak mungkin aku manut dengan perintah-perintah darinya itu.
Dia diam. Hening. Ruangan ini begitu hening, suara sendal yang ia pakai seketika memenuhi ruangan dengan berjalan mendekat ke arahku.
"Kau tak mau ikut denganku? Hm?" tanyanya berdehem. Aku menelan saliva dan mencoba mengatur degub jantung.
"K-kenapa saya harus ikut dengan Bapak?" Dengan sedikit terbata-bata, aku memberanikan diri menjawab pertanyaannya itu.
"Kau sendiri yang memilih jalan hidupmu dengan berbaik hati pada putriku, sekarang ... terimalah balasan atas perbuatan baikmu itu," ucapnya dengan begitu dingin dan datar.
Glek!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Sandisalbiah
lah.. kesambet ini org ya.... anaknya di bikin kok malah sewot... ini ciri² org kurang healing pasti.. jd hidupnya monoton persis kek tampangnya...🤔🤔🤭🤭
2024-02-19
0
YuWie
kendel si Deisha..cuman gak sukaaa aja sifaynya yg berani sama ortunya
2023-09-15
1
Eliani Elly
lanjut
2023-06-10
0