Aku Bukan Simpanan Bosku
dari author: halo, ini adalah novel pertama yang aku publish di NovelToon. semoga kalian suka, ya, sama kisah Agni dan Ishaan! ^^
***
“SHI, dinner sama om-om tarifnya berapa, sih?”
Sesuai dugaan Agni, Shia batuk-batuk mendengar pertanyaannya. Dia menunggu sampai sahabat slash teman kerjanya meneguk habis air minum.
“Gimana, Ni? Tarif apa?”
“Tarif dinner sama Om-om yang sering kamu bahas.” Agni mencondongkan tubuh. “Lo, kan, professional sugar ba—”
“Sst, hei, hei, jangan keras-keras!” Shia menempelkan telunjuknya pada bibir Agni. “Kaget gue dengernya. Lo tanya-tanya begitu, emang siapa yang lagi butuh duit?”
“Gue lah, siapa lagi.”
Mata Shia membelalak. “Pinjem aja duit gue. Balikin kapan-kapan kalau udah sanggup.”
Agni celingak-celinguk, memastikan tak ada orang yang menguping pembicaraan mereka di ruang loker. Sekitar sepuluh menit lagi Agni dan Shia masuk ke shift berikutnya. Menilai dari antrean di kasir, mereka sepertinya bakal sibuk sampai nanti malam.
“Duit simpenan lo udah abis?” Shia terus memberondongnya dengan pertanyaan. “Kiriman dari nyokap lo—”
“Halah, lo kayak enggak inget aja dramanya. Nyokap gue udah setop transfer sejak dia nikah lagi. Warisan mendiang bokap juga diambil sama dia semua.” Perih membayangkan momen memilukan itu. “Gue butuh duit buat bayar uang kuliah. Bentar lagi gue nyusun skripsi dan kayaknya enggak bisa ambil kerjaan tambahan. Kalau sebatas nemenin dinner, gue masih sanggup, deh.”
Shia memijiti kening, tidak percaya kalau Agni yang lembut dan manis bakal melontarkan pertanyaan sefrontal itu. “Bayarannya lumayan, sih. Dari ratusan ribu sampai jutaan. Kalau ambil servis tambahan bisa lebih.”
“Servis tambahan,” gumam Agni. “Maksudnya tidu—”
“Iya, itu,” pangkas Shia cepat. “Aduh, tapi kalau sama lo, gue enggak berani. Lo satu-satunya orang yang memahami side job gue yang menantang. Enggak ada judgement atau semacamnya. Mana tega gue kasih lo ke om-om cunihin.”
Sebenarnya, Agni juga berat mempertimbangkan ‘pekerjaan’ ini. Dia bisa saja ambil cuti kuliah buat fokus ambil full time job. Namun, lowongan kerja dengan gaji besar untuk mahasiswi sangat terbatas. Belum lagi ada kebutuhan sehari-hari yang harus dia penuhi.
Hidup pas-pasan memang bikin pusing!
“Sebenarnya ada cara lain,” ucap Shia pelan yang langsung menarik perhatian Agni. “Gue punya kenalan yang kadang cari cewek buat teman dinner sama ketemu orang-orang penting. Bayarannya gede, kliennya juga dari kalangan berada.”
Mata Agni berbinar. “Gue mau, gue mau.”
“Ih bentar, asal samber aja. Gue belum beres jelasinnya.” Shia berdecak. “Masalahnya, mereka pakai sistem seleksi. Nanti background lo dilihat, dari usia, pendidikan, sampai pengalaman kerja. Fisik juga, terutama kalau lo nemenin mereka jalan-jalan. Jadi peluang diterimanya juga kecil.”
Hal tersebut tak lantas membuat optimisme Agni luntur. “I’ll give a try.”
“Se-desperate itu, ya, lo butuh duit?” Shia berdecak, lalu bangkit dari bangku. “Ya udah, nanti gue kasih syarat apa aja yang perlu lo siapin. Dari segi pendidikan sama fisik, lo punya peluang, sih. Mudah-mudahan lo masuk kriteria mereka.”
“Siap, nanti gue kirim cepet.”
“By the way, lo ada CV? Enggak apa-apa yang lama, buat kasih gambaran aja buat kenalan gue.”
Setelah mematut pakaian dan memasangkan name tag, Agni dan Shia berjalan menuju tempat kerja mereka selama dua tahun terakhir: kasir restoran cepat saji. Satu tahun lagi, batin Agni. Jika dia berhasil mendapatkan side job dari Shia, dia bakal cepat juga membereskan kuliah, lalu mencari pekerjaan yang lebih layak buat memperbaiki nasibnya.
*
Sementara itu di sebuah club malam….
Dari VIP lounge, seorang pria dengan setelan jas rapi mengamati panasnya lantai dansa. Tubuh-tubuh meliuk liar mengikuti dentuman musik dari DJ di panggung utama, yang lantas ditingkahi permainan lighting yang kian ekspresif.
Sambil menyesap whiskey, pria itu membiarkan dirinya larut dalam keriuhan club. Biasanya dia memantau dari bar, lalu meminta salah satu bawahannya untuk membawa perempuan yang menurutnya menarik untuk diajak kencan satu malam.
Sayangnya, malam ini dia terlalu lelah untuk sekadar berdansa. Apalagi mengajak orang asing bermalam di hotel mewah.
“Ishaan Marlon, my long lost brotheeeer!” Panggilan tadi menyentak pria itu keluar dari lamunannya. “Tumben ada di sini, biasanya udah mancing ikan dari bawah.”
“Micah? Kirain kamu masih urus proyek di Tokyo.” Ishaan mengisyaratkan waiter untuk membawakan minuman favorit sahabatnya. "Lagi pengin minum aja, pusing seharian di kantor.”
“Pasti gara-gara Ayanna,” tebak Micah yang ikut mengamati lantai dansa di sampingnya. “Udah gue bilang, jangan tidur sama sekretaris sendiri. Kacau kalau mereka nuntut lebih.”
Satu hal yang Ishaan sukai dari Micah adalah kemampuannya menerka masalah yang dihadapi tanpa harus bertele-tela menjelaskannya. “Dia akhirnya milih resign gara-gara aku enggak mau nikah sama dia.”
“Udah gue duga dia sebucin itu sama lo.” Micah menerima cocktail yang dibawa waiter. “Terus, lo kerja enggak pake sekretaris sekarang? Padahal jadwal lo lagi padet-padetnya.”
“Tadi aku minta HRD buat pasang loker. Cuma enggak yakin mereka bisa rekrut sekretaris berpengalaman dalam waktu cepat.” Ishaan menaruh gelasnya yang sudah kosong, lalu merebahkan diri di kursi. “Aku bisa handle sendiri seandainya enggak ada jadwal terbang ke Eropa tiga bulan ke depan.”
Micah menyesap cocktail sambil manggut-manggut mengikuti musik. Jika Ishaan masih memakai setelan kantor, Ishaan selalu mengganti pakaiannya dengan gaya lebih santai sebelum mampir ke club yang mereka urus sejak dua tahun terakhir. Malam ini, sahabatnya memakai bomber jacket dan ripped jeans; membuatnya tampak lebih muda beberapa tahun.
“Lo udah cari ke outsourcing? Lumayan, enggak perlu kontrak lama-lama.” Perhatian Micah teralih pada ponselnya yang berdenting. “Atau anak magang di kantor, mereka pasti maulah gawe sampai diajak ke Eropa.”
Ishaan menggeleng. “Kalau dari outsourcing, kadang bentrok di jadwal. Anak magang biasanya sibuk sama tugas akhir.”
“Kalau dari ‘klien-klien’ gue?” Micah menaikkan alisnya sambil menunjukkan foto perempuan di layar ponsel. “Sering, lho, gue terima cewek yang latar belakang pendidikannya bagus, tapi rela jalan sama om-om demi cuan. Padahal mereka pinter, malah ada yang kerja di perusahaan.”
“Astaga, kamu masih jadi… penyalur?” Meski sudah bertahun-tahun berteman, Ishaan belum paham mengapa Micah betah menjajal side job tersebut.
“Gue bukan penyalur abal-abal, ya. Lo tahu sendiri gue cuma terima klien yang cari temen dinner atau jalan. Enggak sampai main ke ranjang.”
“Whatever makes you happy.” Ishaan bangkit dari sofa, lalu menepuk pundak Micah. “Aku mau balik ke apartemen. Mampir ke kantor besok—”
“Wei, wei tunggu. Beneran enggak mau cari dari jasa gue?”
“Micah, aku butuh sekretaris, bukan—”
“Iya, paham, tapi kenalan gue baru kirim pelamar potensial. Cocok kayaknya buat lo.” Micah terdengar serius. “Mahasiswi semester tujuh, kerja part time jadi kasir di restoran cepat saji. Kuliah di jurusan Administrasi Perkantoran.
“Namanya Agni. Agni Karalyn.”
Agni. Sebuah nama yang tangguh untuk seorang perempuan.
“Foto profilnya bening banget, kayak aktris drakor.”
Entah mengapa, Ishaan mendekati Micah untuk mengamati profil perempuan bernama Agni itu. Foto yang dilampirkan adalah foto pas untuk lamaran kerja yang terkesan formal.
Akan tetapi, Ishaan tak menyangka wajah itu terus membayangi benaknya, hingga membuatnya resah sepanjang malam.
Barangkali, kegelisahan itu muncul karena pekerjaannya yang semerawut. Namun, kalau begitu kenyataannya, mengapa Ishaan akhirnya tertarik mempertimbangkan tawaran Micah?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Agus Irawan
Alurnya bagus mudah-mudahan kedepannya semakin baik
2024-07-23
1
𝔐𝔢𝔩𝔦𝔞𝔫𝔞 𝔰𝔦𝔯𝔢𝔤𝔞𝔯
Aku mampir♥️🤗
2023-06-25
0
Berbieliza
menarik thor ceritanya jika bekenan mampir
2023-06-03
0