NovelToon NovelToon

Aku Bukan Simpanan Bosku

Side Job Menantang

dari author: halo, ini adalah novel pertama yang aku publish di NovelToon. semoga kalian suka, ya, sama kisah Agni dan Ishaan! ^^

***

“SHI, dinner sama om-om tarifnya berapa, sih?”

Sesuai dugaan Agni, Shia batuk-batuk mendengar pertanyaannya. Dia menunggu sampai sahabat slash teman kerjanya meneguk habis air minum.

“Gimana, Ni? Tarif apa?”

“Tarif dinner sama Om-om yang sering kamu bahas.” Agni mencondongkan tubuh. “Lo, kan, professional sugar ba—”

“Sst, hei, hei, jangan keras-keras!” Shia menempelkan telunjuknya pada bibir Agni. “Kaget gue dengernya. Lo tanya-tanya begitu, emang siapa yang lagi butuh duit?”

“Gue lah, siapa lagi.”

Mata Shia membelalak. “Pinjem aja duit gue. Balikin kapan-kapan kalau udah sanggup.”

Agni celingak-celinguk, memastikan tak ada orang yang menguping pembicaraan mereka di ruang loker. Sekitar sepuluh menit lagi Agni dan Shia masuk ke shift berikutnya. Menilai dari antrean di kasir, mereka sepertinya bakal sibuk sampai nanti malam.

“Duit simpenan lo udah abis?” Shia terus memberondongnya dengan pertanyaan. “Kiriman dari nyokap lo—”

“Halah, lo kayak enggak inget aja dramanya. Nyokap gue udah setop transfer sejak dia nikah lagi. Warisan mendiang bokap juga diambil sama dia semua.” Perih membayangkan momen memilukan itu. “Gue butuh duit buat bayar uang kuliah. Bentar lagi gue nyusun skripsi dan kayaknya enggak bisa ambil kerjaan tambahan. Kalau sebatas nemenin dinner, gue masih sanggup, deh.”

Shia memijiti kening, tidak percaya kalau Agni yang lembut dan manis bakal melontarkan pertanyaan sefrontal itu. “Bayarannya lumayan, sih. Dari ratusan ribu sampai jutaan. Kalau ambil servis tambahan bisa lebih.”

“Servis tambahan,” gumam Agni. “Maksudnya tidu—”

“Iya, itu,” pangkas Shia cepat. “Aduh, tapi kalau sama lo, gue enggak berani. Lo satu-satunya orang yang memahami side job gue yang menantang. Enggak ada judgement atau semacamnya. Mana tega gue kasih lo ke om-om cunihin.”

Sebenarnya, Agni juga berat mempertimbangkan ‘pekerjaan’ ini. Dia bisa saja ambil cuti kuliah buat fokus ambil full time job. Namun, lowongan kerja dengan gaji besar untuk mahasiswi sangat terbatas. Belum lagi ada kebutuhan sehari-hari yang harus dia penuhi.

Hidup pas-pasan memang bikin pusing!

“Sebenarnya ada cara lain,” ucap Shia pelan yang langsung menarik perhatian Agni. “Gue punya kenalan yang kadang cari cewek buat teman dinner sama ketemu orang-orang penting. Bayarannya gede, kliennya juga dari kalangan berada.”

Mata Agni berbinar. “Gue mau, gue mau.”

“Ih bentar, asal samber aja. Gue belum beres jelasinnya.” Shia berdecak. “Masalahnya, mereka pakai sistem seleksi. Nanti background lo dilihat, dari usia, pendidikan, sampai pengalaman kerja. Fisik juga, terutama kalau lo nemenin mereka jalan-jalan. Jadi peluang diterimanya juga kecil.”

Hal tersebut tak lantas membuat optimisme Agni luntur. “I’ll give a try.”

“Se-desperate itu, ya, lo butuh duit?” Shia berdecak, lalu bangkit dari bangku. “Ya udah, nanti gue kasih syarat apa aja yang perlu lo siapin. Dari segi pendidikan sama fisik, lo punya peluang, sih. Mudah-mudahan lo masuk kriteria mereka.”

“Siap, nanti gue kirim cepet.”

“By the way, lo ada CV? Enggak apa-apa yang lama, buat kasih gambaran aja buat kenalan gue.”

Setelah mematut pakaian dan memasangkan name tag, Agni dan Shia berjalan menuju tempat kerja mereka selama dua tahun terakhir: kasir restoran cepat saji. Satu tahun lagi, batin Agni. Jika dia berhasil mendapatkan side job dari Shia, dia bakal cepat juga membereskan kuliah, lalu mencari pekerjaan yang lebih layak buat memperbaiki nasibnya.

*

Sementara itu di sebuah club malam….

Dari VIP lounge, seorang pria dengan setelan jas rapi mengamati panasnya lantai dansa. Tubuh-tubuh meliuk liar mengikuti dentuman musik dari DJ di panggung utama, yang lantas ditingkahi permainan lighting yang kian ekspresif.

Sambil menyesap whiskey, pria itu membiarkan dirinya larut dalam keriuhan club. Biasanya dia memantau dari bar, lalu meminta salah satu bawahannya untuk membawa perempuan yang menurutnya menarik untuk diajak kencan satu malam.

Sayangnya, malam ini dia terlalu lelah untuk sekadar berdansa. Apalagi mengajak orang asing bermalam di hotel mewah.

“Ishaan Marlon, my long lost brotheeeer!” Panggilan tadi menyentak pria itu keluar dari lamunannya. “Tumben ada di sini, biasanya udah mancing ikan dari bawah.”

“Micah? Kirain kamu masih urus proyek di Tokyo.” Ishaan mengisyaratkan waiter untuk membawakan minuman favorit sahabatnya. "Lagi pengin minum aja, pusing seharian di kantor.”

“Pasti gara-gara Ayanna,” tebak Micah yang ikut mengamati lantai dansa di sampingnya. “Udah gue bilang, jangan tidur sama sekretaris sendiri. Kacau kalau mereka nuntut lebih.”

Satu hal yang Ishaan sukai dari Micah adalah kemampuannya menerka masalah yang dihadapi tanpa harus bertele-tela menjelaskannya. “Dia akhirnya milih resign gara-gara aku enggak mau nikah sama dia.”

“Udah gue duga dia sebucin itu sama lo.” Micah menerima cocktail yang dibawa waiter. “Terus, lo kerja enggak pake sekretaris sekarang? Padahal jadwal lo lagi padet-padetnya.”

“Tadi aku minta HRD buat pasang loker. Cuma enggak yakin mereka bisa rekrut sekretaris berpengalaman dalam waktu cepat.” Ishaan menaruh gelasnya yang sudah kosong, lalu merebahkan diri di kursi. “Aku bisa handle sendiri seandainya enggak ada jadwal terbang ke Eropa tiga bulan ke depan.”

Micah menyesap cocktail sambil manggut-manggut mengikuti musik. Jika Ishaan masih memakai setelan kantor, Ishaan selalu mengganti pakaiannya dengan gaya lebih santai sebelum mampir ke club yang mereka urus sejak dua tahun terakhir. Malam ini, sahabatnya memakai bomber jacket dan ripped jeans; membuatnya tampak lebih muda beberapa tahun.

“Lo udah cari ke outsourcing? Lumayan, enggak perlu kontrak lama-lama.” Perhatian Micah teralih pada ponselnya yang berdenting. “Atau anak magang di kantor, mereka pasti maulah gawe sampai diajak ke Eropa.”

Ishaan menggeleng. “Kalau dari outsourcing, kadang bentrok di jadwal. Anak magang biasanya sibuk sama tugas akhir.”

“Kalau dari ‘klien-klien’ gue?” Micah menaikkan alisnya sambil menunjukkan foto perempuan di layar ponsel. “Sering, lho, gue terima cewek yang latar belakang pendidikannya bagus, tapi rela jalan sama om-om demi cuan. Padahal mereka pinter, malah ada yang kerja di perusahaan.”

“Astaga, kamu masih jadi… penyalur?” Meski sudah bertahun-tahun berteman, Ishaan belum paham mengapa Micah betah menjajal side job tersebut.

“Gue bukan penyalur abal-abal, ya. Lo tahu sendiri gue cuma terima klien yang cari temen dinner atau jalan. Enggak sampai main ke ranjang.”

“Whatever makes you happy.” Ishaan bangkit dari sofa, lalu menepuk pundak Micah. “Aku mau balik ke apartemen. Mampir ke kantor besok—”

“Wei, wei tunggu. Beneran enggak mau cari dari jasa gue?”

“Micah, aku butuh sekretaris, bukan—”

“Iya, paham, tapi kenalan gue baru kirim pelamar potensial. Cocok kayaknya buat lo.” Micah terdengar serius. “Mahasiswi semester tujuh, kerja part time jadi kasir di restoran cepat saji. Kuliah di jurusan Administrasi Perkantoran.

“Namanya Agni. Agni Karalyn.”

Agni. Sebuah nama yang tangguh untuk seorang perempuan.

“Foto profilnya bening banget, kayak aktris drakor.”

Entah mengapa, Ishaan mendekati Micah untuk mengamati profil perempuan bernama Agni itu. Foto yang dilampirkan adalah foto pas untuk lamaran kerja yang terkesan formal.

Akan tetapi, Ishaan tak menyangka wajah itu terus membayangi benaknya, hingga membuatnya resah sepanjang malam.

Barangkali, kegelisahan itu muncul karena pekerjaannya yang semerawut. Namun, kalau begitu kenyataannya, mengapa Ishaan akhirnya tertarik mempertimbangkan tawaran Micah?

***

Riset ke Lapangan

TEMAN-teman yang mau mulai skripsi semester ini, jangan lupa bayar UKT paling lambat hari Jumat, ya! Kalau telat bakal susah dapet dosen pembimbing.

Agni hampir melempar ponselnya saat membaca pesan dari grup angkatan tadi. Gajinya baru saja cair tadi siang, eh besok harus pindah ke rekening kampus. Belum lagi nyicil buat bayar kontrakan dan lain-lain. Alamat makan nasi sama kerupuk seminggu ke depan.

“Lihat ekspresi lo, gue jadi bersyukur mutusin drop out tahun lalu.” Shia menepuk-nepuk pundak Agni sambil terkekeh. “Sabar, ya. Demi menyongsong masa depan yang cemerlang, lo emang harus berkorban banyak.”

“Makanya gue tanya-tanya soal,” Agni berdeham beberapa kali, mengisyaratkan peluang kerja dari ‘kenalan’ Shia. “Udah dua hari belum ada kabar.”

“Sabar, Sis. Prosesnya lebih lama dari yang ‘biasa’,” sahut Shia. “Eh, gue mau prepare ayam dulu, ya. Anak kitchen masih pada break soalnya.”

“Jam segini kayaknya enggak akan ada yang mampir juga, Shi.”

Tebakan Agni memeleset. Tepat saat Agni berbelok ke dapur, pintu utama restoran terbuka. Sebagai satu-satunya kasir yang bertugas pada saat itu, Agni langsung menegakkan punggung dan memasang senyum formalnya.

Namun saat matanya menangkap pengunjung yang menjadi pelanggannya, lutut Agni mendadak lembek bak agar-agar.

Apakah ini hanya efek kelelahan atau pria yang menghampirinya adalah salah satu manusia tertampan yang pernah dia lihat?

Agni menarik napas, lalu melepasnya perlahan.

“Selamat malam, silakan, mau pesan apa?”

Pria itu, mengenakan kemeja beige dan celana hitam, mengecek menu pada layar LCD di belakang Agni. Tingginya yang cukup menjulang sampai memaksa Agni untuk mendongak. Setelah satu menit yang panjang, pria tadi merunduk dan beradu tatap dengannya.

“Is the spicy chicken still available?”

Aduh, mampus! Kemampuan bahasa Inggris-nya memang tak buruk-buruk amat, tetapi Agni cemas bakal belepotan karena sudah lama tidak bicara dalam bahasa itu.

“Yes, it is. There’s Hot Pack 1 with rice and Hot Pack 2 with french fries.”

“I’ll take one Hot Pack 2, then.”

“Okay, one Hot Pack 2.”

“Are you still serving cream and cookies ice cream?”

Buset, tengah malam habis hujan begini makan es krim? Agni mengecek mesin es krim, lalu meringis kala membaca tanda RUSAK di bagian atas. “Sorry, Sir, the machine is broke. Do you wanna order something else?”

“But, I want cream and cookies ice cream,” katanya menegaskan.

“We apologize that we can’t serve the ice cream for now. However, if you want another dessert, we still—”

“Cream and cookies ice cream. Can you make one? I don’t mind if I have to wait.”

Agni mengerjap. Di momen-momen seperti ini, dia lebih memilih berhadapan dengan antrean panjang di jam makan siang.

“Let me check the ingredients. Please wait.” Cepat-cepat, Agni ke dapur dan mengecek bahan-bahan es krim di freezer. Shia yang masih sibuk menggoreng ayam penasaran melihatnya.

“Kenapa lo? Di depan bukannya ada pelanggan?”

“Iya, tapi dia pesan es krim, terus mesinnya rusak. Mana maksa aku buat bikin,” sahut Agni. “Ayam sama kentang ready, kan? Gue mau minta dia buat nunggu”

“Ready. Emang lo bisa bikin es krim tanpa mesin?”

“Dikit-dikit bisalah, kan pernah diajarin sama si Ello.”

Di meja kasir, pria tampan nan menyebalkan itu ternyata masih menunggu. Agni lantas kembali memasang senyum formalnya. “Sir, the Hot Pack 2 is ready in a few minutes, but you have to wait for the ice cream. Is it okay?”

Bukannya menjawab, pria itu malah memandangi Agni dari atas sampai bawah beberapa kali. Agni was-was kalau pria itu sengaja merepotkannya untuk tujuan lain.

“How long does it take to make the ice cream?”

“Thirty minutes.”

“Make it twenty.” Pria itu lantas mengeluarkan dompet. “How much I need to pay?”

Begitu transaksi selesai, Agni menyerahkan nomor antrean pada pria itu sebelum berlalu ke dapur. Shia menawarkan diri buat membantunya, tetapi Agni menolak. Dia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana es krim buatannya memuaskan pelanggan yang sudah membuat malamnya semrawut.

*

Saat Ishaan mengatakan dia akan menemui Agni di tempat kerjanya langsung, Micah melongo dan hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya.

“Lo—lo beneran mau rekrut Agni? Biar gue suruh Pak Ardan buat panggil dia ke kantor atau restoran buat diseleksi kayak biasa.”

“Lama, sama aja kayak pake HRD di kantor,” ujar Ishaan tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel. Di layar, terpampang CV milik Agni yang Micah kirimkan. Saat mengetahui restoran tempat Agni bekerja tak jauh dari kantornya, Ishaan memutuskan buat riset langsung ke TKP. “Serius dia kerja shift malam?”

“Kata kenalan gue tergantung, soalnya dia kerja part time.” Micah menyipitkan mata. “Ah, jangan-jangan lo punya motif lain nyamperin langsung. Mau sekalian cek apa dia bisa diajak—”

Panggilan telepon yang masuk ke ponsel Ishaan mengejutkan keduanya. Tanisha, nama itu muncul di layar. Ishaan mengisyaratkan Micah untuk diam sebelum menerimanya. “Malam, Mbak. Tumben telepon.”

“Kamu di mana? Kok apartemen sepi, sih?” Dalam rangka apa pula Tanisha datang ke sana? “Jam segini biasanya kamu udah leyeh-leyeh di kamar.”

“Biasa, ada rapat penting, terus ketemu Micah dulu.” Pipi Micah memerah kala Ishaan mengedip padanya. Sang sahabat memang sudah lama jadi secret admirer kakaknya. “Bentar lagi aku pulang.”

“Oke deh, aku bawa piza favoritmu, nih. Sekalian mau cerita soal Dareen.”

“Kenapa? Berantem lagi? Bulan depan kalian udah nikah, lho.”

“Makanya cepetan pulang! Malah banyak tanya kayak petugas sensus.”

Kalau Tanisha sudah bawa piza buat curhat, berarti Ishaan harus menunda rencananya mampir menemui Agni. Soalnya sang kakak kalau sudah cerita pasti bisa sampai berjam-jam. Mudah-mudahan saja besok Ishaan dapat melancarkan rencananya untuk ‘mengetes’ gadis itu.

*

Saat sang ayah menghadiahi unit apartemen mewah di pusat kota, Ishaan senang bukan main. Sudah lama dia mendambakan hunian nyaman dengan akses mudah ke berbagai tempat. Dia tak keberatan bila selepas kuliah harus mengabdikan diri bekerja di perusahaan keluarga asalkan dapat beristirahat di tempat yang nyaman.

Kenyataannya, setelah enam tahun berlalu, Ishaan malah terjebak pada rutinitas yang menjemukan.

Ketika ayahnya meninggal tahun lalu, Tanisha sebagai anak sulung menjadi ahli waris terkuat yang ditunjuk buat memimpin perusahaan. Namun, sang kakak yang tak berminat terjun ke dunia bisnis lantas mengambil cara alternatif buat mengalihkan tanggung jawab itu: menikahi Dareen Isvara, anak dari salah satu klien sekaligus sahabat dekat ayah mereka.

“Keluarga Dareen pengin acara pernikahannya digelar di hotel rekanan mereka, cuma aku kurang suka sama konsepnya. Terlalu….” Tanisha mengibaskan tangan ke udara. “Mewah. Padahal aku sama Dareen setuju buat bikin pesta sederhana. Jadi biar kami cepat bulan madu juga ke California.”

“Kalau mereka ikut nanggung biayanya, ikut aja, Mbak. Daripada nambah drama baru.” Ishaan mengambil potongan piza terakhir. “Susah cari orang kayak Dareen yang mau mimpin perusahaan punya Ayah.”

Sang kakak mengerucutkan bibir. Rambut panjang hitam legamnya disampirkan ke bahu. “Iya juga, sih. Semoga aja Dareen bisa bujuk mereka buat tone down pestanya supaya enggak terlalu wah.”

Diam-diam, Ishaan mengembuskan napas lega. Curhat sepanjang tiga jam itu berakhir juga.

“Eh, sebentar,” cegat Tanisha kala Ishaan hendak membuang kotak piza. “Kata orang kantor, Ayanna resign gara-gara kamu enggak mau married sama dia?”

Secepat itu dramanya dan Ayanna sampai ke telinga sang kakak. “Mau gimana lagi, aku belum siap. Apalagi setelah dengar curhatan Mbak beberapa bulan terakhir.”

“Hei, berumahtangga itu emang berat, Ishaan! Bilang aja kamu masih pengin senang-senang.” Tanisha berkacak pinggang. “By the way, kamu enggak perlu repot-repot cari sekretaris baru. Tadi aku rekomen salah satu temanku buat gantiin posisi Ayanna sementara waktu. Paling enggak sampai kamu beres trip di Eropa.”

Tubuh Ishaan membeku di tempat. “Mbak ngapain?”

“Rekomen orang ke HRD kamu. Sekretaris cowok, biar kamu enggak jelalatan di kantor, terus fokus juga kerja di luar negeri.”

Kalau Tanisha sudah memasukkan orang ke perusahaan, Ishaan tak bisa menolak. Bagaimanapun sang kakak, sebelum menjadi istri Dareen, adalah pemimpin di sana. Di sisi lain, Agni terlalu menarik untuk dilepas.

Posisi apa yang perlu dia tempatkan untuk gadis itu?

“Atau kamu butuh asisten sementara?” celetuk Tanisha yang kini tengah menyiapkan teh di dapur. “In case kamu kewalahan di Eropa. Kan lumayan kamu harus trip ke beberapa negara.”

“Enggak usah,” Ishaan menyahut cepat. “Kalau ada sekretaris yang handle jadwal dan laporan di kantor, aku bisa pegang kerjaan di Eropa sendiri.”

“Good to hear that.” Sang kakak tersenyum puas. “Aku ke kamar dulu, ya. Capek, mau istirahat.”

Saat pintu kamar tamu tertutup, Ishaan menyeringai. Terima kasih, Mbak, batinnya. Tak perlu waktu lama, dia sudah menemukan tempat yang pas untuk Agni nanti.

***

Lho Ternyata?

KABAR yang Agni nantikan akhirnya tiba. Kenalan Shia yang bernama Micah memintanya datang ke sebuah restoran untuk menemui sesorang yang memerlukan jasanya selama tiga bulan.

“Kalau lo diterima, apa jadwal kerjanya enggak bakal bentrok sama bimbingan skripsi? Nanti malah makin lama buat lulusnya.”

Di depan cermin, Agni mematut blazer hitam yang membungkus kemeja putih dengan rok selutut sebagai bawahan. Shia meminjamkan pump heels warna merah dan membantu sang sahabat menata rambut. Bersih, rapi, Agni meyakinkan diri kalau penampilannya tak bakal mengecewakan.

“Semoga aja bisa dinego. Di jurusan gue bimbingannya udah bisa via online.” Diambilnya mini sling bag yang hanya dibawa pada momen-momen penting. “Gue cabut dulu, ya! Makasih banget mau ganti shift gue hari ini.”

“Siap! Mudah-mudahan lo ketemu klien yang baik dan enggak cunihin.”

*

Sesampainya di restoran, Agni minder duluan. Tempatnya bukan cuma besar, tapi juga mewah. Tamu-tamu datang membawa mobil berkelas, nyaris tidak ada ojek atau taksi online yang mampir ke parkiran.

Namun, Agni tak bisa mundur. Ini satu-satunya kesempatan bagus yang bisa dia ambil buat memperbaiki kondisi finansial. Dilihatnya lagi instruksi yang Shia forward dari pesan Micah. Agni hanya perlu menyebutkan nama Micah, lalu mengikuti waiter mengantarnya ke ruang VIP yang sudah dipesan.

Tarik, buang, tarik, buang napas.

Dengan langkah mantap, Agni menghampiri waiter yang bertugas di pintu utama. Waiter itu menyapa, lalu bertanya, “Apa Mbak sudah reservasi tempat?”

“Umh, sudah. Atas nama Micah Renjiro.”

Waiter itu mengecek tablet di meja, lalu meminta Agni mengikutinya.

Melewati orang-orang berpakaian elegan, lalu sebuah grand piano, Agni perlahan meniti anak tangga menuju lantai dua. Berbeda dari lantai dasar, lantai dua terlihat seperti interior hotel. Semua ruangannya tertutup. Memang desain untuk tamu VIP.

“Ini ruangan yang dipesan Tuan Renjiro.” Waiter tadi membukakan pintu ruangan bernomor 7. “Silakan masuk.”

Agni terpukau saat memasuki ruangan itu. Selain meja panjang untuk tujuh orang, ada fasilitas lain seperti AC, mini fridge, hingga televisi layar datar. Jendela yang berada di seberang ruangn memperlihatkan city view yang mengesankan.

Meski begitu, Agni masih sungkan. Jika mengikuti etika, dia hanya boleh duduk setelah dipersilakan orang yang mengundangnya. Maka, Agni menunggu di samping mini fridge sampai Micah datang.

Satu. Lima. Sepuluh menit berlalu. Kakinya mulai pegal. Agni lantas menggerakkan kedua kakinya supaya tak kaku. Saat dia hendak jongkok, pintu terbuka dan sesosok pria berambut ikal masuk.

Cepat-cepat, Agni berdiri. “Maaf—eh, selamat siang.”

“Lah, ngapain kamu berdiri di sana? Kursi sebanyak ini malah dianggurin.” Pria itu menutup pintu, berjalan mendekatinya. Agni berusaha bersikap setenang mungkin saat jarak di antara mereka menyempit. “Agni Karalyn, betul?”

“Iya, betul, Pak,” sahut Agni terbata.

“Jangan panggil bapak, dong, I just turned 28 last month. By the way, gue Micah. Micah Renjiro,” ujarnya sambil menarik salah satu kursi. “Enggak usah terlalu formal sama gue. Orang yang harus lo segani belum datang. Gue cuma perantara. Duduk sini!”

Walau sudah dipersilakan duduk, Agni masih cemas membayangkan sosok yang Micah bilang ‘perlu dia segani’. Kalau pria itu bukan orang yang bakal memerlukan jasanya, lantas siapa? Agni hanya bisa menunggu sambil sesekali mengamati Micah yang sibuk memainkan ponsel.

“Oh, dia udah sampai lobi.” Micah memasukkan ponselnya. “Lo siap-siap, gue mau keluar nyamperin orangnya.”

Begitu Micah keluar ruangan, Agni membuka kamera depan ponsel buat memastikan riasannya masih rapi. Rambutnya tertata baik, begitu pula pakaiannya.

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Agni memundurkan kursi, lalu berdiri untuk menyambut tamu tersebut. Saat pintu terbuka, Micah muncul dan mempersilakan sosok yang datang bersamanya masuk ruangan.

“Selamat—” Agni membelalak kala bersitatap dengan sosok itu.

Mustahil! Benarkah dia akan bekerja bersama pria menyebalkan yang memintanya membuat es krim tempo hari?

*

“Benar, Tuan. Nona Tanisha kemarin telepon, terus minta saya buka email buat cek resume temannya yang apply jadi sekretaris.”

Ishaan menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. “Kapan kalian mulai interview?”

“Minggu depan. HRD sudah telanjur menghubungi beberapa kandidat potensial. Kami tak bisa membatalkan begitu saja.”

“Baiklah, kalian bisa lanjut. Tolong kirim CV mereka ke email saya buat review.”

Harus Ishaan akui, bekerja tanpa bantuan Ayanna sangat merepotkan. Sejak menginjakkan kaki ke kantor tadi pagi, dia belum sempat duduk di ruangannya gara-gara harus mengurus berbagai pekerjaan yang ditinggalkan sang sekretaris. Belum lagi siang ini dia akan menemui Agni di restoran yang telah diatur Micah.

Ponselnya berdering. Panjang umur, sahabatnya menelepon.

“Di mana lo?” todong Micah. “Setengah jam lagi Agni dateng. Gue lagi on the way.”

“Masih di kantor. Lima menit lagi keluar. Toh dekat ini tempatnya, jalan kaki juga beres.”

“Bukannya gitu. Lo sebagai calon atasan Agni harus kasih impresi bagus. Jangan sampai dia mundur duluan.”

“Enggak mungkin.” Ishaan membuka pintu ruangannya. “Dia butuh duit cepat. Dalam situasi kayak gitu, dia pasti milih bertahan meski aku menyebalkan.”

Micah mendengus sebal. “Terserah lo. Pokoknya toleransi telat 15 menit, ya.”

Ishaan geleng-geleng kepala, lalu memasukkan ponsel ke saku celana begitu percakapan selesai. Sejujurnya, dia sangat menantikan pertemuan kedua dengan Agni. Malam itu, saat sengaja menemuinya di restoran, Ishaan mendapatkan gambaran yang dibutuhkan. Bagaimana Agni memberikan pelayanan, menjaga sikap, hingga menemukan solusi. Sederet soft skills yang akan membantu gadis itu saat mereka bertemu para klien penting.

Selain itu, Ishaan juga tak memungkiri pesona Agni. Meski mengenakan seragam kasir dan makeup ala kadarnya, gadis itu begitu memikat. Jika Ayanna membuatnya langsung bergairah pada pandangan pertama, Agni… bagaimana dia harus mendeskripsikannya?

Satu yang pasti, Ishaan ingin mengenalnya lebih dekat.

*

Di luar dugaan, Ishaan datang terlambat.

Selepas mengabari Micah, Ishaan bergegas menaiki lantai menuju ruang VIP yang sahabatnya reservasi. Dia berbelok ke toilet sebentar untuk merapikan rambut dan pakaiannya. Jangan sampai dia terlihat berantakan gara-gara berlari menuju restoran demi mengejar keterlambatan.

“Buset, dia malah asyik dandan,” komentar Micah kala Ishaan keluar toilet. “Udah, udah, lo udah ganteng. Agni dari tadi nungguin kita sambil berdiri.”

“Kamu suruh dia duduk, kan?” Mendengar hal itu, Ishaan semakin tak enak hati.

“Iya, makanya lo jangan bikin dia nunggu lama-lama.” Di depan pintu bernomor 7, Micah membuka pintu dan masuk. Ishaan menyusul; matanya menangkap Agni yang seketika berdiri dari kursi.

Siang ini, Agni mengenakan pakaian yang simpel dan rapi. Serbahitam, tetapi kontras dari kemeja putih dan kulitnya yang kuning langsat membuat hati Ishaan berdesir. Belum lagi warna lipstik dan sepatu hak tingginya yang selaras….

Kontrol dirimu, Ishaan.

“Selamat—” Mata mereka beradu. Keterkejutan yang terpancar dari Agni sudah Ishaan perkirakan. Reaksi yang sekonyong-konyong mengembalikan kepercayaan diri pria itu.

“Selamat siang juga, Agni,” balas Ishaan sebelum sempat Agni menyelesaikan salamnya. “Bisa kita mulai interview-nya sekarang?”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!