KABAR yang Agni nantikan akhirnya tiba. Kenalan Shia yang bernama Micah memintanya datang ke sebuah restoran untuk menemui sesorang yang memerlukan jasanya selama tiga bulan.
“Kalau lo diterima, apa jadwal kerjanya enggak bakal bentrok sama bimbingan skripsi? Nanti malah makin lama buat lulusnya.”
Di depan cermin, Agni mematut blazer hitam yang membungkus kemeja putih dengan rok selutut sebagai bawahan. Shia meminjamkan pump heels warna merah dan membantu sang sahabat menata rambut. Bersih, rapi, Agni meyakinkan diri kalau penampilannya tak bakal mengecewakan.
“Semoga aja bisa dinego. Di jurusan gue bimbingannya udah bisa via online.” Diambilnya mini sling bag yang hanya dibawa pada momen-momen penting. “Gue cabut dulu, ya! Makasih banget mau ganti shift gue hari ini.”
“Siap! Mudah-mudahan lo ketemu klien yang baik dan enggak cunihin.”
*
Sesampainya di restoran, Agni minder duluan. Tempatnya bukan cuma besar, tapi juga mewah. Tamu-tamu datang membawa mobil berkelas, nyaris tidak ada ojek atau taksi online yang mampir ke parkiran.
Namun, Agni tak bisa mundur. Ini satu-satunya kesempatan bagus yang bisa dia ambil buat memperbaiki kondisi finansial. Dilihatnya lagi instruksi yang Shia forward dari pesan Micah. Agni hanya perlu menyebutkan nama Micah, lalu mengikuti waiter mengantarnya ke ruang VIP yang sudah dipesan.
Tarik, buang, tarik, buang napas.
Dengan langkah mantap, Agni menghampiri waiter yang bertugas di pintu utama. Waiter itu menyapa, lalu bertanya, “Apa Mbak sudah reservasi tempat?”
“Umh, sudah. Atas nama Micah Renjiro.”
Waiter itu mengecek tablet di meja, lalu meminta Agni mengikutinya.
Melewati orang-orang berpakaian elegan, lalu sebuah grand piano, Agni perlahan meniti anak tangga menuju lantai dua. Berbeda dari lantai dasar, lantai dua terlihat seperti interior hotel. Semua ruangannya tertutup. Memang desain untuk tamu VIP.
“Ini ruangan yang dipesan Tuan Renjiro.” Waiter tadi membukakan pintu ruangan bernomor 7. “Silakan masuk.”
Agni terpukau saat memasuki ruangan itu. Selain meja panjang untuk tujuh orang, ada fasilitas lain seperti AC, mini fridge, hingga televisi layar datar. Jendela yang berada di seberang ruangn memperlihatkan city view yang mengesankan.
Meski begitu, Agni masih sungkan. Jika mengikuti etika, dia hanya boleh duduk setelah dipersilakan orang yang mengundangnya. Maka, Agni menunggu di samping mini fridge sampai Micah datang.
Satu. Lima. Sepuluh menit berlalu. Kakinya mulai pegal. Agni lantas menggerakkan kedua kakinya supaya tak kaku. Saat dia hendak jongkok, pintu terbuka dan sesosok pria berambut ikal masuk.
Cepat-cepat, Agni berdiri. “Maaf—eh, selamat siang.”
“Lah, ngapain kamu berdiri di sana? Kursi sebanyak ini malah dianggurin.” Pria itu menutup pintu, berjalan mendekatinya. Agni berusaha bersikap setenang mungkin saat jarak di antara mereka menyempit. “Agni Karalyn, betul?”
“Iya, betul, Pak,” sahut Agni terbata.
“Jangan panggil bapak, dong, I just turned 28 last month. By the way, gue Micah. Micah Renjiro,” ujarnya sambil menarik salah satu kursi. “Enggak usah terlalu formal sama gue. Orang yang harus lo segani belum datang. Gue cuma perantara. Duduk sini!”
Walau sudah dipersilakan duduk, Agni masih cemas membayangkan sosok yang Micah bilang ‘perlu dia segani’. Kalau pria itu bukan orang yang bakal memerlukan jasanya, lantas siapa? Agni hanya bisa menunggu sambil sesekali mengamati Micah yang sibuk memainkan ponsel.
“Oh, dia udah sampai lobi.” Micah memasukkan ponselnya. “Lo siap-siap, gue mau keluar nyamperin orangnya.”
Begitu Micah keluar ruangan, Agni membuka kamera depan ponsel buat memastikan riasannya masih rapi. Rambutnya tertata baik, begitu pula pakaiannya.
Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Agni memundurkan kursi, lalu berdiri untuk menyambut tamu tersebut. Saat pintu terbuka, Micah muncul dan mempersilakan sosok yang datang bersamanya masuk ruangan.
“Selamat—” Agni membelalak kala bersitatap dengan sosok itu.
Mustahil! Benarkah dia akan bekerja bersama pria menyebalkan yang memintanya membuat es krim tempo hari?
*
“Benar, Tuan. Nona Tanisha kemarin telepon, terus minta saya buka email buat cek resume temannya yang apply jadi sekretaris.”
Ishaan menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. “Kapan kalian mulai interview?”
“Minggu depan. HRD sudah telanjur menghubungi beberapa kandidat potensial. Kami tak bisa membatalkan begitu saja.”
“Baiklah, kalian bisa lanjut. Tolong kirim CV mereka ke email saya buat review.”
Harus Ishaan akui, bekerja tanpa bantuan Ayanna sangat merepotkan. Sejak menginjakkan kaki ke kantor tadi pagi, dia belum sempat duduk di ruangannya gara-gara harus mengurus berbagai pekerjaan yang ditinggalkan sang sekretaris. Belum lagi siang ini dia akan menemui Agni di restoran yang telah diatur Micah.
Ponselnya berdering. Panjang umur, sahabatnya menelepon.
“Di mana lo?” todong Micah. “Setengah jam lagi Agni dateng. Gue lagi on the way.”
“Masih di kantor. Lima menit lagi keluar. Toh dekat ini tempatnya, jalan kaki juga beres.”
“Bukannya gitu. Lo sebagai calon atasan Agni harus kasih impresi bagus. Jangan sampai dia mundur duluan.”
“Enggak mungkin.” Ishaan membuka pintu ruangannya. “Dia butuh duit cepat. Dalam situasi kayak gitu, dia pasti milih bertahan meski aku menyebalkan.”
Micah mendengus sebal. “Terserah lo. Pokoknya toleransi telat 15 menit, ya.”
Ishaan geleng-geleng kepala, lalu memasukkan ponsel ke saku celana begitu percakapan selesai. Sejujurnya, dia sangat menantikan pertemuan kedua dengan Agni. Malam itu, saat sengaja menemuinya di restoran, Ishaan mendapatkan gambaran yang dibutuhkan. Bagaimana Agni memberikan pelayanan, menjaga sikap, hingga menemukan solusi. Sederet soft skills yang akan membantu gadis itu saat mereka bertemu para klien penting.
Selain itu, Ishaan juga tak memungkiri pesona Agni. Meski mengenakan seragam kasir dan makeup ala kadarnya, gadis itu begitu memikat. Jika Ayanna membuatnya langsung bergairah pada pandangan pertama, Agni… bagaimana dia harus mendeskripsikannya?
Satu yang pasti, Ishaan ingin mengenalnya lebih dekat.
*
Di luar dugaan, Ishaan datang terlambat.
Selepas mengabari Micah, Ishaan bergegas menaiki lantai menuju ruang VIP yang sahabatnya reservasi. Dia berbelok ke toilet sebentar untuk merapikan rambut dan pakaiannya. Jangan sampai dia terlihat berantakan gara-gara berlari menuju restoran demi mengejar keterlambatan.
“Buset, dia malah asyik dandan,” komentar Micah kala Ishaan keluar toilet. “Udah, udah, lo udah ganteng. Agni dari tadi nungguin kita sambil berdiri.”
“Kamu suruh dia duduk, kan?” Mendengar hal itu, Ishaan semakin tak enak hati.
“Iya, makanya lo jangan bikin dia nunggu lama-lama.” Di depan pintu bernomor 7, Micah membuka pintu dan masuk. Ishaan menyusul; matanya menangkap Agni yang seketika berdiri dari kursi.
Siang ini, Agni mengenakan pakaian yang simpel dan rapi. Serbahitam, tetapi kontras dari kemeja putih dan kulitnya yang kuning langsat membuat hati Ishaan berdesir. Belum lagi warna lipstik dan sepatu hak tingginya yang selaras….
Kontrol dirimu, Ishaan.
“Selamat—” Mata mereka beradu. Keterkejutan yang terpancar dari Agni sudah Ishaan perkirakan. Reaksi yang sekonyong-konyong mengembalikan kepercayaan diri pria itu.
“Selamat siang juga, Agni,” balas Ishaan sebelum sempat Agni menyelesaikan salamnya. “Bisa kita mulai interview-nya sekarang?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Susi Sidi
sumpah cerita nya bikin geregetan.. thor aku tunggu up nya.. jangan sampai gantung.. 💪😘❤
2023-05-07
0