“Apa kau yakin soal ini?” tanya Audrey dengan penampilan yang sangat mirip dengan dirinya saat menjadi manusia.
“Ya! Kau terlihat sangat cantik! 100% mirip!”
“Wah, kak Lia sangat cantik!”
Audrey menghela napas, mau bagaimana lagi. Dia sudah terlanjur berjanji untuk membantu Xavia, tidak mungkin dia menarik kembali janjinya. Apalagi kini ada Rea yang terlihat senang melihat penampilannya. “Jadi, aku harus apa lagi?”
Xavia tersenyum. “Lihat saja nanti.”
“Hah?”
“Serius?! Kau memintaku menyamar sebagai putri Duke??” tanya Audrey dengan raut terkejut sekaligus jengkel, bagaimana bisa dia menyamar sebagai dirinya sendiri.
“Ya!” Xavia mengangguk mantap. “Aku pernah menyamar sebagai Er dan menemuinya beberapa kali, jadi aku tau bagaimana caranya berbicara, berjalan, dan lain-lain. Pokoknya, kau hanya perlu menirunya dan muncul di depan kakakku.”
“Tidak mau! Aku ogah menyamar sebagai orang lain!”
“Kau tidak punya pilihan, kau kan sudah berjanji.”
“Sial,” gerutu Audrey kesal.
“Tidak apa-apa, Kak Lia. Kakak hanya perlu menyamar sebagai Putri Tuan Duke saja, kakak tidak perlu bicara jika tidak mau. Aku mohon, kakak bantu kakak putri. Ya, plis.”
Audrey berusaha menghindari tatapan memohon yang tampak imut di matanya, dia menghela napas dan mengacak rambut Rea. “Baik, jika itu keinginan Rea. Akan kulakukan, tapi ingat. Hanya lima menit!”
“Ok, tidak masalah!”
“Terima kasih.”
Audrey tersenyum dan mengusap surai Rea lembut. ‘Hanya lima menit, tenang, tenang! Sial, kenapa jantungku malah berdetak kencang?? Apa aku masih memiliki penyakit jantung meski sudah menjadi roh spirit?’
“Terima kasih banyak Audrey!” Xavia memeluk Audrey erat.
“Lepas! Aku bukan Audrey, namaku Liana!”
“Baik, baik.” Xavia melepas pelukannya dan berjalan keluar dengan bahagia.
“Kak Lia.”
Audrey menunduk dan menatap Rea yang juga menatapnya dengan senyum manis.
“Aku sayang kakak.”
Audrey tersenyum. “Kakak juga sayang kau, Rea ajaklah Tuan Putri Xavia untuk bermain di taman. Kakak akan ke sana sebentar lagi.”
“Baik, Rea pergi dulu.” Rea berlari keluar dengan kaki mungilnya.
‘Hah.’ Audrey menghela napas sambil memijat pelipisnya. ‘Kenapa harus menyamar sebagai Audrey? Terlebih lagi, muncul di hadapannya secara langsung. Itu tidak masuk akal!’
~~~♥~~~
“Apa kau yakin dia ada di dalam?”
“Iya, dia ada di dalam. Apa kau tau.” Xavia melirik sekitaran yang tampak sepi, jangan tanya. Itu karena di istana yang ditempati Xavier sangat sedikit pelayan dan pengawal yang tinggal, biasanya hanya pelayan dari istana utama yang dikirim ke sana untuk bersih-bersih sebentar dan kembali lagi ke istana. Dasar, dia bahkan kurang tidur karena terus bekerja setiap saat.”
Audrey menghela napas, dia mengetuk pintu. Namun tak ada balasan apapun, Audrey menoleh ke arah Xavia yang mengangkat bahunya tak tau.
“Buka saja,” bisik Xavia pelan.
“Itu tidak sopan!”
“Sudahlah, bagaimana jika kakakku mati karena kurang tidur atau karena tidak makan teratur? Cepat, cepat. Buka saja!”
Audrey berdecak, dia memegang kenop pintu dan memutarnya. “X-xavier,” panggilnya nyaris tanpa suara, namun saat dia membuka pintu lebar. Dia tidak dapat melihat siapapun, Audrey celingak-celinguk ke kanan-kiri namun tak menemukan siapapun.
Dia melangkah masuk, namun baru saja selangkah. Pintu di belakangnya tiba-tiba tertutup secara tiba-tiba, Audrey melirik sekitaran penuh waspada. ‘Energi yang tidak stabil, apa itu milik Xavier?’ Dia menarik napas dalam-dalam. “Xavi--”
Belum selesai ucapannya, sebuah belati melesat ke arahnya dan menggores lehernya. Dia yang kini dalam menunjukkan wujudnya tentu tidak sepat menghindari belati itu, darah tampak mengalir keluar. Audrey menyentuh lehernya yang terasa sedikit perih. ‘Bagaimana mungkin?? Aku adalah roh meski dalam wujud manusia, kenapa senjata biasa seperti itu bisa membuatku merasa sakit?’ Dia menoleh ke belakang, tepat ke arah belati yang tertancap. Ada aura hitam yang Samad, namun bagi Audrey yang kini menjadi roh spirit. Dia dapat melihat dengan jelas aura hitam itu.
“Sudah kukatakan jangan menggangguku!!”
Suara dingin nan mengintimidasi terdengar di belakang Audrey, dia menoleh dan mendapati Xavier yang tengah berdiri di depannya dengan raut wajah dingin tanpa ekspresi sama sekali.
“Xavier, kau …”
“A-audrey,” gumam Xavier yang tampak terkejut, dia mengucek matanya dan kembali menatap Audrey. “Audrey, kenapa kau.” Xavier langsung terdiam saat melihat goresan panjang di leher Audrey. Dia duduk di kursinya dan bersandar sambil menghela napas. “Lagi-lagi aku berhalusinasi ya,” gumamnya yang dapat dengan jelas didengar oleh Audrey.
‘Halusinasi?’ batin Audrey. ‘Jadi maksudnya, selama ini dia selalu berhalusinasi tentangku, begitu?’ dia menatap Xavier yang tampak menutupi wajahnya dengan lengan sambil menghela napas panjang. “Xavier, ini … bukan halusinasimu.”
Xavier menurunkan tangannya dan menatap Audrey dengan tatapan bingung, dia kembali bersandar dan menutup matanya. “Halusinasi Audrey yang lain juga berkata seperti itu.”
‘Dasar bodoh! Ingin sekali kupukul saja kepalanya hingga sadar!’ Audrey bersedekap dada sambil menatap kesal Xavier, dia melangkahkan kakinya ke arah pria itu dan tanpa perasaan mencubit lengan Xavier hingga dia meringis.
“Audrey, kau …”
“Lihat kan, ini bukan halusinasi!”
Xavier langsung terdiam. ‘Benar, berarti …’ Dia menatap Audrey yang bersedekap dada sambil menatapnya kesal, tanpa pikir panjang. Xavier berdiri dan memeluk Audrey dengan eratnya hingga gadis itu sesak. “Kau sudah kembali, aku sangat merindukanmu. Aku pikir, kau benar-benar sudah meninggalkanku. Kenapa kau tiba-tiba menghilang saat itu?”
Dapat Audrey rasakan bahu Xavier yang bergetar menahan tangis, tangannya terangkat dan hendak membalas pelukan pria itu namun terhenti di tengah jalan. Dia kembali menurunkan tangannya. ‘Tidak bisa! Jangan menjadi lemah, Audrey. Kau bukan lagi manusia, kau tidak bisa membiarkan hatimu menjadi lemah lagi.’ Audrey menutup matanya. “Xavier, aku … sebenarnya, aku bukan--”
“Kak Xavier!!”
Tiba-tiba saja, Xavia membuka pintu secara kasar dan mengagetkan keduanya.
“Ada apa, hah??” tanya Xavier dengan ekspresi yang berubah dingin hanya dalam sepekian detik.
Xavia berdecak sambil bersedekap dada. “Padahal aku yang mempertemukan Kakak dan kak Audrey, tapi begini balasan kakak. Aku sungguh tidak menyangka.”
“Kau? Yang membawanya kembali?”
Xavia mengangguk dengan raut sombong. “Ya! Aku yang membawanya kembali!”
‘Woy!!’ batin Audrey berteriak. ‘Kenapa kau malah semakin memperkeru keadaan?!’
Xavia yang tau dengan jelas dari ekspresi Audrey hanya tersenyum dan menggeleng pelan. 'Itu nasibmu', begitulah kira-kira dari raut yang ditunjukkan Xavia.
‘Gadis sialan! Seharusnya aku tidak setuju untuk menyamar sebagai Putri Duke, aku ditipu!’
“Hahaha, jadi kak. Bagaimana kau harus berterima kasih pada adikmu yang hebat ini?”
Xavier berdecak, dia berbalik dan berjalan ke arah meja kerjanya. Xavier membuka salah satu laci yang terkunci dan mengambil sesuatu di dalam, dia kemudian melempar benda itu ke arah Xavia yang langsung ditangkap dengan mudahnya.
“Wah, ini kan kalung pemberian ibu susu waktu itu!” Xavia menatap kalung di tangannya dengan semangat, kalung yang liontinnya terbuat dari batu fluorite berwarna hijau. “Ini kan kalung pertama yang dibuat ibu susu untuk kakak, apa kakak yakin ingin memberikannya padaku??”
“Hm, lagipula aku tidak memakai kalung.”
“Ok! Terima kasih, silahkan lanjutkan pembicaraan kalian. Aku pergi dulu!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments