Meera mulai mengajar sesuai dengan aktifitas biadanya. Semua murid ia perlakukan sama disana, meski ia harus sedikit lebih memberi perhatian lebih pada sean yang jarang sekali bergabung dengan teman.
Mereka kini tengan bermain pasir kinetic, sembari belajar membuat bentuk dengan semua cetakan yang ada. Sean meski memojok dan menyendiri tetap tampak senang memainkannya. Karena semua murid masih di damping orang tua masing-masing, maka meera mendekat pada sean dan menemaninya.
“Tidak bersama yang lain?” tanya ramah meera seperti biasa, tapi sean menggelengkan kepalanya.
Meera terus mengajaknya bermain bersama sembari mengobrol dan membujuk sean agar mau berteman dengan yang lainnya. “Momy temenin, mau?” Dan akhirnya sean mengangguk, ia membereskan semua untuk berpindah tempat duduk dilatai dan bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Awalnya memang seru, meski diam tapi sean bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lain disana. Hingga akhirnya ketika meera pergi sebentar, sebuah insiden terjadi disana. Sean yang tengah asyik bermain, mendadak semua pasir diambil oleh teman sebelahnya. Sean beberapa kali diam dan membiarkan semua itu terjadi, namun lama-lama ia tampak jengah dan kembali merebut semua mainan yang diambil darinya.
“Huaaa!!!” Seorang anak menangis tersedu dalam dekapan sang mama. Sean hanya diam dengan mata yang berkaca-kaca melihatnya, dipelik, diusap airmatanya dan bahkan ditenangkan oleh sang mama.
“Hey, ada apa?” tanya meera yang datang menghampiri mereka, sementara yang lain tak ada yang berani melerai atau melindungi sean saat itu karena fokus dengan anak masing-masing.
Meera meraih sean, tapi anak itu hanya diam dan menjelaskan apapun padanya. “Maaf, Miss. Sepertinya anak ini memiliki kelainan,” ucap mama dari anak tadi.
“Kelainan? Apa maksud anda? “
“Ya, kelainan. Dia main sendiri, sibuk sendir tapi tiba-tiba merebut semua yang dipakai anak saya. Dia seperti anak kurang perhatian,” ketusnya membalas pertanyaan meera.
Tapi meera tak percaya, ia langsung menuju meja kerja dan melihat rekaman CCTV yang baru saja terjadi. Itu menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya. Meera lantas melirik tajam kearah mama muda yang telah menuduh sean dengan begitu kejam itu.
“Anak anda yang salah, dia merebut mainan sean.” Meera langsung kembali menghampirinya.
Mama muda itu diam, ia bukan orang yang mudah mengalah dan meminta maaf sepertinya meski ia salah. Dari tatapan, gaya dan tingkah lakunya saja meera dapat membaca semuanya.
“Seran hanya ingin mempertahankan apa yang ia miliki saat itu. Ia sudah mengalah beberapa kali ketika miliknya diambil secara paksa,” terang meera dengan pengamatannyya.
“Lah, kan mainan sama-sama, jadi wajar dong saling pinjem. Namanya juga anak-anak, selalu mau dan suka dengan apa yang temannya pegang.”
“Dan anda tak mentolerir sikap anak-anaknya sean yang hanya ingin miliknya kembali?” tukas meera.
Mama muda itu hanya menelan saliva dengan tatapan yang entah kemana. Apalagi taka da yang sama sekali mau membelanya saat itu dan ia merasa terpojokkan.
“Dia aneh. Sudah saya bilang, dia lebih cocok di Sekolah luar biasa dengan anak-anak yang seperti dia. Bukan dengan anak normal disini.” Ia terus meracau tak terima disalahkan. Apalagi ia tak melihat sedikitpun rasa takut atau emosi dari sean padanya, terutama meski hinaan terus datang padanya.
Meera menarik lengan mungil itu agar berdiri dibelakangnya. Sean menggenggam ujung baju meera, baru terlihat bagaimana takutnya sean pada wanita itu saat ini. Seperti nenek lampir.
“Jangan sembarangan memvonis anak orang lain berkebutuhan khusus hanya karena sosialnya kurang. Bahkan anak yang terlalu aktif saja bisa terindikasi lebih parah dari itu!” kecam meera.
“Anda nuduh anak saya yang_! Haish… Baiklah, saya temui anda ke ruang kepala sekolah sekarang! Kita selesaikan disana. kamu ngga tahu siapa saya,” tantangnya, kemudian membawa sang putra pergi meninggalkan mereka.
Semua bubar dan melanjutkan aktifitas masing-masing. Untung saja memang aktifitas mulai bebas karena hanya menunggu jam pulang saat itu. Meera membawa sean menuju ruangannya, meski hanya bilik namun mereka bisa mengobrol berdua disana dan meera benar-benar memberikan perhatian khusus pada anak itu.
“Sean kenapa? Sean ngga mau kalau milik sean direbut?” tanya meera, dan sean hanya menganggukkan kepalanya saat itu.
Sean juga meraih kertas, ia membuat sebuah gambar disana dengan pena yang ia temukan. Seorang wanita dengan gaun yang indah kemudian ia beri tulisan momy dibawahnya, kemudian memberikan kertas itu pada meera.”Momy,” ucapnya, membuat hati meera cukup berdebar karenanya.
Hingga seorang rekan memanggul meera, bahwa ia sudah ditunggu di ruang kepala sekolah. Tapi ia tak teg ajika harus meninggalkan sean sendirian disana, hinga terpaksa harus membawanya. Mereka berdua duduk dihadapan kepala sekolah itu bagai dua wali murid yang saling membela putranya masing-masing.
“Maaf, Saya harus membawa dia karena tak mau dengan yang lain,” ucap meera, dan itu mendapat tatapan bengis dari sang mama muda.
Permasalahan diusut kembali, dan semuanya dibahas disana sesuai dengan semua bukti yang ada. Tapi mama muda tetap tak mau kalah dengan semua pembelaannya pada sang putra. Dan sekali lagi, ia mengatakan jika Ocean adalah anak yang kurang normal dan tak pantas bersekolah disana.
“Sudah saya bilang, Ocean Alexander Damares itu bukan anak berkebutuhan khusus!” tegas meera padanya.
Semua yang ada sedikit terkejut dengan pembelaan keras yang meera berikan pada anak itu, meski akhirnya ia menjadi tertuduh sebagai seorang guru yang pilih kasih terhadap anak didiknya di kelas. Tapi itu menurutnya hanya tugas guru yang berkewajiban meluruskan semuanya.
“Miss meera, sudah. Saya tahu anda hanya ingin meluruskan semua, dan saya juga akan berbuat yang sama jika itu terjadi pada siswa saya. Jadi Bu, Dona… Disini saya nyatakan tak ada yang bersalah, dan saya meminta maaf dengan apa yang baru saja tejadi,” ucap sang kepala sekolah menundukkan kepalanya.
Bu Dona hanya mencebik kesal. Ia merasa tak puas dengan semua keputusan yang ada saat itu, dan ia masih keras hati dengan tuduhannya untuk sean. Ia bahkan terus membully meera dengan kekuasaan yang ia punya, bahwa sang suami adalah seorang manager di perusahaan ternama yang besar di kotanya.
“Saya pastikan, jika dia datang maka anda akan habis setelah ini.” Wanita itu menunggu pria yang diam-diam ia hubungi sejak tadi, yang kebetulan juga akan menjemputnya dan sang putra pulang dari sekolah itu.
Meera cukup tenang memeluk calon putranya dan duduk di ruang tunggu untuk jemputan sean sebentar lagi. Hingga tiba-tiba Dua orang pria masuk dan berjalan menghampiri mereka berdua.
Bu dona segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri suaminya, tak lupa dengan wajah tegas penuh bangga. “Mama kenapa?” tanya pria itu yang aneh akan sikap istrinya.
Tapi pria itu diam, ia lantas menoleh kearah Sean dan menundukkan kepala penuh hormat padanya. “Tuan Ocean, sudah pulang juga?” sapa pria itu, memanggil sean dengan sebutan yang membuat kaget semua orang yang ada disana, terutama istrinya.
“Nyonya, Saya kemari menjemput anda dan Tuan muda untuk pulang bersama.” Seorang pria memberi hormat pada meera dan meraih tas sean ditangannya.
Semua yang ada disana hanya bisa membulatkan mata sebesar-besarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
reni
q berasa kek ada petir dsiang hari menyambar2 pas suami Dona bilang tuan ocean dan nyonya 🤣🤣🤣
2023-06-24
2
XoffeLatte
lumayan banyak typo nya ya kak
2023-06-14
0
Sri Rahayu
kecelek ya bu Dona....anak yg kamu blng berkebutuhan khusus ternyata anak bos suami mu 😆😆😆🤭🤭🤭🙈🙈🙈
2023-06-08
1