Amy merawat lelaki asing tersebut dengan telaten. Sesekali dia mengecek kondisinya di sela-sela kesibukan menulis cerita. Sampai akhirnya jemari pria itu bergerak perlahan, saat Amy sedang mengira-ngira siapa identitas lelaki yang ada di depannya tersebut.
"Kamu sudah bangun?" Amy menggerakkan telapak tangan di depan wajah lelaki asing itu.
Lelaki tersebut perlahan membuka mata. Dia berusaha memfokuskan pandangan serta mengerjapkan mata berulang kali. Pria itu mendesis sambil meringis menahan sakit.
"Kamu siapa?" tanya pria asing tersebut kepada Amy.
Mendengar pertanyaan lelaki itu sontak membuat Amy mengerutkan dahi. Gadis itu langsung berdiri tegak seraya bersedekap. Dia tersenyum kecut sambil membuang muka sekilas, lalu kembali menatap lelaki yang masih terbaring lemah di atas sofa.
"Siapa aku? Bukankah pertanyaan itu yang seharusnya aku lemparkan kepadamu?" tanya Amy dengan perasaan kesal seraya mencondongkan tubuh ke arah lawan bicaranya.
"Ya! Kamu tadi hampir mati ketika rebahan di teras rumahku! Seharusnya aku tadi membuang tubuhmu itu ke jalanan saja! Merepotkan sekali!" gerutu Amy sambil menatap kesal lelaki tersebut.
Kini pria asing itu terbelalak. Dia menatap tajam Amy, dan berusaha bangkit dari sofa. Akan tetapi, dia gagal menahan rasa sakit yang menghunjam sekujur tubuh. Dia pun akhirnya memutuskan untuk kembali berbaring.
"Rumahmu? Ini rumahku!" seru pria asing tersebut.
"Apa kamu mabuk? Ini RU-MAH-KU!" Amy menunjuk lantai menggunakan ujung telunjuk.
"Aku sudah membelinya dari seorang perempuan bernama Mona Park!"
Jordan kembali terbelalak dengan bibir menganga lebar. Lelaki itu tahu betul siapa yang sudah menjual rumahnya kepada Amy. Jordan mengusap wajah kasar, tetapi langsung menjauhkan lagi telapak tangannya dari muka. Lelaki tersebut lupa bahwa wajah tampannya kini masih penuh luka.
"Begini, mana buktinya kalau memang kamu telah membelinya dari Nyonya Park?" Jordan melemparkan tatapan tajam kepada Amy.
"Tentu saja!" tegas Amy.
Amy berjalan ke arah kamarnya dan kembali ke hadapan Jordan sambil membawa beberapa dokumen. Jordan langsung mengambil alih berkas-berkas tersebut. Pertama Amy menyodorkan kuitansi dengan nominal yang lumayan besar. Ya, Amy ternyata membeli rumah itu dengan harga yang cukup tinggi.
"Kupikir dia sudah berubah! Ternyata sama saja!" Jordan tersenyum kecut dengan pandangan yang dialihkan ke langut-langit rumah.
"Jadi, cepatlah sembuh dan pergi dari rumahku!" Amy menyipitkan mata seraya melipat lengan.
Jordan tersenyum tipis. Lelaki itu berusaha tetap berdebat dengan meredam emosi terlebih dahulu. Lelaki tersebut ingin mempertahankan haknya atas rumah yang kini ditemlati Amy.
Jordan perlahan bangkit mengabaikan rasa sakit yang mendera kepala dan sekujur tubuhnya. Setelah dia berhasil duduk sendiri dan bersandar pada sandaran sofa, lelaki itu menunjuk sebuah dokumen lain yang masih tertutup rapi di atas meja. Amy mengerutkan dahi, lalu membuka map berisi sertifikat rumah tersebut.
"Lihat baik-baik nama yang tercantum di sana!"
"Jordan Park?" Amy mengeja nama yang tertulis di atas sertifikat tersebut.
Jordan mengangguk mantap. Dia akhirnya mengeluarkan dompet dari dalam saku celana. Lelaki itu mengeluarkan kartu identitas dan melemparnya kasar ke atas meja.
Amy pun meraih kartu tersebut. Dia meneliti identitas yang tertera di sana serta mencocokkan dengan dokumen kepemilikan tanah dan bangunan yang ada di tangannya. Nama serta nomor identitasnya sama dengan yang tertulis pada sertifikat.
Akan tetapi, tentu saja Amy tidak mau mengalah begitu saja. Dia sudah mengeluarkan separuh tabungannya untuk membeli rumah itu. Dia tidak mau melepaskan rumah tersebut begitu saja. Terlebih lagi, Amy sangat menyukai suasana lingkungan serta desain bangunan tersebut.
"Oke, memang benar kamu pemilik rumah ini. Tapi, aku juga sudah membayar notaris untuk mengurus perubahan data kepemilikan tanah dan bangunan ini! Aku pun membelinya hitam di atas putih! Terlebih lagi aku percaya kepada Nyonya Park karena dia adalah ibumu! Dia bilang putranya yang meminta untu menjual rumah ini!" Amy tersenyum lebar penuh kemenangan.
"Aku akan membayarnya dua kali lipat!" Jordan menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya kepada Amy.
"Tidak! Aku tidak butuh uangmu!"
"Tiga kali lipat?" Jordan menunjukkan jemari yang mewakilkan angka tiga, tetapi Amy tetap menggeleng.
Sampai akhirnya Jordan menawarkan harga hingga sepuluh kali lipat. Kali ini Amy terdiam. Otaknya mulai bekerja layaknya mesin kalkulator.
"Jika sepuluh kali lipat benar-benar dibayar, maka aku akan bisa membeli rumah lain yang jauh lebih bagus. Aku rasa bukan hanya rumah di Busan, tapi bisa membeli rumah di Swedia atau Belgia!" Amy mulai mempertimbangkan tawaran Jordan.
Amy menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya kasar. Gadis itu mengangguk mantap. Akhirnya dia menyetujui tawaran harga beli kembali Jordan.
"Okay, DEAL! Sepuluh kali lipat!" Amy menarik ke depan tangan dan menunjukkan kesepuluh jarinya kepada Jordan.
Amy pun mengulurkan tangan dan Jordan menyambutnya. keduanya bersalaman sebagai tanda jadi. Setelah itu keduanya kembali melepaskan tangan satu sama lain.
"Okay! Sebentar aku akan mentransfermu sekarang juga!" Jordan mulai merogoh sakunya kembali untuk mencari ponsel.
Akan tetapi, Jordan gagal mendapatkan benda pipih yang dia cari. Wajah Jordan mendadak pucat pasi. Dia menatap Amy dengan mata membola seraya menelan ludah kasar.
"Sepertinya aku kehilangan ponselku." Suara Jordan terdengar lemah dan sedikit bergetar.
Amy tersenyum miring kemudian membuang muka. Dia menyangka bahwa Jordan hanya beralasan saja. Amy mengira lelaki tersebut tidak memiliki uang.
"Bilang saja kamu enggak punya uang! Cepat pulih, dan pergi dari RUMAHKU!" Amy balik kanan, kemudian kembali ke meja kerjanya.
Jordan menatap punggung Amy yang terus menjauh kemudian kembali mengempaskan tubuh ke atas sofa setelah gadis tersebut sudah berada di meja kerja. Jordan mengusap wajah kasar kemudian menghadap ke arah sandaran sofa. Lelaki itu memukul pelan kepalanya berulang kali karena merasa malu dengan sikap sombong yang telah dia lakukan.
Sementara Jordan tengah kebingungan dengan situasi yang dialami sekarang, seorang perempuan berumur 50 tahunan sedang menikmati senja di belahan bumi lain. Ya, Mona Park sedang menikmati segelas medovukha sambil menikmati pemandangan indah Kota Moskow.
Perempuan itu duduk bersama seorang pria muda yang lebih pantas menjadi anaknya daripada kekasih. Lelaki itu mengusap lembut rambut Mona, sambil ikut menatap pemandangan indah di depannya.
"Apa nantinya kamu tidak akan menyesal pergi ke negaraku ini?" tanya pria muda bernama Harley itu.
"No, Babe. Aku tidak akan pernah menyesali setiap keputusan yang pernah aku buat!" seru Mona percaya diri dengan senyum merekah.
Mendengar ucapan dari sang kekasih, tentu saja membuat senyum di bibir Harley ikut mengembang. Dia mengecup puncak kepala Mona seraya mengucapkan kalimat terima kasih dengan suara lembut tepat di telinga sang kekasih.
"Terima kasih, sudah menjadi orang bodoh," batin Harley.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Wkwkwkwk kayaknya di mampaatin tuh, brondong cuman mau duit kamu aja, Yg masih bergetah dan dahi licin aja di selingkuhin, Apa lagi kamu yg udah warga emas..🤣🤣🤣
2023-10-28
0
Alanna Th
as ta ga, anaknya dbwt mlarat tnp rmh. sungguh bejad n gila s mona!
2023-07-17
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
lagi seneng d tanyain gak nyesel ya jawabnya No Babe!
nanti kalo udah kena batunya, "maafkan ibu, ibu menyesal Jordan telah menjual rumah itu"
2023-05-04
3