Pertemuan Pertama

Rea mulai membiasakan diri hidup mandiri tanpa kehadiran orang tuanya. Terkadang, dia masih menatap sepi ponselnya. Biasanya, Vivian Johnson akan selalu bertanya tentang keberadaan putrinya itu atau kalau mereka sedang berada di luar negeri, Vivian akan melakukan panggilan video hanya untuk menanyakan apa yang dipesan oleh Rea.

Berbeda lagi dengan Alex Johnson, ayah Rea. Isi pesan Alex seperti sebuah pengingat atau reminder. "Rea, makan yang teratur," atau "Rea, selalu kunci pintu setiap kamu mau tidur atau bepergian,"

Bahkan untuk hal-hal sepele, seperti kebiasaan Rea yang jarang makan sayur akan menjadi pengingat sendiri oleh Alex.

Hal-hal inilah yang hilang dari hidup Rea, bukan hadiah yang mereka bawakan, atau barang-barang branded yang pernah orang tuanya berikan kepadanya.

Bersyukurlah Rea tidak kekurangan. Dia pewaris tunggal saham orang tuanya. Seluruh aset bergerak dan tidak bergerak jatuh sepenuhnya di tangan Rea. Belum lagi saham yang ternyata sudah atas namanya sendiri.

Seperti sore hari itu sepulang kuliah, Rea yang memang sudah diajarkan menyetir mobilnya sendiri oleh Alex, mengendarai mobilnya untuk pulang ke rumah.

"Rea! Ikut yah," ucap Lizzy.

"Masuk. Gue anter sampe mana, niy? Mobil lo ke mana emang, Zy?" tanya Rea. Biasanya, Rea selalu menjadi penumpang tetap kendaraan Lizzy. Karena gadis itu, belum boleh diizinkan menyetir hingga usianya 20 tahun nanti.

Lizzy menyeringai lebar. "Rumah. Mobil gue masuk bengkel, Re. Minta jajan dia,"

Rea menahan senyumnya. Hampir setiap bulan, mobil Lizzy masuk bengkel. Cara menyetir Lizzy, menurut Rea kurang smooth. "Ya udah, ayo! Pake seatbelt-nya,"

"Siap, Captain!" tukas Lizzy sambil memberikan hormat kepada sahabatnya itu.

Sepanjang jalan mereka membicarakan tentang masa depan mereka setelah lulus kuliah. Mengingat sebentar lagi mereka akan mengambil skripsi, sidang, dan setelah itu mereka akan mengadakan pesta kelulusan.

"Lo enak, Re. Udah dapat jaminan," ucap Lizzy menggerutu. Membayangkan sahabatnya itu tidak perlu bersusah payah untuk mencari pekerjaan atau meneruskan kuliah hanya untuk melengkapi data akademis mereka.

Rea mencebik. "Siapa yang bilang enak? Tukeran nasib, yuk! Gue akan pilih nyari kerjaan aja daripada kehilangan orang tua gue dan gue jadi direktur mendadak yang udah punya calon suami. Iya kalo cinta, kalo ngga cinta, gimana?"

Lizzy ikut mencibir. "Bener juga kata lo. Eh, tapi lo udah pendekatan sama calon suami lo?"

"Belumlah! Gue ngga mau nikah, titik!" tegas Rea. Ya, itu adalah jawaban yang akan dia sampaikan kepada Jacob Luther kalau-kalau pria dewasa itu memaksanya untuk bertunangan dengan salah satu putranya. Apa yang akan terjadi, dia tidak mau terikat dengan siapapun yang tidak dikenalnya.

"Bye, Re. Thank you udah drop off gue. See you," ucap Lizzy setelah Rea menghentikan laju mobilnya di sebuah rumah megah bergaya klasik. "Re, kapan-kapan gue nginep di rumah lo, yah?"

"Atur aja. Gue balik dulu. See you, Zy Sayang," balas Rea, dia membunyikan klaksonnya sekali lalu melanjutkan perjalanannya.

Setelah tiba di rumahnya sendiri, Rea mamarkirkan kendaraan pribadinya di halaman rumah, tidak di garasi. Dia berencana untuk mengajak Lizzy keluar malam nanti.

Baru saja Rea hendak berbaring, bel pintu rumahnya berbunyi. Gadis itu berpikir siapa yang datang mengunjunginya. Apa itu Zayn? Kenapa tidak menghubunginya lebih dulu?

"Sebentar," tukas Rea dari dalam. Dia pun beranjak dari sofa dan membukakan pintu untuk tamu yang dia yakini Zayn itu. "Kenapa ngga ngabarin dulu ka-, .... Tuan Luther?"

"Papa," kata Jacob tersenyum. "Sepertinya kamu sedang menunggu seseorang? Boleh Papa masuk?"

Rea salah tingkah dan terkejut di waktu yang bersamaan. Saat itu, Jacob sudah membawa sebagian barang-barang Rea ke rumahnya. Namun, Rea menolak dan memutuskan untuk tinggal sendiri di tempat kedua orang tuanya.

Jacob pun mengizinkan, ah bukan, lebih tepatnya, Rea kabur dari rumah Jacob dan hanya meninggalkan pesan kepada Timothy, asisten Jacob.

"Si-, silahkan masuk, Tu-, eh, Pa," balas Rea sopan.

"Ah, terima kasih," ucap Jacob dan kemudian dia duduk di sofa tempat Rea berbaring tadi.

Rea tersenyum dan mengambil posisi di kursi berlengan yang berhadapan dengan Jacob. "Ada perlu apa, Pa? Oh, mau minum apa?"

"Hahaha, ngga perlu repot-repot. Papa bukan tamu," jawab Jacob ramah. "Kedatangan Papa ke sini, ingin mengajakmu kembali dan bertemu dengan kedua putraku,"

Hati Rea meradang dan gadis itu membulatkan tekadnya untuk menolak. "Begini, Pa. Maksud saya, Tuan Luther. Saya akan menolak pertunangan ini dan membatalkan perjanjian tentang pernikahan atau apa pun itu,"

"Ini termasuk wasiat ayahmu, apa kamu akan tetap menolaknya?" tanya Jacob. "Dengar Rea, ayahmu dan aku adalah sahabat semasa kuliah dulu. Kami merintis perusahaan yang sekarang ini dari nol. Semua ide kami tertuang di perusahaan itu. Namun, perjalanan kami tidak mudah, tiba-tiba saja kami berurusan dengan cinta dan ide untuk menjodohkan kamu dan anakku sudah ada sejak kalian belum dilahirkan. Tak lama, ibumu melahirkan kamu, dan istriku melahirkan putra pertamaku. Aku pikir, aku hanya akan memiliki satu putra, tapi ternyata istriku mengandung putra keduaku dan pergi meninggalkanku dengan kedua putraku untuk selamanya,"

Rea terdiam. Dia tidak pernah tau kalau kedua putra Jacob Luther juga bernasib sama dengannya. "Saya turut berdukacita, Tuan,"

"Karena itu, aku mohon. Biarkan permintaan terakhir ayahmu menjadikan kita sebagai sebuah keluarga yang utuh," pinta Jacob memohon. Kedua maniknya menatap Rea dan gadis itu dapat melihat kejujuran dari sorot mata pria setengah botak itu.

Ini sulit, begitu pikir Rea. Menolak perjodohan bodoh ini tidak semudah apa yang dia rencanakan sebelumnya. Dia memejamkan matanya sesaat untuk mengambil keputusan yang akan merubah hidupnya ini. "Baiklah,"

Wajah Jacob cerah seketika. "Benarkah? Kamu mau menerima perjodohan itu?"

"Ya, aku akan mencobanya. Tapi, kalau ini gagal, tolong jangan paksa aku untuk melanjutkan," kali ini giliran Rea yang memohon.

Jacob mengangguk cepat. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan bertemu dengan kedua putraku. Mereka sudah menunggumu di rumah,"

Dengan patuh, Rea mengikuti Jacob masuk ke dalam mobil mewahnya untuk bertemu dengan kedua putra yang akan menjadi calon suaminya nanti.

Setibanya di rumah Jacob, Rea benar-benar disambut hangat oleh Tim dan beberapa pelayan yang sempat ditemui oleh Rea di hari sebelumnya.

Jacob mengajak Rea ke sebuah ruangan yang di dominasi dengan warna abu-abu hitam, sehingga ruangan itu tampak hangat.

Di dalam ruangan itu sudah menunggu dua orang pria dengan wajah yang jauh berbeda. Pria yang pertama berkacamata dengan mata biru yang indah di balik kacamatanya, wajahnya tampan, dan terlihat ramah. Sedangkan yang satunya lagi, memiliki tubuh yang lebih besar dari yang pertama. Rambut gondrong hitamnya berantakan dan dia memiliki banyak tato di sepanjang lengan kirinya. Wajahnya tak kalah tampan, tetapi mata hazelnya memancarkan kesedihan dan kesepian yang tak dapat Rea ungkapkan.

"Rea, ini kedua putraku," ucap Jacob tiba-tiba.

Rea tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada kedua pria yang sedari tadi memandanginya. "Halo, Rea,"

Pria berkacamata menyambut uluran tangan Rea dan tersenyum ramah kepadanya. "Ken Luther. Senang berkenalan denganmu, Rea. Semoga betah tinggal di sini,"

Lain Ken, lain juga saudaranya. Dia tidak membalas uluran tangan Rea sampai Jacob mencubit pinggangnya. "Rain!"

PriA itu mencengkeram tangan Rea dan sedikit menariknya untuk mendekat. "Aku tidak suka acara ini. Semoga kau mau bekerjasama denganku untuk membatalkan acara bodoh ini!" bisiknya.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Noviyanti

Noviyanti

bunga mendarat olive

2023-05-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!