Pagi itu, cuaca di ibu kota mendung dan berawan seolah-olah ikut bersedih dengan kepergian Alex dan Vivian Johnson. Para pelayat yang mengantarkan Alex dan Vivian terlihat begitu sedih dan berusaha menegarkan putri tunggal keluarga Johnson yang setiap beberapa menit tak sadarkan diri.
"Rea! Bangun, Rea! Kamu harus kuat!" kata seorang pelayat wanita yang ternyata teman ayah dan ibunya tersebut.
Rea benar-benar tidak sanggup menopang tubuhnya, air matanya bahkan sudah habis dan mengering. Dia menangis nyaris 24 jam penuh. Kedua matanya membengkak dan wajahnya sangat pucat.
Hanya ada satu orang yang sanggup menenangkan Rea, Zayn. Seorang pria yang sudah mengenal Rea cukup lama. "Kalo lo nangis terus, bokap nyokap lo hidup lagi gitu? Ngga, 'kan? Mereka juga ngga mau ngeliat lo depresi kayak gini! Ayolah, Re! Boleh sedih tapi please, jangan lama-lama,"
Rea mengusap air matanya dan menerima segelas air hangat dari Lizzy, sahabatnya. "Thank's,"
Kedua sahabatnya itu kini duduk mengapit Rea. Lizzy terus mengusap-usap lengannya sedangkan Zayn meminjamkan bahunya untuk Rea bersandar.
Setelah acara pemakaman selesai, Timothy datang. Kali ini dia datang bersama seorang pria berkepala botak di tengah dan berparas wajah ramah.
"Marea Skylar Johnson?" tanya pria itu.
Rea mengangguk, walaupun ingin sekali dia mengusir kedua pria dewasa itu. Dia lelah dan ingin istirahat. Dua hari ini rasanya sangat panjang dan melelahkan.
"Jacob Luther," kata pria itu.
Rea memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Halo, Tuan Luther,"
Pria bernama Jacob itu menanyakan kabar Rea dan bagaimana kehidupan gadis itu. Rea menjawab dengan sopan setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Jacob, walaupun dia masih belum tau siapa sesungguhnya pria itu.
"Maaf, kalau boleh saya tau. Anda sebenarnya siapa?" tanya Rea.
Jacob dan Timothy saling beradu pandang dan menganggukan kepala mereka. "Bisa kami bicara bertiga saja dengan Nona Johnson?"
Kali ini, Lizzy dan Zayn yang saling berpandangan. Kemudian, mereka keluar dari ruangan itu dan menunggu sahabat mereka di depan pintu.
"Begini, Nona Johnson-,"
"Rea saja," jawab Rea. Dia meluruskan posisi duduknya karena dia menganggap pembicaraan ini akan serius, terlihat jelas dari raut wajah Jacob maupun Timothy.
Tim mengangguk. "Nona Rea. Kita akan menunggu kuasa hukum keluarga Johnson yang sudah disiapkan oleh Tuan Alex Johnson sendiri,"
Mereka menunggu dalam diam. Hanya sesekali terdengar suara Jacob dan asistennya itu berbisik-bisik. Tak lama, datanglah seorang pria lain lagi ke dalam ruangan itu. Dia menenteng koper besar berwarna cokelat.
"Halo, turut berdukacita untuk Anda, Nona Johnson," sahut pria itu sambil menjabat tangan Rea. "Ferguson, panggil saja Fergie,"
"Terima kasih, Tuan Fergie," balas Rea.
Gadis itu bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi setelah ketiga pria dewasa ini berkumpul? Kalau dia sudah memiliki tim kuasa hukum, kenapa dia harus ikut menyimak dan mendengarkan apa pun yang akan dibahas oleh ketiga orang ini?
Fergie mengeluarkan beberapa dokumen serta laptopnya. Setelah itu, dia merogoh kantung koper bagian luarnya untuk mengeluarkan sebuah benda kecil yang kemudian dia masukan ke dalam salah satu lubang di laptopnya.
"Baik, Nona John-,"
"Rea saja, Tuan Fergie," potong Rea tetap sopan.
Tak sabar, Fergie kembali melanjutkan kalimatnya. "Nona Rea, seperti yang telah anda ketahui, kalau Anda adalah satu-satunya pewaris tunggal dari kepemilikan saham yang dimiliki oleh Tuan dan Nyonya Johnson. Tuan Jacob Luther adalah pemilik perusahaan tempat orang tua Anda bekerja. Mereka telah membuat sebuah ikatan kontrak yang menyebutkan, kalau Anda sudah ditunangkan dengan putra dari Tuan Jacob Luther sejak usia anda 5 tahun dan kontrak itu berlaku saat ulang tahun Anda yang ke-20 tahun nanti,"
"Tunggu! Berarti, bulan depan status saya sudah bertunangan dengan seorang pria yang tidak saya kenal bahkan saya belum pernah melihat wajahnya! Gila! Ini gila!" tukas Rea, memegangi keningnya dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya demi mendapatkan tambahan udara.
Ferguson tersenyum seakan memuji kecepatan berpikir Rea. "Anak Pintar! Ya, seperti itu. Anda bisa tinggal di rumah ini karena rumah ini juga diwariskan atas nama Anda atau Anda bisa berkenalan dengan kedua putra Jacob Luther karena salah satu dari mereka akan menikah dengan Anda,"
Rea terhenyak di kursi tempat dia duduk sambil terus menggelengkan kepalanya dan mengoceh tak jelas. "Gila! Ini gila! Gila! Ngga mungkin! Gue pasti mimpi! Salah! Ini salah!"
Namun sayangnya, Rea tidak bermimpi. Karena keesokan harinya, Jacob menjemput dia untuk ke rumahnya. "Tuan Luther?"
"Mulai sekarang panggil saya dengan Papa. Oke, Sayang?" sahut Jacob tersenyum. Dia segera meminta beberapa pelayan yang sudah dia bawa untuk membantu memindahkan barang-barang pribadi milik Rea. "Bawa sedikit pakaian saja, nanti kita akan berbelanja,"
Rea sama sekali tidak dapat berkutik. Dia hanya bisa pasrah melihat semua barang dan buku-buku kuliahnya dimasukkan ke dalam koper.
Setelah sebagian barangnya masuk ke dalam koper, Jacob menuntun Rea untuk masuk ke dalam mobil bersamanya. Di dalam mobil pun, Rea masih terdiam. Dia tidak tau apa yang harus dia katakan, dia juga tidak dapat menolak permintaan Jacob karena dia belum mencerna wasiat yang diberikan kepadanya.
"Nah, ini rumahku. Mari masuk, Rea," kata Jacob ramah.
Rea masih dalam keadaan autopilot sampai mereka tiba di kediaman Jacob Luther. Lagi-lagi, Jacob terpaksa menyeret Rea untuk masuk ke dalam rumahnya.
Pria setengah botak itu menunjukkan Rea, di mana kamarnya. "Kamar ini sudah Papa dan ayahmu siapkan sejak lama. Kami berdua berharap ini akan menjadi sebuah kejutan untukmu,"
"Ke-, kenapa semua terlalu mendadak? Maksud saya, Papa saya, maksud saya, Papa Alex tidak pernah memberitahu saya tentang ini," tanya Rea yang akhirnya dapat mengatur kata-katanya.
"Kejadian orang tuamu ini juga mendadak, Rea. Tidak ada yang menginginkan kejadian seperti ini terjadi," jawab Jacob. "Tadinya, bulan depan kami akan memberitahukan berita ini kepadamu, tapi segalanya terjadi,"
Kembali Rea terdiam tanpa kata. Dia menghembuskan napasnya. Segalanya begitu sulit dia terima. Kejadian yang datang di hidupnya dari kemarin datang bertubi-tubi dan bahkan masalah-masalah itu tidak menyisakan ruang bernapas untuknya.
"Kalau kau mau berangkat kuliah, kau bisa meminta supir kami untuk mengantarmu," ucap Jacob lagi.
Rea lupa kalau dia harus kuliah. Dia mengangguk dan meminta Jacob untuk keluar dari kamarnya. Setelah Jacob keluar kamar, Rea mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Lizzy.
"Zy, temenin gue ke makam. Ada kuliah ngga?" tanya Rea dalam pesan.
Seolah menanti pesan dari sahabatnya, Lizzy pun membalas pesan Rea dengan cepat. ("Ngga ada, Re. Gue temenin lo. Abis itu lo mau ke manapun, gue ngikut,")
Air mata Rea menetes dan mengalir dengan cepat membasahi kedua pipinya. "Thank you, Zy,"
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
𝓐𝔂⃝❥Ŝŵȅȩtŷ⍲᱅Đĕℝëe
Lizzy teman yg baik ini
2023-05-28
0
Kooky Kooky01
Udah pasti syok rea,,orangtua’y meninggal ,, dapet kabar begitu ,, pasti syok lah
2023-05-02
0
Kooky Kooky01
Bener,, jangan sedih terlalu lama,,orang yg sudah meninggal baiknya di doakn bukan ditangisi
2023-05-02
0