"Yura... kamu sudah pulang, nak?" Tanya Bunda saat melihat putrinya memasuki rumah.
"Iya, Bun. Tadi malam Yura menginap di rumah Ani." Jawab Yura. Ia melirik adik iparnya yang pagi-pagi memasang wajah kesal saja. Selalu saja begitu.
"Kak Yura, sudah sarapan?" Tanya Didi.
"Enak ya kak, pulang-pulang tinggal sarapan-"
"Sisi!" Didi menyela dengan menaikkan nada suaranya. Sisi makin tidak ada sopan santunnya.
"Sudah tadi di rumah Ani, dek." Jawab Yura memberitahu.
"Kak Yura, cari kerja kenapa? pemalas pun jadi orang!" Cibir Sisi dengan wajah menyebalkan. Ia seolah tidak peduli dengan tatapan tajam suaminya.
"Lagi dicari, Si." Jawab Yura seadanya.
"Cari gimana? masa tiap hari keluar rumah, tapi nggak dapat kerjaan juga." Ucap Sisi tidak percaya Yura mencari kerjaan. Kakak iparnya itu hanya beralasan sudah mencari kerja, padahal memang pelamas dan mau menumpang hidup dengan mereka saja.
Yura hanya bisa menghela nafas. Mau menjawab lagi, pasti ujung-ujungnya bertengkar. Ia tidak mau melihat bundanya sedih, jadi lebih memilih diam.
"Atau kakak nikah saja kalau sudah malas dan bosan kerja. Pak Juko si juragan kontrakan itu mau loh nikah sama kakak. Hartanya banyak. Jadi istri ke limanya." Saran Sisi kembali. Juragan kontrakan tua itu sering mengejar kakak iparnya itu. Tapi Yuranya saja yang sok jual mahal.
"Sisi, jaga bicara kamu!" Didi menajamkan pandangannya. "Kak, maafkan Sisi, ya."
"Sudahlah." Yura mengangguk mengerti. Ia tidak mempermasalahkannya. Memang begitulah sikap adik iparnya itu.
"Oh iya, kak. Ada yang mau aku bicarakan." Ucap Didi kembali.
Tak lama mereka duduk di sofa ruang tamu. Sisi ingin ikut bergabung, tapi tidak diperbolehkan Didi. Jadi Sisi hanya menguping dari balik tembok. Sangat penasaran dengan apa yang mau mereka bahas.
"Kak... aku sama bunda sudah sepakat. Kami mau buka usaha gitu." Ucap Didi hati-hati agar Yura tidak tersinggung.
"Benar, nak. Kita bisa jualan sembako. Nanti kamu jualannya sama bunda." Timpal bunda juga. Ia masih sanggup membantu Yura nantinya.
Mereka tahu Yura sudah melamar pekerjaan, tapi tidak ada panggilan. Karena diusia seperti Yura sekarang, sangat sulit mencari pekerjaan. Walaupun memiliki pengalaman.
"Mau buka usaha seperti itu, modal dari mana, hah?" Sambung Sisi yang tiba-tiba datang. Buka usaha itu perlu modal besar, pasti modalnya dari suaminya.
Didi punya uang dari mana?
Pinjam di bank?
Otomatis bulanannya akan berkurang, demi membayari modal usaha untuk kakaknya itu.
Sisi menggelengkan kepala, ia tidak bisa sebaik itu untuk membantu Yura.
"Kak Yura, stop merepotkan kami! Kakak sudah dewasa, seharusnya tidak menyusahkan Didi lagi. Seharusnya kakak menikah dengan pak Juko. Bukan menyusahkan adikmu terus!" Sisi mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini dipendamnya.
Setelah menikah, Sisi merasa seharusnya dialah ratunya. Segala apa yang suaminya punya adalah miliknya. Tapi, nyatanya Didi malah membatasi semua. Tidak pernah memberikan seluruh gaji yang diterimanya.
Bahkan sekarang mau membantu kakaknya yang pemalas itu. Pasti dengan alibi, saat itu Yura lah yang menjadi tulang punggung mereka ketika ayahnya meninggal.
Sisi sangat muak. Hutang budi, mau sampai kapan mereka terus dibayangi hal tersebut. Kehidupan mereka hanya berpusat pada Yura, Yura dan Yura saja.
Plak
Tangan Didi melayang terbang ke pipi Sisi. Ia tidak suka mendengar ucapan Sisi pada kakaknya.
"Didi, sudahlah!" Bunda memegangi putranya yang tampak emosi.
"Di, sudahlah!" Yura juga menahan adiknya.
"Aku sudah sering mengatakan padamu, jangan bicara sembarangan pada kak Yura. Setelah ayah meninggal, kak Yura yang menggantikan posisi ayah. Jika saat itu kak Yura mau pergi meninggalkanku dan bunda, apa aku bisa seperti sekarang? Apa kamu mau menerimaku jika aku tidak bekerja?" Didi tampak emosi, ia mengeluarkan semua kekesalannya. Selama ini ia sudah menjelaskan sampai mulut berbusa pun pada Sisi, tapi Sisi tidak mau tahu sedikit pun.
"Didi, sudahlah!" Bunda kembali menenangkan putranya.
"Kenapa kamu tidak pernah membelaku sih?" Sisi memegangi pipinya dengan air mata yang berlinang. Setiap membahas Yura, selalu dia saja yang salah.
"Karena kamu salah!!!!" Pekik Didi kesal. "Selama ini aku sudah mencukupimu lebih dari cukup-"
"Tapi aku tidak mau berbagi sedikitpun dengan dia! Kamu sudah menikah, seharusnya tidak usah pedulikan dia lagi!" Tunjuk Sisi tidak senang. Didi hanya perlu berfokus pada dirinya saja. Dia istrinya, bukan malah mengurusi kakaknya itu.
"Astaga!!!" Didi mengusap wajahnya. Istrinya masih berpikiran Yura adalah beban.
"Mau sampai kapan kamu terus berhutang budi padanya?" tanya Sisi kembali. Ia tidak mau terus-terusan hidup seperti ini.
"Sisi!!!" Bentak Didi sangat emosi.
"Didi, sudahlah!" Yura menggeleng agar adiknya tidak membahas lagi.
"Aku akan mencari kost saja." Yura berniat pergi dari rumah ini. Ia sudah jenuh.
"Tidak, kakak tidak boleh pindah dari sini!" tolak Didi yang tidak terima ucapan Yura.
"Nggak apa loh. Nanti aku akan cari pekerjaan juga! Aku pergi saja! Aku bisa jaga diri!" ucap Yura mengalah. Ia tidak mau Didi dan Sisi terus bertengkar karenanya.
"Tidak, kak! Aku tidak mengizinkan kakak pindah dari rumah ini!" tegas Didi kembali.
Sisi mendengus kesal, Didi terlalu membela kakak seperti Yura.
"Aku akan-"
"Aku bilang tidak ya tidak, kak!" kini Didi sedikit menaikkan intonasi suaranya. Agar Yura tahu, ia sama sekali tidak mengizinkannya pindah.
Yura menghela nafas pelan. Ia jadi serba salah.
"Tidak usah dengarkan perkataan Sisi. Sebelum menikah dengannya aku sudah menjelaskan semua. Jika ia sekarang tidak mau nerima semua ini, terserah dia saja!" Didi tidak akan ambil pusing dengan Sisi. Istrinya itu tidak mau mengerti sedikit pun.
Sisi meremas tangannya, ia sangat geram dengan Yura.
Yura menghela nafas kasar dan ia pun berjalan masuk ke kamarnya. Memilih menghindar saja.
Dan Bunda pun mengikuti Yura. Jujur Bunda sebagai orang tua jadi merasa bersalah. Jika saja suaminya masih hidup. Jika saja saat itu ia tidak sakit-sakitan.
Bunda kasihan melihat Yura. Putrinya itu selalu memilih diam saja, tapi malah menantunya yang terus mengungkit masa lalu.
Didi juga menghembuskan nafas berkali-kali. Ia hanya ingin Sisi tidak menganggap kakaknya beban, tapi malah itu yang membuat Sisi makin tidak suka dengan Yura.
Walau katanya Sisi menerima keluarganya. Nyatanya Sisi sama saja seperti orang lain.
Mungkin jika orang yang tidak tahu perjuangan kakaknya saat itu seperti apa dan melihat sekarang Yura yang pengangguran. Pasti langsung sembarangan mencap, bahwa selama ini Yura adalah beban mereka. Padahalkan tidak seperti itu. Tapi yang orang lihat, apa yang terjadi sekarang.
'Sisi-Sisi seharusnya kamu mengerti!'
Jika Sisi menganggap Yura keluarga, pasti tidak akan seperti itu sikapnya pada kakaknya. Sisi tidak mau menganggap Yura bagian dari keluarganya.
Malas melihat sang istri, Didi pun masuk ke kamar dan mengambil tas kantornya. Ia akan pergi kerja saja.
"Kamu mau ke kantor?" tanya Sisi melihat Didi pergi begitu saja tanpa berpamitan dengannya.
"Aku akan ke kantor. Aku tidak mau menjadi bebanmu!" ucap Didi dan berlalu pergi. Ia sengaja mengatakan begitu, agar Sisi sadar dan mengerti.
Sisi memanyunkan bibirnya.
'Serba salah saja aku di matanya!!!'
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
sherly
jelas salahlah, hrsnya kamu paham kalo Yura tu bukan beban,,
2024-06-26
0
sherly
gila nih adik iparmu yura, perlu dicabein mulutnya pakai cabe setan.... geram kali akulah
2024-06-26
0
Aba Bidol
Ipar modelan begini bagusnya di geprek aja. Nggak ada sopan2nya sama kakak iparnya...., iihhh jadi esmosi aku neh othor
2024-05-27
1