Yura bernafas lega bisa keluar dari hotel itu. Ia kini turun dari ojek dan akan memasuki rumah. Tapi langkah kakinya berhenti, saat mendengar suara pertengkaran dari dalam.
"Mau sampai kapan kakakmu kita urus?" Tanya Sisi, adik iparnya Yura.
"Apa maksudmu?" Tanya balik Didi, adiknya Yura.
"Aku tidak masalah kita mengurusi Bunda. Tapi, kalau kak Yura juga, aku tidak bisa!" Ucap Sisi lagi menolak.
Mengurusi ibunya Didi, Sisi tidak ada masalah. Karena ia tahu berapa lama lagilah Bunda akan bertahan hidup. Tapi Yura? Mau sampai kapan? Masa sampai tua Yura terus bersama mereka?
"Si, jangan seperti itu pada kakakku!" Senggak Didi tidak terima.
"Lihatlah, kakakmu sangat pemalas. Sudah tidak bekerja dan sudah malam begini tidak pulang. Seharusnya ia segera menikah, bukan malah menyusahkan adiknya!" Balas Sisi kembali.
"Sisi, tutup mulutmu! Kak Yura baru dua bulan berhenti bekerja!" Didi mengingatkan.
"Jangan seperti itu pada kak Yura. Dia kakakku!" Timpal Didi kembali. Yura tidak pernah menyusahkan mereka, istrinya itu saja yang selalu beranggapan seperti itu.
"Teruslah... teruslah kamu berhutang budi padanya!" Cecar Sisi kesal.
"Apa kamu mau mengatakan, jika sekarang kamu bisa sukses karena berkat jasanya itu? Maka dari itu kamu jadi mempunyai tanggung jawab untuk membalas apa yang telah dilakukannya? Ingat Didi, kamu sudah menikah sekarang. Kamu harus lebih mengutamakan istrimu! Mengutamakan aku, bukan dia!!!" Jelas Sisi pada apa yang dirasakannya. Ia menikah dengan Didi dan tidak mau Yura ada di tengah-tengah mereka. Karena bagi Sisi Yura seperti beban nyata dalam rumah tangganya.
Yura itu hanya menjadi beban buat adiknya. Seharusnya Yura memiliki sedikit hati nurani. Karena bundanya Didi masih hidup, maka Yura ikut ke mana pun bunda tinggal.
Bagaimana jika bunda sudah tiada?
Apa selamanya Yura akan menumpang hidup dengan mereka?
"Aku ngantuk!" Didi tidak mau berdebat lagi. Percuma ia menjelaskan, Sisi tidak mau mengerti.
Didi masuk ke kamar, ia mengusap wajahnya dengan kesal.
Saat menikah dulu, ia sudah menjelaskan secara detil perihal keluarganya. Dan Sisi mau menerima semua. Menerima hidup dengan bundanya dan menerima hidup dengan Yura sampai kakaknya itu menikah.
Karena Didi mempunyai tangung jawab menjaga kakaknya sampai ada pria yang menikahi Yura.
Sisi menyanggupi semua itu. Tapi sekarang baru 3 bulan pernikahan mereka berjalan, kenapa Sisi tidak bisa menerima kakaknya?
Didi ingat kala itu. Saat Yura tamat SMA, ayah mereka meninggal dunia. Meninggalkan Yura dengan bunda dan dirinya yang masih sekolah duduk di kelas 3 SMP.
Saat ayah, sang tulang punggung itu telah tiada, Yura lah yang mengambil bagian itu. Karena bunda mereka sering sakit-sakitan semenjak ayah meninggal. Dan Didi masih sekolah, Yura tidak mau adiknya putus sekolah.
Yura pun bekerja untuk mencukupi kebutuhan bunda dan adiknya itu. Untuk makan, tempat tinggal bahkan untuk berobat bundanya.
Yura menjalani pekerjaan di dua tempat. Pagi sampai sore menjadi buruh di pabrik. Dan saat sore menjelang ia bekerja menjadi pelayan di rumah makan.
Didi yang melihat sang kakak selalu pulang di tengah malam, merasa sedih. Ia berniat ingin berhenti sekolah saja dan membantu kakaknya dengan mencari kerja. Tapi Yura malah menahannya.
"Sudah, kamu sekolah yang rajin. Biar nanti bisa dapat pekerjaan yang bagus. Nanti kita bisa beli rumah, biar bunda nyaman!" Yura mengelus kepala sang adik dengan sayang. Seolah merasa apa yang ia lakukan sekarang adalah bentuk tanggung jawabnya kepada keluarga.
Ayah telah tiada, bunda juga sedang sakit. Tidak mungkin bunda bekerja mencukupi kebutuhan mereka. Didi juga harus tetap sekolah.
Didi terpaksa mengangguk. Saat ini mereka hanya bisa menyewa kontrakan satu kamar. Karena uang yang dicari kakaknya habis untuk berobat sang bunda.
Saat telah tamat SMA, Didi ingin bekerja saja dan tidak mau meneruskan kuliah. Tapi tetap Yura tidak mengizinkan. Bundanya kini juga sudah sehat. Yura jadi menyuruh Didi berkuliah, adiknya itu mendapat beasiswa.
Meski dapat beasiswa, tapi Didi merasa untuk kebutuhan sehari-harinya pasti kakaknya yang banting tulang. Ia tidak ingin terus menyusahkan Yura.
"Kamu kuliah saja, kan dapat beasiswa. Sudah yang lain nggak usah dipikirkan. Nanti kalau kamu sudah selesai kuliah, terus kerja, gajinya kan besar. Kita bisa beli rumah." Ucap Yura membujuk adiknya.
Yura kini mengangsur sebuah sepeda motor untuk kaki mereka. Agar lebih mengirit ongkos.
Saat pagi, Didi yang mengantar Yura ke tempat kerja. Lalu ia baru pergi kuliah. Saat sore Didi kembali menjemput kakaknya dan begitulah setiap hari.
Yura itu juga tidak ada capeknya. Begitu pulang kerja, ia menggunakan sepeda motornya untuk mencari uang. Ya, menjadi pengemudi ojek online. Ia tidak bekerja di dua tempat lagi. Hanya di pabrik saja.
Didi juga ikut menjadi pengemudi ojek untuk membantu kakaknya juga. Jadi mereka sering berganti-gantian menjadi pengemudi ojek.
Meski kehidupan yang mereka jalani berat, tapi mereka selalu tertawa dan tersenyum bersama. Mensyukuri apapun yang diberikan.
"Kak, aku kan sekarang sudah bekerja. Sudah kak nggak usah kerja lagi. Biar aku saja!" Ucap Didi ketika ia diterima bekerja di sebuah perusahaan.
"Sudah, biar kakak tetap bekerja saja. Nanti uang gajian kamu kumpul-kumpul untuk beli rumah, jadi biar cepat." Saran Yura kembali. Biar saja untuk kebutuhan sehari-hari, pakai gajinya.
"Tapi kak-" Didi merasa tidak enak. Ia sudah bisa bekerja dan berpenghasilan sekarang. Ingin kakaknya tidak usah bekerja lagi. Biar ia yang bekerja dan pelan-pelan mengumpulkan uang untuk membeli rumah.
"Sudah, kamu kerja yang rajin saja. Biar cepat beli rumahnya." Yura menyemangati adiknya itu. Dengan membeli rumah, bunda tidak akan kesusahan pindah-pindah terus. Bunda sudah semakin tua, kasihan jika pindah-pindah terus. Harus ada tempat menetap.
"Atau kak Yura kuliah saja." Saran Didi kembali.
Saat itu Didi tidak sengaja melihat berkas beasiswa kuliah kakaknya, saat membersihkan kamar. Yura mendapat itu. Tapi, karena ayah mereka meninggal. Yura pasti mengubur keinginannya untuk berkuliah. Ya, karena untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, dirinya dan bunda yang saat itu sakit-sakitan.
"Nggak usah, dek. Kakak kerja saja!" Yura sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuliah lagi. Ia juga tidak mau menyusahkan adiknya yang sedang merintis itu.
Didi menghembuskan nafas berkali-kali. Ia kesal dengan sikap istrinya itu. Yang seolah menganggap kakaknya beban. Padahal Yura baru 2 bulanan ini tidak bekerja lagi. Selama ini juga, untuk kebutuhan Yura sendiri, tidak pernah meminta padanya. Pesangon kakaknya itu juga masih ada. Bahkan Yura memberikan uang bulanan dengan pesangonnya itu, padahal Didi sudah menolaknya. Tapi Yura tetap memaksa.
Didi mengusap wajahnya. Lalu melihat jam dinding. Sudah pukul 11 malam.
'Kak Yura kenapa belum pulang?' Batinnya bertanya-tanya. Ia pun meraih ponsel dan menghubungi sang kakak.
"Kak Yura, di mana?"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
marisa hikmawati
istri yg kurang ngajar
2025-02-19
0
Fatchi
disuruh kerja beli rumah mlhn nikah dulu kknya aj blm nikah berubah
2024-06-30
0
sherly
Didi jgn mau dihasut Ama istrimu...
2024-06-26
0