Shella segera memindahkan ibunya ke tempat tidur dengan susah payah. Untungnya tubuh ibunya tidak terlalu berat bagi Shella. Dia segera mengambil minyak kayu putih dan dioleskan ke dada ibunya. Lalu di dekatkan ke hidung ibunya agar ibunya mencium bau minyak kayu putih tersebut.
Beberapa menit telah berlalu dan akhirnya ibunya mulai sadar dari pingsannya. Shella tersenyum dan menarik napas berat karena dadanya terasa sesak. Kini dia bisa bernapas lega melihat ibunya mulai membuka matanya.
"Ibu, bagaimana perasaan ibu, apa sudah lebih baik?" tanya Shella sambil menatap ibunya sedih.
"Ibu, hanya kaget saja. Bagaimana dengan ayahmu?" Ibunya balik bertanya.
"Tadi Shella belum selesai bercerita. Ayah si rumah sakit karena menolong korban tabrak lari. Tadi Shella juga ikut ke sana, tapi ayah meminta Shella untuk pulang agar ibu tidak khawatir. Uang hasil jualan kita hari ini, semuanya untuk uang muka biaya perawatan orang yang kami tolong. Sekarang, kita tidak memiliki uang sepeserpun," jawab Shella sambil menghela napas berat. Shella takut jika ibunya kaget lagi.
"Masalah uang, ibu tidak peduli. Yang terpenting kalian berdua tidak kenapa-napa. Untuk modal besok, ibu akan ambil dari simpanan ibu. Bagaimana kondisi orang itu?" tanya Ibunya.
"Baik. Untung kami belum terlambat. Shella sudah sangat ketakutan saat itu. Shella membayangkan, pasti Kak Ferdi juga dalam keadaan seperti itu saat kecelakaan terjadi. Shella hampir putus asa. Tapi sekarang, Shella lega, bisa membantu orang itu, hingga nyawanya masih bisa tertolong," jawab Shella dengan mata berkaca-kaca.
"Syukurlah. Besok, kita belanja sekaligus mengirim makanan untuk ayahmu," kata Bu Rasti.
"Karena ibu sudah tidak apa-apa, Ibu istirahat dulu. Shella masih harus mengambil motor Shella yang masih tertinggal di tempat kejadian," kata Shella.
"Sendirian?" tanya ibunya khawatir.
"Ibu, kejadiannya dekat komplek kita. Nanti motor dia aku titip di rumah Didi," jawab Shella. Didi adalah sahabat Shella yang rumahnya tidak jauh dari kejadian tersebut.
Esok harinya, Shella dan Bu Rasti pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Galang dan sekaligus mengirimkan sarapan untuk Pak Darman. Awalnya, Shella tidak ingin ibunya ikut ke rumah sakit, tetapi ibunya terus memaksa ikut.
"Ibu pingin lihat orang itu. Ibu pingin merasakan senangnya melihat seorang korban kecelakaan masih bisa selamat," kata ibunya sebelum pergi.
"Ibu yakin, tidak akan pingsan lagi?" tanya Shella khawatir.
"Ibu yakin, Ibu akan baik-baik saja," jawab Bu Rasti.
Sepeda motor Rasti berhenti tepat di depan rumah sakit. Shella segera memarkirkan motornya lalu mengajak ibunya menuju ruang rawat inap Galang. Di depan pintu, Shella dan ibunya berhenti saat melihat ayahnya tertidur di kursi sambil bersandar di ranjang pasien.
Shella dan Bu Rasti saling berpandangan sesaat. Shella bergegas membuka pintu dengan perlahan karena takut ayahnya akan terbangun.
"Shella, apakah kamu kenal orang ini?" tanya ibunya. Bu Rasti melihat dengan seksama wajah Galang yang masih tampak tampan karena wajahnya tidak terluka.
"Tidak, Bu."
"Oh. Ibu akan bangunkan ayahmu untuk sarapan. Kamu gantikan ayahmu sebentar," titah ibunya. "Pak, bangun. Ibu datang membawa sarapan. Makanlah dulu. Nanti keburu dingin."
Pak Darman membuka mata perlahan. Dia tersenyum saat melihat sosok istrinya ada disampingnya.
"Ibu datang?"
"Iya. Sarapan dulu, biar Shella yang menggantikan Bapak sebentar. Ayo!" ajak Bu Rasti.
Mereka keluar dari ruang perawatan Galang untuk sarapan. Sementara, Shella menggantikan ayahnya menjaga Galang. Shella sedih melihat kondisi Galang yang masih belum sadarkan diri. Meskipun saat itu Galang memakai helm, tetap saja mungkin ada benturan yang membuat Galang belum sadarkan diri.
Shella duduk sambil sesekali menatap wajah Galang. Sepertinya Shella pernah melihat Galang, tetapi dia lupa dimana. Saat Shella berusaha mengingat, Galang tiba-tiba mulai sadarkan diri. Melihat tangan Galang bergerak-gerak, Shella bergegas keluar memberitahu ayah dan ibunya.
"Ayah, Ibu. Dia sudah sadar! teriak Shella.
"Cepat kamu panggil Dokter!" titah ayahnya.
Shella bergegas memanggil dokter dan dokter segera memeriksa kondisi Galang. Semu akhirnya bisa bernapas lega karena dokter mengatakan jika Galang sudah melewati masa kritisnya. Sekarang semua sudah aman terkendali. Hanya luka tusukan yang paling parah. Untungnya tidak terlalu dalam sehingga tidak mengenai organ dalamnya.
Setelah dokter keluar, Pak Darman mulai menginterogasi Galang.
"Nama kamu siapa? Kami tidak menemukan identitas apapun dalam tubuhmu. Beri tahu nomor telepon orangtuamu agar bisa kami hubungi. Mereka pasti sangat khawatir saat kamu tidak pulang semalaman," tanya pak Darman.
"Nama aku Galang. Bisakah, tidak perlu menghubungi keluargaku?" tanya Galang dengan suara agak pelan.
"Tidak bisa. Orangtuamu pasti sangat khawatir sekarang. Apalagi melihat kondisi kamu yang seperti ini," jawab pak Darman.
"Mereka tidak akan khawatir padaku. Hidup atau mati mereka tidak akan peduli," kata Galang sepertinya menyimpan luka batin yang dalam.
"Mana ada orangtua yang tidak peduli pada anaknya? Setiap orangtua pasti mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ayo, berikan nomor telepon orangtuamu," kata pak Darman lagi.
"Ayah, mungkin dia lupa nomor ponsel orangtuanya. Jangan dipaksa lagi. Biarkan dia beristirahat. Dia baru saja sadar dan baru bebas dari kematian. Sebaiknya kita pulang saja," kata Shella menengahi.
"Iya, Pak. Ayo pulang dulu. Bapak perlu mandi dan beristirahat juga. Biarkan Shella di sini menjaganya. Kasihan kalau membiarkan dia sendirian di rumah sakit, tanpa keluarga," kata Bu Rasti.
"Baiklah. Shella, hari ini kamu tidak ada mata kuliah. Jadi kamu bisa jaga dia. Kamu tidak perlu bantu ayah di warung. Biar ibu yang bantu ayah. Kamu pastikan, setelah dia baikan, kamu minta nomor telepon keluarganya," pesan ayahnya.
"Iya, Ayah. Shella usahakan," jawab Shella sambil tersenyum.
"Ibu dan Ayah pergi dulu. Jika ada apa-apa, cepat kamu hubungi kami. Nanti siang, ayahmu akan mampir membawakan makan siang kamu," kata Bu Rasti.
Shella hanya mengangguk saja mendengar perkataan ibunya. Shella menatap kepergian ayah dan ibunya. Beruntung sekali, Shella memiliki orangtua seperti mereka. Meskipun kehidupan mereka serba pas-pasan, tetapi keluarga mereka saling menyayangi.
Melihat Galang memejamkan matanya lagi, Shella bermain ponsel agar tidak ikut mengantuk. Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pria dan wanita terlihat panik saat melihat Galang dalam kondisi terluka. Mereka ternyata orangtua Galang.
Mereka berjalan mendekati Shella yang berdiri saat melihat mereka masuk.
"Kamu yang menyelamatkan anakku?" tanya Bu Mila.
"Benar," jawab Shella singkat.
"Terima kasih atas bantuan kamu. Semoga Allah membalas kebaikan kamu, Nak," kata Bu Mila.
"Aamiin. Karena sekarang Bapak dan Ibu sudah datang, saya pamit pergi," kata Shella berpamitan.
"Silakan."
Shella melangkah keluar dari ruangan tersebut. Baru saja sampai di pintu keluar, terdengar suara Bu Mila memarahi Galang.
"Kamu ini kapan bisa sadar. Setiap hari selalu membuat kami ini khawatir dengan ulah kamu. Kenapa bisa, aku memiliki anak seperti kamu?" kata ibunya marah.
"Sudahlah, Ma. Galang masih muda, nanti dia juga pasti akan tahu sendiri mana yang baik dan mana yang buruk," kata Pak Varo.
"Lo bukan ayah gue, Lo nggak perlu sok perhatian sama gue!" teriak Galang penuh kemarahan.
"Galang, bicara yang sopan dengan ayahmu. Atau ...," kata Bu Mila berhenti karena seperti sulit untuk melanjutkan kata-katanya.
"Atau apa, Mami mau tampar Galang lagi seperti dulu? Silakan, lagian juga Galang nggak akan bisa mengelak," sahut Galang ketus.
Shella tidak tahan melihat semua itu. Ingin rasanya dia kembali untuk melerai pertengkaran mereka. Terapi, Shella hanya orang luar yang tidak pantas ikut campur urusan keluarga mereka.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments