20 Kali Cambukan

Perlahan, Wafa melepaskan tangan Sari. Kemudian meminta Raihan untuk segera bersiap karena dirinya sudah siap menerima hukuman. Raihan awalnya menolak dan minta orang lain yang melakukannya.

"Kenapa tidak? Jika kakak sendiri yang menghukum, aku merasa jauh lebih baik. Namun, jika orang lain yang menghukumku, siapa tahu aku malah jadi marah dan tak bisa intropeksi diri," celetuk Wafa.

Setelah dipertimbangkan lagi, akhirnya Raihan mau melakukan. Hukum cambuk itu tidak dilakukan seperti santri lain di depan umum, melainkan di belakang rumah dan hanya disaksikan oleh keluarga saja.

Sebelum hukum cambuk di mulai, Raihan meminta Wafa untuk mengganti pakaiannya. Seperti yang sudah-sudah, orang yang hendak menerima hukuman harus memakai kain putih yang longgar sekali.

"Kamu sudah siap?" tanya Raihan.

Wafa menganggukkan kepala dengan tenang, "Ya, aku siap!"

Beberapa detik, Raihan tertunduk dan tangannya berat sekali untuk mengayunkan cambuk. "Wafa, aku tidak bisa lakukan ini," kembali ia menyerah.

"Lakukan atau Pak kyai akan marah pada kalian semua," Wafa kembali menyebut ayahnya dengan sebutan itu.

Sari pun mendekati Raihan, menepuk bahu sepulu lelakinya itu dan berbisik, "Lakukan saja, tapi usahakan jangan sampai mengenai perut bagian belakang,"

"Lah? Terus aku harus mencambuk bagian mana ini?" sahutnya lirih.

"Kan bisa bagian punggung agak ke atas," bisik Sari lagi.

"Kalau kena wajahnya, bagaimana?" tanya Raihan. "Aih, sudahlah, aku bisa atasi ini. Aku berharap Allah melindungi anak yang ada dalam kandungnya, minggir lah—" sambungnya.

Sebelum melaksanakan tugasnya, Raihan terlebih dahulu berdoa supaya setelah ini Wafa tak lagi melakukan kesalahan yang mengharuskan tangannya ternoda dengan melukai adiknya sendiri.

Hukum cambuk di mulai. Awalan Wafa masih terlihat kuat meski harus merintih kesakitan begitu Raihan berulang kali mencambuk di tempat yang sama.

'Ya Allah, ternyata hukuman seperti sakit sekali. Kulit punggungku pasti bisa terluka dan mengelupas.' keluh Wafa dalam hati. 'Ya, janinku. Kamu bertangan di sana, ya.'

Wafa menyentuh perutnya perlahan, mengusapnya dengan lembut dan kemudian tersenyum. Naluri keibuannya mendadak bertambah ketika ia mengandung anaknya sendiri.

'Selama ini aku merawat anak orang lain, tak kusangka jika aku juga bisa memiliki anak sendiri. Yah, meski caranya yang benar-benar tidak baik.' batinnya lagi.

20 kali cambukan selesai. Wafa sama sekali tak terlihat kesakitan dan malah tersenyum serta mengucapkan tahmid.

"Wafa, apa kamu baik-baik saja?" tanya Zira, langsung menghampirinya.

Wafa mengangguk.

"Ayo, istirahat dulu. Jika kamu tidak bisa tengkurap, kamu bisa memiringkan badanmu," timpal Dian.

Dari kejauhan, pak kyai yang telah marah karena merasa dikhianati putrinya hanya bisa menyaksikan hukuman putrinya. Beliau juga rupanya tak sepenuhnya marah, dan masih menangisi nasib buruk yang mengiringi langkah putrinya di usianya yang menginjak 20 tahun.

'Ya Allah, perutku sakit sekali. Apakah ada sesuatu serius yang terjadi pada janinku?' batin Wafa, menahan sakit karena tidak ingin sepupunya khawatir.

Setelah masuk ke kamar, Wafa membereskan semua berkas penting miliknya. Dia bersiap untuk pergi dari rumah yang merupakan menjadi sebagian hidupnya. Banyak kenangan yang akan berat ditinggalkan olehnya demi sebuah kebaikan semua.

'Rumah ini—banyak sekali keterangan yang indah terjadi di sini. Sangat sulit bagiku untuk meninggalkan semuanya. Tapi demi tidak menyakiti keluargaku lagi, aku mah sudah seharusnya pergi,' batinnya.

Wafa merogoh kantung roknya. Mengeluarkan ponsel yang sudah rusak touchscreennya di ujung kanan atas. Mencari nomor sahabatnya—Inneke.

'Apa!' seru Inneke ketus. 'Malam-malam begini kau meneleponku, ada hal penting apa?'

"Posisi?" tanya Wafa.

'Aku sedang ada di jalan, ada apa?'

"Tepatnya di jalan mana?" tanya Wafa lagi.

'Jalan apa, ya? Pokoknya sekitar 4 kilometer lagi lewat depan gang pesantren, kenawhy?'

"Aku tunggu di depan gerbang saat ini juga. Aku sudah bersiap dan ini baru mau keluar dari rumah," pinta Wafa.

'Buset, maksudnya apa ne?'

"Maafkan aku kartu aku belum bisa menceritakan lewat telepon. Karena kamu berada di jalan yang tujuannya melewati rumahku, tolong jemput aku sekarang juga dan akan aku jelaskan nanti, salam dan see you again,"

'Matamu, see you again. Maksudnya apa, woy!'

Tut ... Tut ...

Menghindari pertanyaan dari Inneke yang akan membuatnya semakin pusing, akan jauh lebih baik memang Wafa memutuskan teleponnya. Sebelum ia pergi, Ia menulis surat untuk siapa saja yang pertama kali masuk ke kamarnya dan melihat surat tersebut.

Wafat tidak membawa pakaiannya. Garis ini akan meminta tolong orang lain dan meminta Zira supaya mengemasi pakaiannya nanti. Tidak lupa wafat terus menguatkan diri supaya tidak merasa lemah dan terpuruk karena ujian yang ia jalani.

"Astaghfirullah hal'adzim, semoga saja keputusanku ini sudah sangat benar. Kesehatan Abi yang utama, alangkah baiknya aku menghindari sesaat,"

"Abi sudah tidak menganggapku sebagai putrinya lagi. Tapi itu tidak masalah, saat ini Abi sedang marah, pasti apapun yang keluar dari mulutnya itu karena emosi,"

Wafa masih berusaha untuk positive thinking dan menghadapi ujian hidupnya dengan tenang.

Setelah semuanya beres, Wafa keluar dari kamarnya dan secara diam-diam keluar dari pintu rumah. Langkah kakinya begitu cepat di waktu dini hari. Berjalan tergesa-gesa dengan menahan sakit di bagian punggungnya.

'Ini sakit sekali, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus segera keluar sebelum ketahuan,' batinnya.

"Hmm, Abi tidak ingin aku pamit padanya. Cara Ini adalah cara yang sangat tepat. Maafkan aku, Mbak Sari, Bang Rai, Zira, Dian. Semoga kalian bisa mengambil pelajaran apa yang terjadi padaku ini,"

"Terima kasih karena selama hidup kalian yang telah menjadi saudaraku yang sangat-sangat baik. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,"

Penjaga di depan gerbang malam itu sedang ke kamar kecil. Wafa pun bisa menerobos dengan mudahnya pagar besar dan tinggi itu. Gadis ini terus menoleh ke kanan dan ke kiri karena sahabatnya belum juga tiba.

"Kemana dia? 4 kilometer juga tidak memerlukan waktu selama ini, 'kan?" gumamnya.

"Aku akan coba menghubunginya,"

Baru saja Wafa ingin menghubungi sahabatnya, mobil sahabat sudah kelihatan. Tanpa menunggu Inneke turun dari mobilnya, Wafa langsung masuk begitu saja.

"Malam, Ke, terima kasih tumpangannya," sapa sekaligus ucap Wafa berterimakasih.

"Hilih, dasar gaje!" ledek Inneke kesal.

Inneke memacu gas mobilnya sedikit lebih cepat, karena tidak ingin ketahuan oleh siapapun, terutama tetangga pesantren yang dekat dari sana. Kebetulan memang di pos ronda masih banyak bapak-bapak yang menikmati malam santai di sana.

"Ampun dah, seharusnya mereka ngeronda. Eh, malah asik-asik ngopi dan main catur di pos ronda," Inneke menggerutu.

"Biarkan saja ...." sahut Wafa.

Nafas kasarnya itu sampai terdengar oleh sahabatnya. "Apa maksudnya itu?" tanyanya, menoleh ke arah Wafa.

"Aku masih baik-baik saja. Nanti aku ceritakan padamu, Ke. Ayo, segera bawa aku ke rumahmu, aku sudah sangat lelah," jawab Wafa dengan senyuman.

Melihat posisi duduk sahabatnya yang tidak biasa membuat Inneke pun menegurnya. "Kenapa cara dudukmu begitu, weh? Gegayaan banget dah!"

Terpopuler

Comments

Hasrie Bakrie

Hasrie Bakrie

Lanjut

2023-05-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!