Luka Di Atas Luka

"Jadi ayah anak ini adalah Pak Bian?" tanya ustadz Lana begitu mendengar cerita dari Wafa.

Wafa mengangguk pelan.

Kekecewaan ustadz Lana semakin nyata. Wanita yang ia cintai, ternyata pernah melakukan zina dengan pria lain sampai hamil. Namun pria itu tak dapat berkata apa-apa karena tidak mungkin baginya untuk menghakimi Wafa. Hanyalah helaan nafas kasar lah yang Wafa dengar dari mulut pria itu.

"Wafa saya ... Saya bingung harus bereaksi seperti apa. Tapi bagaimana mungkin setelah kalian tidur bersama—astaghfirullah hal'adzim," ustadz Lana mengambil nafas dalam-dalam.

"Pak Bian dan kamu malah memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi lagi?" ustadz Lana benar-benar tidak menyangka.

Wafa mengangguk.

Ustadz Lana menepuk keningnya. "Astaghfirullah hal'adzim. Lalu bagaimana kalian akan menyelesaikan masalah anak ini?" tanyanya lagi.

"Mungkin untuk 3 bulan kedepan kandungan saya belum besar. Selama itu juga saya akan berusaha mencari rumah, bersiap jika Abi mengusir saya ketika mengetahui bahwa saya hamil diluar nikah, astaghfirullah hal'adzim," jelas Wafa.

Andai saja Wafa juga mau menikah dengan ustadz Lana, kemungkinan besar ustadz Lana juga bisa menerima Wafa dalam keadaan apapun.

Hanya saja ....

"Saya bersedia yang menjadi ayah dari anak itu jika kamu mau," usul ustadz Lana.

Begitu mendengar usulan dari ustadz Lana membuat Wafa terkejut. "Menikah itu bukan main-main, ustadz. Bagaimana mungkin saya mengandung anak dari orang lain, tapi nikahnya juga dengan orang lain lagi?" sahut Wafa, sedikit ngegas.

"Kandungan kamu belum memasuki 3 bulan. Nasabnya akan jatuh kepada saya nantinya jika kita menikah secepatnya di bulan ini," lanjut ustadz Lana.

Wafa langsung beranjak dari tempat duduknya.

"Allahu Akbar, teori dari mana, ustadz? Anak ini nasabnya tetap nasab saya, Bagaimana mungkin menjadi nasab ustadz?" Wafa mengelak.

"Itu jika kamu mau menikah dengan saya bulan ini juga. Kandungan kamu baru memasuki usia 1 bulan. Jika kita menikah di bulan, kemudian kita mengumumkan kehamilan ini di bulan berikutnya, tidak akan ada yang curiga jika nanti kelahirannya ada di bulan kedelapan," usul Ustadz Lana.

Wafa menggelengkan kepala.

"Dan dari situlah kita akan mulai berbohong dan terus berbohong, ustadz. Mungkin semua orang akan percaya dengan apa yang kita rencanakan saat ini,"

"Tapi ketika anak itu lahir, dan dia tidak sedarah dengan ustadz, kemudian Pak Bian hadir kembali dan dia menyadari itu ... Maka kebohongan yang akan kita simpan ini hanyalah berakhir sia-sia saja,"

"Bukankah itu sama saja? Tapi hanya menunda kebenaran tapi dengan menambah dosa akan kebohongan?"

"Lalu kamu maunya apa?" Ustadz Lana menyahutnya dengan sedikit nada membentak.

Saat itu Wafa hanya perlu waktu untuk sendiri. Usulan dari Ustadz Lana yang ingin menikahinya tetap ditolak olehnya. Apapun pamit dan meninggalkan Ustadz Lana yang masih berdiri di sana sendiri.

'Sejujurnya saya yang paling sakit ketika mendengar berita ini, Wafa. Kamu menjadikan saya sebagai yang pertama mengetahui kabar ini. Tapi saya juga orang yang pertama kecewa sekaligus sakit hati,' batin Ustadz Lana.

Saat itu Ustadz Lana menahan diri untuk tidak mendekati Wafa dan memilih untuk pulang lewat jalur yang lain.

Sisi lain, Wafa memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatnya—Inneke. Di sana dia juga menceritakan segalanya tentang kehamilan yang dia alami. Tentu saja membuat Inneke juga terkejut.

"Ha? Bagaimana ceritanya kamu hamil, Fa? Kamu kan belum nikah, anjirr!"

Wafa meminta sahabatnya untuk duduk kembali.

"Apa kamu tadi tidak menyimak ketika aku cerita?" kata Wafa, mencubit lengan Inneke.

"Aw, sakit!" rintih Inneke, mengusap lengan yang sebelumnya Wafa cubit.

"Di malam buka bersama sekaligus reuni malam itu, Ferdian—pria yang menyapa kita di lobby, telah memasukkan pembangkit nafsu ke dalam minumanku," ungkap Wafa pelan-pelan.

"Dia memberikan kunci kamarnya padaku. Bodohnya aku, menerima minuman yang dibikin untukku. Ketika aku jalan menuju ke kamar miliknya, tiba-tiba dari belakang ada yang menggendongku dan membawaku masuk ke kamar yang lain,"

"Sejak saat itu aku sudah tidak ingat apapun lagi dengan jelas. Tapi sedikit yang aku ingat, kau memang melakukan hubungan badan—astaghfirullah hal'adzim. Bahkan Aku jijik dengan diriku sendiri, Ke!"

"Ketika aku terbangun, aku mulai bisa mengingat apa yang terjadi malam itu. Disampingku sudah ada Pak Bian yang tidak mengenakkan pakaian dan hanya diselimuti menggunakan selimut hotel saja,"

"Kamu tau betapa hancur aku, Ke? Aku—"

Inneke langsung memeluk Wafa dengan erat. Wafer menangis dengan air mata yang bercucuran sampai terbata-batak ketika bicara. Masih tidak menyangka jika hal buruk seperti itu menimpa dirinya. Bahkan dia tidak tahu dosa yang dilakukan itu sifatnya bagaimana karena tidak sengaja melakukannya.

Apapun yang Wafa katakan saat itu, Inneke sama sekali tidak melepas pelukannya sampai sahabatnya benar-benar tenang.

Setelah hati Wafa jauh lebih tenang, Inneke memberikan secangkir teh hangat padanya. Dia juga bertanya tentang apa yang hendak Wafa lakukan setelahnya.

"Aku tidak tahu," jawab Wafa, menggelengkan kepala.

"Sudah berapa bulan itu tadi?" tanya Inneke lagi.

"Hitungan dokter 6 minggu. Jadi belum kelihatan sama sekali," jawab Wafa.

"Lalu bagaimana kamu akan cerita pada keluargamu? Kamu tahu sendiri kan, bagaimana ayahmu?" lanjut Inneke.

"Pertama aku akan jujur kalau aku memiliki hubungan lebih dari sekedar pekerjaan dengan Pak Bian. Kami memang tidak pernah berpacaran atau menyatakan perasaan masing-masing," ujar Wafa. "Ke, kamu tahu sendiri jika aku dan Pak Bian memiliki kontrak menjadi pasangan pura-pura,"

Inneke lanjut bertanya, "Lalu?"

"Pak Bian pergi ke kampung halamannya sampai entah kapan. Grietta juga telah dibawa oleh ibu kandungnya, maka aku akan memanfaatkan keadaan itu untuk mengungkapkan kontrak pasangan itu pada Abi," imbuh Wafa.

"Terus, apa kamu sudah memikirkan apa resikonya?" tanya Inneke, memastikan keyakinan Wafa.

Wafa ngangguk. Meski dia harus menerima hukuman seberat apapun itu, pasti akan ia lakukan supaya suatu saat nanti tidak ada yang mempertanyakan bagaimana anaknya lahir sebelum pernikahan.

Inneke mengusap punggung Wafa lembut. Sebagai sahabat hanya bisa mendukung karena sadar diri tidak memiliki hak penuh atas Wafa. Tapi diam-diam, Inneke memberikan kabar kehamilan Wafa pada asistennya Bian, yakni Zaka Yang.

Malam harinya Wafa akan memberitahukan kebenaran kontrak kerja pasangan pura-pura pada keluarganya. Wafa juga sudah mengirimkan pesan pada Sari dan sepupu sepupunya untuk hadir malam nanti.

Pesan itu terkirim langsung ke ponsel pribadi Zaka Yang yang juga ikut pulang ke kampung halamannya bersama dengan Bian.

Lalu, bagaimana tanggapan pria itu?

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

Masih belum paham cerita soal hubungan kontrak tsb?

2023-08-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!