BAB 5

Agaknya wanita itu harus menelan pil kekecewaan lantaran motor antik milik almarhum bapaknya belum kunjung selesai di perbaiki, karena ada sparepart yang tidak di miliki oleh bengkel tersebut.

"Tiga hari?" wanita itu mengulang ucapan sang pemilik bengkel, karena sparepart tersebut harus ia datangkan dari Semarang maka di perkirakan motornya akan rampung dalam waktu tiga hari ke depan. "Apa tidak bisa lebih cepat lagi?"

"Bisa," sambung Bian. "Aku sudah telepon temanku untuk mendatangkan sparepart yang motormu butuhkan, pagi ini juga akan di kirim ke alamat bengkel ini dan nanti sore sampai. Mudah-mudahan besok pagi sudah selesai, bagaimana?" tanya Bian kepada sang pemiliki bengkel.

Sang pemilik bengkel mengangguk. "Kalo ada sparepartnya, satu jam juga selesai," ucapnya dengan penuh keyakinan.

"Okay, masalah sparepart selesai. Sebaiknya sekarang kita pulang atau ke rumah sakit, karena kakimu harus segera di obati." Bian melirik ke bawah, celana yang di kenakan wanita itu sedikit robek akibat keserempet tadi sehingga Bian bisa melihat sedikit luka pada kakinya.

Wanita itu mengangguk. "Iya, aku akan cari angkutan umum. Terima kasih atas semua bantuannya."

"Angkutan umum?" Bian melihat semua barang belanjaan wanita itu. "Belanjaanmu banyak tentu akan repot membawa barang sebanyak ini terlebih kakimu sedang sakit." ia mulai megambil sebagian barang-barang belanjaan wanita itu dan menaruhnya di motor.

"Tapi mas, aku tidak ingin..."

"Merepotkan? Aku memang lagi tidak ada kerjaan di sini." Bian terus membereskan barang-barang wanita itu seolah ia tak menerima penolakan. Setelah semua barang-barang belanjaan wanita itu ia gantung di motornya, Bian memakai helmnya kemudian naik ke motornya sembari merubah posisi tas ranselnya menjadi ia gendong di depan, lalu mengulurkan tangannya. "Ayo...!!"

Tak ada pilihan lain, wanita itu pun akhirnya menerima bantuan Bian, ia menggunakanan helmnya, namun ia setelah itu tak menerima uluran tangan Bian melainkan ia memegang bahu Bian untuk naik ke motor Bian dan menaruh barang-barang belanjaannya yang berada di tangannya di antara tubuhnya dan tubuh Bian. Bian tersenyum penuh kemenangan, ia kembali menghidupkan mesin motornya.

Baru saja Bian hendak melaju keluar dari bengkel, namun sang pemilik bengkel memanggilnya. "Bayar dulu mas..."

Untung saja Bian sudah mengenakan helm, karena jika tidak, tentu wajahnya yang merah padam karena malu akan di lihat oleh wanita yang duduk di belakangnya. "Maaf," Bian membuka ranselnya dan mengambil dompet. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratusan ribu rupiah, kemudian memberikannya kepada sang pemilik bengkel. "Terima kasih," ia pun melajukan kendaraannya keluar dari bengkel.

"Namaku Imam, kau mau aku antar ke mana?" tanya Bian memulai obrolannya. Entah mengapa ia inggin gadis itu memanggilnya dengan nama tengahnya, agar lain dari teman-temannya yang lain.

"Aku Annisa," jawab gadis itu lembut, hingga nyaris saja tak terdengar oleh Bian. "Aku ingin ke warungku di Sleman," jawabnya.

Bian mengangguk. "Sebenarnya aku tak hapal jalan, aku baru tiga kali ke Jogja. Jadi kau arahkan saja ya."

"Baik mas Imam.." sahut Annisa.

Sepanjang perjalanan, baru kali ini Bian merasakan jantungnya berdegub dengan kencang. Perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan dengan Caroline sekali pun.

Tiga puluh menit akhirnya mereka tiba di sebuah rumah makan soto, yang ternyata warung tersebut milik keluarga Annisa. Bian kembali membantu Annisa membawakan barang-barang belanjaan ke dalam.

"Astagfirullah, mba Annisa kenapa?" tanya seorang paruh baya bertubuh besar, yang datang menghampiri Annisa dengan raut wajah cemasnya setelah melihat Annisa berjalan terpincang-pincang.

"Enggak apa-apa mbok, tadi hanya keserempet saja." Annisa menyerahkan semua belanjaannya yang ada di tangannya kepada Mbok Darmi, seorang yang membantunya di warung.

Mbok Darmi buru-buru menaruh barang belajaan Annisa di dapur kemudian ia kembali lagi dengan membawa kotak p3k dan air hangat di baskom. Mbok Darmi menunduk dan mulai mengobati luka Annisa.

Beberapa kali Bian melihat Annisa menringis kesakitan, membuatnya tak tega. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjongkok di hadapan Annisa. "Biara kau saja mbok," Bian mengambil waslap yang berada di tangan mbok Darmi.

"Jangan mas Imam..." cegah Annisa.

"Enggak apa-apa, aku sering kok mengobati luka seperti ini. Hanya sebentar saja, nanti kakimu enakkan dan bisa jalan lagi," ucap Bian, ia memerintahkan mbok Darmi untuk melayani pelanggan warungnya sebab ia melihat ada beberapa orang yang datang menunggu untuk di layani.

Lagi-lagi, ucapan Bian seperti mantra sihir yang membius Annisa, sehingga Annisa tak mampu menolaknya, ia membiarkan Bian mengobati lukanya. Dan benar saja beberapa menit kemudian bengkak pada kikinya berangsur membaik.

"Coba kamu berdiri dan berjalan perlahan," perintah Bian, sembari berdiri.

Perlahan Annisa berdiri dan menggerakan kakinya untuk melangkah. Wajahnya berubah takjub, setelah merasakan kakinya tak sesakit yang tadi. "Terima kasih mas..."

Bian turut bahagia melihat Annisa bisa berjalan tanpa meringis menahan sakit. Sebagai ucapan terima kasihnya, Annisa membuatkan soto special untuk Bian, ia menyajikan soto hangatnya di hadapan Bian. "Di coba dulu mas sotonya."

Bian yang kebetulan belum sarapan, tanpa malu-malu melahap soto buatan Annisa, ia hanya butuh waktu lima menit untuk menghabiskan soto buatan Annisa. "Sotomu enak sekali," puji Bian. "Bolehkah, selama aku di Jogja aku mampir kemari untuk menikmati soto buatanmu?"

"Silahkan mas, untuk mas Imam aku kasih gratis selama mas ada di Jogja," ucap Annisa sembari tertawa.

Jantung Bian kembali berdegup kencang melihat senyuman di wajah Annisa secara dekat, tak hentinya ia memandangi wajah cantik Annisa. Wajah yang sangat minim dengan polesan make up namun terlihat sangat meneduhkan pandangannya.

"Ngomong-ngomong mas Imam ada keperluan apa datang kemari?" tanya Annisa, namun ia buru-buru meralat ucapannya. "Maaf jika aku terkesan ingin tahu, mas boleh kok untuk tidak menjawabnya."

Bian menggelengkan kepalanya, tanda ia sama sekali tak keberatan dengan pertanyaan Annisa. "Aku kemari mencari seseorang yang membawa kabur uang kas komunitas motorku. Alamatnya di desa Sidorejo, apa kamu tahu?"

"Ooh itu di dekat sini mas, paling hanya sekitar 500 meter," tunjuk Annisa ke arah timur.

"Baiklah, kalau begitu aku mau mengurus urusanku dulu, tapi nanti sebelum pulang ke Jakarta, aku akan mampir kembali untuk menikmati soto buatanmu."

Annisa tersenyum sembari menganggu. "Datanglah kapanpun mas mau, tapi aku mohon maaf sebelumnya jika nanti aku tidak ada di warung karena aku harus menjaga ibu." ia menjelaskan jika tugasnya di warung ini hanyapah berbelanja, ia tak bisa lama-lama berada di warung sebab harus mengurus ibundanya yang tengah berbaring di rumah sakit.

"Aku doakan semoga ibumu lekas sehat, aku pergi dulu ya. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam," Annisa mengantar Bian sampai ke pintu depan warungnya.

Terpopuler

Comments

Nia Budiman

Nia Budiman

di jogja ngak ada angkot, adanya transjogja

2023-08-20

1

yuni kazandozi

yuni kazandozi

tujuh kan bian sering dagdigdug ser hatinya kalau ngobrol ma nisa,imam jodoh anisa

2023-05-22

2

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

semoga dengan menggantinya dengan Imam akan menjdkan imam buat Annisa... aseekk

2023-05-14

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!