Fifi kembali ke rumah sambil membawa sekantong kresek berisi makanan ringan. Gadis itu berjalan riang sambil mulutnya berdendang lagu-lagu pop yang sedang viral.
"Mbak Naya," Fifi tiba-tiba masuk ke kamar Naya.
"Ssttt... Jangan rame, Lala lagi bobok," ucap Naya memperingatkan sebelum adik sepupunya itu terlanjur bar-bar.
Fifi hanya mengangguk, lalu gadis itu menunjukkan makanan yang dibawanya itu kepada Naya.
"Coba tebak dari siapa?" kata Fifi.
Naya langsung menghedikkan bahunya, malas menerka.
"Dari bang Wahyu, katanya buat Lala."
Naya tidak begitu kaget, karena tadi ia sudah mengira pasti itu dari Wahyu.
"Taruh saja di meja itu, Fi," kata Naya sama sekali tidak penasaran makanan apa yang diberi Wahyu untuk Lala.
"Mbak nggak mau lihat isinya?"
Naya bergeming saja. Pikirannya tiba-tiba tersita tentang Wahyu. Rupanya Pria itu mulai nekat sedikit demi sedikit untuk bisa mendekatinya. Dari yang awalnya cuma bertemu di luar, sampai tadi mengantar Naya hingga gang depan, dan sekarang lanjut kirim-kirim makanan. Jika dibiarkan bisa-bisa besok ia nekat datang ke rumah ini. Sungguh, Naya tidak siap jika Wahyu sampai nekat datang beneran.
Seketika Naya duduk, dan lantas mengambil makanan yang dibawa Fifi itu. Fifi yang melihatnya langsung senyum-senyum, mengira Naya sudah mau membuka hatinya sedikit kepada Wahyu.
Tetapi bukan seperti dugaan Fifi, Naya penasaran mengecek isi kresek itu karena takut ada apa-apanya. Dan benar saja, dari sekian banyak makanan yang bisa di berikan kepada Lala, ada satu makanan yang tidak mungkin itu untuk Lala. Ada dua batang coklat yang biasanya coklat itu sering dipakai orang-orang pacaran untuk kado ketika perayaan valentine days. Lala terbengong memegang coklat itu.
"Waah... Enak tuh, Mbak," pekik Fifi dengan sorot mata berbinar.
Lala terbangun karena suara Fifi. Beruntungnya bocah itu tidak rewel lagi. Langsung anteng setelah melihat banyak jajanan ringan kesukaannya.
"Lala mau roti?" tawar Naya.
Bocah itu mengangguk. Lalu Naya membuka bungkus roti itu dan kemudian memberinya kepada Lala. Tangan Lala ikut sibuk mengambil susu kotak yang berjumlah lima, dan menyatukannya dalam pangkuannya. Bocah itu memang sangat doyan minum susu kotak.
Saat Lala juga akan mengambil coklat yang tadi dipegang Naya, wanita itu buru-buru mencegahnya.
"Lala masih nggak boleh makan coklat. Entar perutnya sakit lagi gimana?" Terpaksa Naya berkilah seperti itu karena tidak ingin Lala memakannya. Itu saja.
Beruntungnya Lala mau patuh. Bocah itu terlalu asyik menikmati roti isi keju kesukaannya.
"Buat kamu saja, Fi," kata Naya dengan suka rela memberikan dua coklat itu kepada Fifi.
"Satu aja, Mbak. Kalau dikasih ke aku semua Mbak nggak kebagian dong."
"Nggak pa-pa, mbak nggak mau coklat," balas Naya. Padahal sebenarnya ia suka coklat, apalagi dimakan ketika pikiran lagi suntuk, seperti ampuh menjadi obat penenang buat Naya.
"Ya udah, makasih ya, Mbak. Emang rejeki anak sholehah." Fifi terkekeh.
Gadis itu seperti kebiasaannya akan selalu mengunggah story ke sosmed nya tiap kali ada sesuatu yang membuatnya senang. Walau ketika sedang galau pun, story Fifi akan lebih banyak bermunculan berderet-deret.
Tiba-tiba saja Rahma ikut masuk ke kamar itu.
"Kok banyak makanan, dari siapa?" tanyanya penasaran.
"Dari Irwan," sahut Naya langsung. Ia tidak mau ibunya kepikiran jika ia mengatakan yang sebenarnya.
Fifi yang mendengar jawaban Naya hanya bisa cengengesan menatap Rahma. Sambil memamerkan dua coklat itu kepada Rahma. Tak apalah buat tumbal kebohongan, yang penting dapat coklat gratis.
Rahma melirik jengah kepada Fifi. Entahlah, gadis itu sudah sering diperingatkan oleh Rahma untuk tidak pacaran dulu. Tetapi Fifi seperti acuh dengan pesan Rahma. Mungkin karena Rahma bukan orang tua kandungnya, jadilah Fifi seperti tidak begitu takut dengan larangan dari Rahma. Entah kalau Rahma menceritakan itu kepada orang tua kandung Fifi, bisa dipastikan Fifi akan langsung kejer-kejer. Secara kedua orang tua kandung Fifi orangnya sangat fanatik.
Lalu Rahma berlalu dari kamar Naya.
Malam sudah menjelang. Orang rumah sudah duduk santai sambil menonton tivi. Ada Farhan yang sedang menemani Lala bermain. Om yang masih berusia belum dua belas tahun itu memang selalu menjadi teman main Lala saat di rumah. Sedangkan Riki tetap ngendon di kamarnya. Entahlah apa yang sedang dilakukan adik kedua Naya itu.
"Alhamdulillah, cucu Mbahkung sudah sembuh," ucap Abdul begitu mengecek kening Lala yang suhunya sudah normal.
"Ayo ke ayon-ayon, Ma," kata Lala dengan riang, setelah mendengar perkataan sembuh dari Abdul.
"Belum boleh dulu, Lala harus benar-benar sembuh dulu," rayu Rahma.
Wajah Lala mulai memberengut.
"Mama bilang malam minggu kan? Ini masih hari apa?" Naya ikut merayu.
"Ayo hitung sama mama. Kamis, Jum'at, Sabtu. Nah, sudah tiga hari lagi, La." Naya membujuknya sambil menghitungkan jari kecil Lala.
"Bedini ya, Ma?" Lala mengangkat jarinya tiga.
Naya mengangguk sambil tersenyum. Tangannya mengacak gemas pucuk kepala Lala yang semakin hari kepintarannya semakin meningkat.
"Weeee... Om Aan jangan itut!" kata Lala mulai menggoda Farhan.
Farhan pura-pura menangis didepan Lala. Alhasil malam itu suasana menjadi ramai karena gelak tawa orang rumah, melihat aksi lucu Lala yang semakin menggemaskan.
"Naya, bapak pingin ngomong sama kamu," kata Abdul mengajak Naya bicara berdua di ruang tamu.
Naya langsung menurut tanpa banyak tanya. Tetapi Fifi dibuat was-was, takut-takut ada orang yang akan datang melamar Naya. Diam-diam Fifi nguping pembicaraan mereka, dengan pura-pura masuk ke kamarnya yang jaraknya berdekatan dengan ruang tamu.
"Waktu bapak pulang kerja tadi, pak lek Sholeh manggil bapak," kata Abdul memulai pembicaraannya.
Naya tetap diam mendengarkan. Ia sudah bisa menebak, pasti ini soal perjodohan. Karena pak lek Sholeh sudah dikenal sebagai juru comblang di kampung Naya tinggal.
"Dia bilang ada orang yang ingin datang melamar kamu," lanjut Abdul.
"Trus bapak bilang apa?" Naya penasaran akan jawaban bapaknya kepada pak lek Sholeh.
Jujur, Naya sedikit takut. Takut Abdul kembali mengulangi hal yang sama saat dulu Naya akan dijodohkan dengan ayahnya Lala. Saat itu Abdul main setuju saja, tanpa meminta pendapat Naya dulu. Iming-iming mantan suami Naya yang mengatakan akan melanjutkan sekolah Naya hingga ke bangku kuliah, membuat Abdul langsung setuju dengan lamarannya. Abdul merasa tidak akan mampu menyekolahkan anaknya sampai kuliah. Jadi wajar saja jika Abdul begitu senang mendengar janji itu. Yang nyatanya janji itu hanya isapan jempol belaka. Karena Naya tidak benar-benar di kuliahkan saat menikah. Jangankan kuliah, ngasi duit belanja saja agak perhitungan. Apalagi harus mengeluarkan biaya kuliah Naya.
"Bapak ngomong ke pak lek Sholeh kalau bapak harus ngomong dulu ke kamu," sambung Abdul.
Naya menghela nafas lega mendengarnya.
Abdul sedikit merasa trauma dengan perjodohan yang dulu. Ia berjanji tidak akan main jodoh-jodohkan lagi kepada anak-anaknya. Kalau memang menurut Abdul pilihannya itu baik, Abdul pasti akan menanyakannya terlebih dahulu kepada anak-anaknya.
"Pak lek Sholeh bilang orang yang akan melamar kamu itu tahun ini mau nyalon kades. Dia duda, sudah punya anak satu kayak kamu. Anaknya usianya sudah sepuluh tahun. Katanya dia duda karena cerai, istrinya selalu cek-cok, beda pendapat terus. Begitu kata pak lek Sholeh," jelas Abdul.
Naya melongo mendengarnya. Duda?
"Menurut kamu bagaimana, Nay? Kalau kamu mau, bapak mau ngomong sama pak lek Sholeh. Kata pak lek Sholeh orang itu harus segera punya istri sebelum pilkades digelar." Abdul bertanya lagi.
Naya bergeming saja. Jujur, dalam hati Naya menolak tawaran itu. Ia bukan wanita gila harta dan jabatan. Apalagi saat mendengar pernyataan butuh segera menikah karena akan nyalon kades, apa iya itu bukan sekedar topeng untuk masyarakatnya? Bisa-bisa Naya hanya akan bernasib sebagai istri diatas kertas saja.
Sedangkan Fifi yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka, mulai gencar berchatting dengan Wahyu. Apa yang didengarnya itu Fifi langsung menceritakannya kepada Wahyu.
"Kalau tidak mau bilang langsung saja, Nay. Kita nggak pa-pa kalau kamu masih belum siap nikah lagi," kata Rahma ikut nimbrung.
Perlahan dengan pasti, akhirnya Naya menganggukkan kepalanya.
"Maaf, Pak, Buk, aku tidak bisa. Aku masih belum siap lahir batin untuk menikah lagi," kata Naya dengan mantap.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Marchel
jangan mau sama calon Pak kades, belum tentu ia benar-benar jadi pak kades, Lebih baik yang sudah pasti saja Foto kopiannya Afgan yang sudah jelas di depan mata 🤭
2023-06-19
2
Yani Cuhayanih
Daripada jd bu kades lebih baik jd istri Afgan kw....othor visual nya mana aku pusing ora ngerti ora ono .......ka Rose minta ayam goreng......tuh kan ini buktinya aku pusing......
2023-05-23
2
Utiyem
pak kades butuh segera istri buat nyalon kades hedeeehhhhh emoh, ojo gelem nay
2023-05-11
2