Naya tiba di rumah Yuli setelah hampir setengah jam ia mengayuh sepedanya. Kedatangannya langsung disambut suaminya Yuli yang kebetulan sedang memeriksa mesin motornya.
"Yuli ada, Mas?" tanya Naya, sudah biasa menyebut mas kepada suaminya Yuli. Karena dilingkungan Naya tinggal panggilan mas sudah umum sebagai panggilan kepada pria yang lebih dewasa.
"Ada didalam, Nay, masuk saja." Setelah mendengar jawaban suaminya Yuli kemudian Naya langsung masuk ke rumah itu.
"Tumben, libur lagi, Nay?" Yuli langsung bertanya begitu mereka sudah bertemu.
Naya mengangguk lemah. Kemudian mereka berdua sama-sama duduk di ruang tamu. Yuli memberikan sebotol teh dingin kepada Naya yang diambilnya dari kulkas.
"Di minum dulu, Nay," ucap Yuli.
"Ada apa? Anakmu sakit lagi?" tanya Yuli setelah Naya selesai minum. Yuli sampai hafal jika Naya ke rumahnya pasti ada kaitannya dengan oper shift kerja.
"Iya, Yul. Aku sampai nggak tega, kapan gitu Lala nggak sakit-sakitan lagi," sahut Naya dengan sendu.
"Lala pingin bapak tuh," Yuli menyahut sambil mengulum senyumnya.
Naya langsung melirik jengah mendengar respon Yuli yang selalu mengatakan seperti itu. Entahlah, sampai saat ini Naya sangat malas membahas tentang menikah lagi. Bukan karena sudah nyaman dengan hidupnya, tetapi selalu dihantui rasa takut tidak bisa menerima Lala sebagai anaknya juga. Karena jika memang Naya masih diberikan jodoh, ia sangat berharap orang itu bisa menyayangi Lala juga, bukan hanya mencintai dirinya saja.
"Sudah aku ijinkan ke Bu Sugeng, Nay," kata Yuli, rupanya dengan cekatan wanita itu langsung chat ibu Sugeng, pemilik warung bakso tempat Naya dan Yuli bekerja.
"Terimakasih, Yul."
"Sama-sama, santai aja."
"Kebetulan sekali kamu ke sini, rencananya entar sore aku memang ijin nggak masuk. Mas Budi ngajak main ke rumah ibu. Kangen katanya," tutur Yuli.
Rumah yang sekarang di tempati Yuli adalah rumah kontrakan. Rumah Yuli dan suaminya beda kecamatan dari rumah ini. Jaraknya tidak begitu jauh dari tempat ini, cukup setengah jam saja jika ditempuh dengan naik motor.
"Nay, aku ada teman barangkali kamu mau aku kenalin." Tiba-tiba saja suaminya Yuli ikut nimbrung.
"Ah, tidak, Mas. Makasih." Naya langsung menolak begitu saja tanpa harus berpikir.
"Di coba dulu, Nay. Cuma kenalan doang," imbuh Yuli.
Naya sama-sama melirik kepada pasangan suami istri yang masih belum dikaruniai momongan itu.
"Kalian mau comblangin aku?" tanya Naya langsung.
Yuli dan Budi sama-sama mengangguk mantap.
Naya menyeringai tipis. "Nggak usah, sebelumnya terimakasih. Aku-- masih mau fokus dengan Lala," seru Naya pada akhirnya.
"Aku nggak akan maksa. Cuma menurut aku kalau kamu jadi sama dia, InsyaAllah hidup kamu dan Lala terjamin. Aku bisa jamin itu," ucap Budi dengan yakin.
Entahlah pria mana yang ingin mereka kenalkan kepada Naya. Yang pasti Naya tidak penasaran sama sekali, dan sangat malas meski sekedar bertanya siapa nama orang itu.
"Mm... Yuli, mas Budi, aku pamit pulang ya, aku harus buru-buru takut Lala di rumah rewel."
"Iya, Nay, hati-hati," pesan Yuli.
"Tolong dipikir lagi tawaranku," sambung Budi sebelum kemudian Naya keluar dari rumah itu.
Dalam batinnya Naya mulai berpikir, tumben Budi serius sekali bicaranya. Biasanya ia tidak begitu memaksa jika Naya sudah bilang tidak.
Setelah itu akhirnya Naya pulang. Tak disangka dalam perjalanan tiba-tiba ban sepedanya bocor, sehingga Naya terpaksa jalan kaki sambil menuntun sepedanya, sembari berharap semoga ada bengkel terdekat.
"Mbak Naya." Tiba-tiba seorang pemuda yang sedang naik motor berhenti menyapa Naya.
Naya menoleh, rupanya pria muda itu adalah Irwan, pacarnya Fifi. Sedang yang berboncengan dengan Irwan adalah Wahyu, lelaki yang belakangan ini terus mendekatinya setelah sebelumnya Naya dan Wahyu dikenalkan oleh Fifi dan Irwan.
"Bannya bocor, Nay. Sini aku bantu bawa. Bengkel masih jauh di ujung," ucap Wahyu yang kemudian langsung mengambil alih sepeda yang Naya tuntun.
"Apa tidak merepotkan?"
Wahyu menggeleng sambil tersenyum. Pria berkacamata itu berusia dua puluh lima tahun. Wajahnya tergolong tampan. Jika boleh diungkapkan Wahyu sedikit mirip dengan artis penyanyi yang bernama Afgan. Tetapi meski begitu Naya sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengannya, meski Wahyu sudah pernah menyatakan perasaannya itu kepada Naya dua minggu kemarin.
"Bang, biar aku saja yang bawa sepedanya. Abang tunggu di gardu depan tuh sama mbak Naya," usul Irwan.
Setelah itu Irwan menepikan motornya disamping gardu kosong. Wahyu dengan santainya membiarkan Irwan mengambil alih tugasnya sambil terus berjalan mencari bengkel yang buka siang ini.
"Duduk sini, Nay," ucap Wahyu setelah sebelumnya mengusap bersih lantai gardu yang kalau malam ditempati orang-orang poskamling.
Naya duduk, tetapi tatapannya terus melihat Irwan yang sudah jauh dari pandangannya.
"Biarkan saja, dia mau sendiri kok," seloroh Wahyu ikut melihat Irwan yang sepertinya masih belum menemukan bengkel yang buka.
"Seharusnya kalian tidak perlu repot-repot. Kalau begini, jadinya aku mengganggu kegiatanmu," ucap Naya tidak enak sendiri.
"Santai aja, Nay. Aku masih nganggur, belum dapat kerjaan. Jadi kamu nggak ada ganggu kegiatan siapa-siapa," sahut Wahyu.
Sebelum ini Wahyu memang cerita kepada Naya jika ia sedang melamar pekerjaan di beberapa pabrik yang ada disekitaran kota ini. Tetapi mungkin masih belum rejekinya, sehingga belum ada satu panggilan kerja kepadanya.
Sedangkan Irwan baru lulus SMA tahun kemarin. Saat ini pria itu sama-sama memiliki pekerjaan yang tidak tetap seperti Wahyu. Tetapi masih mending Irwan jika dibandingkan dengan Wahyu, karena keluarga Irwan memiliki banyak sawah, dan Irwan kerap membantu jika keluarganya sedang panen padi. Dari itu Irwan bisa pegang duit, karena orang tuanya juga membayar Irwan seperti buruh tani lainnya.
"Mm... Malem minggu keluar yuk, Nay," ajak Wahyu tiba-tiba.
"Maaf, Wahyu, aku tidak bisa," tolak Naya langsung.
"Kenapa? Padahal aku ingin ngajak main Lala juga. Di Aloon-aloon minggu ini ada pameran. Irwan sama Fifi sudah bikin janji loh."
Naya menatap sejenak kepada Wahyu. Bukan untuk menyetujui ajakan Wahyu, tetapi karena kaget mendengar Fifi dan Irwan akan pergi kencan minggu ini.
"Mau ya, Nay?" mohon Wahyu sekali lagi.
Tetapi Naya tetap menggeleng menolak. Terlihat wajah sendu Wahyu, tetapi pria itu hanya bisa pasrah menerima penolakan Naya.
"Kamu masih belum ada hape?" tanya Wahyu lagi.
Naya menggelengkan kepalanya.
"Huh, sepertinya aku harus ikut kerja bapaknya Irwan."
Naya mengerutkan keningnya tipis. Apa kaitannya coba?
"Kalau ada uang, aku ingin belikan kamu hape. Biar kalau aku kangen kamu bisa langsung nelpon." Wahyu berkata sambil tertawa ringan.
Tetapi Naya hanya bereaksi kikuk. Rasanya masih risih mendengar rayuan Wahyu. Ralat! Rayuan dari lelaki manapun selalu membuat Naya minder sendiri. Gelar janda muda yang disandangnya itu yang membuatnya harus selalu waspada terhadap segala jenis bujuk rayuan lelaki. Ia takut, lelaki yang mendekatinya hanya ingin memanfaatkannya. Karena hidup sebagai janda muda teramat berat. Selalu dipandang nyinyir oleh ibu-ibu yang mempunyai suami mata keranjang.
Dulu saat Naya masih gadis, ia adalah tipekal wanita yang ceria. Banyak teman dan terbuka dengan siapapun. Tetapi setelah status janda itu ia miliki, Naya langsung berubah menjadi wanita tertutup dan sengaja membatasi diri dengan pergaulan sebelumnya. Naya selalu ingat pesan bapak ibunya untuk selalu menjaga martabat dirinya sebagai janda. Jangan sampai karena sudah menjadi janda dirinya diobral murah kepada setiap lelaki yang mendekatinya. Karena menjadi janda, mau benar mau salah, tetap saja dipandang sebelah mata oleh masyarakat umumnya.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
💦Mak Phi-khun
di
gak di nopel di dunia nyata, kenapa selalu janda yang jadi..... ahhh begitu lah
2023-06-24
2
mom_abyshaq
benar kata bapak mu nya, kamu harus menjadi janda yang elegan jangan menjadi janda yang murahan
2023-06-24
1
tinta hitam
cieee, belum juga keterima udah main kangen"an ini
2023-06-22
0