Tidak Mau Punya Anak

Memuat adegan eksplisit, bijaklah dalam membaca.

Anyelir baru saja mendorong pintu ruang kerjanya, tetapi sudah saja dikejutkan dengan sebuah lengan kekar yang melingkari pinggangnya—langsung menguat—menarik cepat ke samping kanan. Seakan tak memberinya waktu sebatas menetralkan degup jantungnya, sang pelaku lanjut mencium Anyelir. Begitu menuntut.

"Gila kamu? Kalau dilihat orang lain bagaimana?" desis Anyelir memaki Axton sesudah berhasil melepaskan diri. Menekan kuat dada Axton dan mendorongnya sejauh mungkin.

Anyelir kelewat salah menanyakan pertanyaan seperti itu. Terlebih pada suami modelan Axton yang selalu mempunyai pembenaran tersendiri.

Menutup pintunya menggunakan ujung sepatu pantofel, Axton menjawab seraya berlalu menjauhi Anyelir yang sudah sibuk melihat polesan lipstik di bibirnya. Sepasang mata tajam itu menatap sengit Axton, ketika mendapati lipstiknya belepotan ke mana-mana.

"Loh-loh, malah bagus dong, Darling. Mereka bakal menganggap kita tambah romantis. Kapan lagi coba dapat menyangsikan keromantisan kita secara live. Ala-ala film dan novel romance gitu."

"Sejak kapan kamu suka nonton maupun baca novel? Romance pula."

Selagi kembali memoles bibirnya, Anyelir masih sempat mencuri pandang pada Axton. Tak lama memilih fokus menghadap kamera ponselnya.

"Lama. Kamunya aja yang kurang peka."

Axton cemberut. Posisinya sudah duduk di kursi kebesaran. Menopang dagu, menatap penuh minta Anyelir yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.

Rasanya ada yang selalu kurang sebelum mengusili Anyelir. Tersenyum aneh, Axton pun bangkit dari kursi. Berlalu menghampiri sang istri. Berjalan mengendap-endap dengan tubuh agak direndahkan, ingin mengejutkan Anyelir sekali lagi yang pastinya akan jauh lebih murka dari yang sebelumnya.

Anyelir yang sadar tengah didekati Axton, pura-pura saja masih sibuk memoles lipstik merah menyala pada bibirnya. Baru ketika Axton sudah hampir mendekat, Anyelir duluan yang usil dengan menautkan jari telunjuknya di kerah jas Axton. Kemudian, menariknya untuk diajak ke meja kerja lagi.

"Darling!" protes Axton sudah tidak lebih dari kambing yang diseret. Meski begitu, tidak ada niatan membebaskan diri. Menurut-nurut saja hingga Anyelir menyuruh Axton duduk kembali di kursi.

Anyelir baru melepaskan dan berniat untuk duduk di kursinya sendiri, tak jauh dari tempat Axton. Bersebrangan.

Sebelum Anyelir sempat melangkah, lagi-lagi Axton menahan pinggang rampingnya. Mengunci dengan kedua lengan sekaligus. Memeluk erat, menggoyang-goyang ringan hingga Anyelir berontak.

"Lepaskan. Pekerjaanku masih banyak."

Axton menggeleng-geleng, masih ingin bermanja-manja dengan Anyelir. Sudah lama juga mereka tidak berbagi kesenangan. Axton merindukannya.

Ralat, maksud Axton sudah lama sekali mereka tidak melakukan kontak fisik sampai ranah intim. Genap seminggu. Kerinduan Axton sekadar ingin memenuhi kebutuhan biologisnya. Tidak lebih.

"Ke kamar yuk," ajak Axton mendongak. Mengerlingkan mata penuh harap. "Ayolah, mumpung masih pagi. Tubuhku lemes banget, udah waktunya mengisi energi."

"Nggak mungkin kamu sampai nggak tidur sama salah satu aktris. Atau pegawai di WC malam itu."

"Kamu masih lumayan muda untuk punya penyakit pikun."

Axton mendengkus, menegakkan tubuhnya. Lalu, tanpa menunda-nunda lagi—tak perlu membujuk pakai mulut manis yang kata Anyelir tak lebih dari rayuan buaya darat—Axton menarik cepat tubuh Anyelir hingga terhempas ke pangkuannya. Menyeringai lebar pada Anyelir yang sudah mau langsung bangkit. Sayangnya tak semudah itu Axton lepaskan. Lilitannya makin dikuatkan. Dagunya ditaruh di pundak Anyelir, memejamkan mata sembari bergumam berat.

"Malam itu bukannya aku langsung pulang bareng kamu. Selama acara berlangsung, dari awal sampai akhir, aku juga selalu bareng kamu. Kapan coba ada waktu buat aku meniduri para aktris? Dan untuk pegawai di WC, aku cuman mengobrol—"

"Silaturahmi bibir," potong Anyelir membenarkan. Tak lagi memberontak, malahan sempat bergerak-gerak untuk mencari kenyamanan duduknya. "Ini jadi nggak? Kalau nggak jadi—"

"Jadilah!"

Axton menyahut terlampaui cepat. Kentara sekali kian tak bisa menahan diri. Nyengir lebar pada Anyelir yang sukses membulatkan mata, sesaat merasakan desakan dari bawah.

"Di sini aja atau di kamar?" tawar Axton memulai pemanasan dengan mengendus leher jenjang Anyelir. Yang kontan langsung diberi lampu hijau oleh istrinya. Anyelir mendongak, memberi akses lebih untuk Axton melanjutkan jelajahnya.

"Kamar aja."

"Tapi, kita belum pernah lho main di ruangan kantor ini."

Axton terkekeh kala Anyelir langsung meninju pelan lengannya.

"Sekali-kali bolehlah." Axton mengedipkan sebelah matanya. "Mau, ya? Di sofa sana."

Jari telunjuk Axton mengarah sofa yang berada tepat membelakangi dinding kaca. Menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang tak kalah tinggi dan megah.

"View-nya juga lebih bagus ketimbang dari kamar. Kayaknya juga bakal lebih tepat sasaran."

Anyelir bergumam-gumam. Tak sampai ada satu menit, Anyelir mengangguk kecil. Terkekeh dan refleks mengalunkan lengannya di leher Axton, ketika tubuh Anyelir mulai terangkat. Axton menggendongnya, melangkah buru-buru menuju sofa. Langsung membaringkan Anyelir di sana, menyusulnya naik, mengajak Anyelir berciuman seraya berusaha melepas jasnya. Agak kesal saat susah sekali dilepas.

"Lepas semuanya dulu."

Agak mengangkat tubuh setelah ciumannya terlepas, Anyelir membantu menarik turun lengan jas Axton yang menyangkut. Ukuran bagian lengan jasnya terlalu kecil untuk lengan Axton yang tak ubahnya sebesar kingkong. Membantunya hingga terbebas sepenuhnya.

"Kemejanya juga dong," pinta Axton manja. Menarik kedua tangan Anyelir menuju kancing kemejanya.

Anyelir menghela napas. Meski begitu, menurut melakukannya. Baru membebaskan dua kancing teratas kemeja Axton, pundak Anyelir malah didorong untuk kembali rebah.

Axton sudah tak peduli, sudah keburu mupeng di kepala. Lagi mempertemukan bibir, merenggut lebih rakus.

Ditengah kesadaran yang semakin menipis, Anyelir mencoba mengingatkan satu hal krusial yang tidak boleh dilupakan.

"Protection. Jangan lupa."

"Nanggung. Aku udah enggak kuat," geram Axton kian memperpendek jarak. Sayangnya, Anyelir tetap tidak mau. Mendorong keras dada Axton untuk jaga jarak.

"Pakai atau batal?"

Axton berdecak sebal. Namun, apa yang bisa dilakukannya saat ini selain mematuhi ultimatum yang terdengar begitu otoriter itu.

*****

Masih berada di sofa dengan pakaian kembali membalut tubuh meski tidak terlalu rapi lagi, Axton mengajak Anyelir untuk bersantai-santai sebentar. Lebih benar, setengah memaksanya. Axton masih merindukan istrinya. Yang jika sudah memegang berkas pekerjaan, dirinya bisa dijadikan nomor sekian. Bahkan dilupakan.

"An, kamu mau hamil enggak?" Tiba-tiba saja Axton tercetus perihal tersebut. Sepertinya lucu membuat gabungan dirinya dan Anyelir.

Anyelir menggeleng lemah. Menepis ringan tangan Axton yang cari kesempatan dengan mencoba menyusup masuk ke balik bajunya.

"Kenapa? Lucu lho, An kalau misal nanti kita punya anak. Gabungan kamu dan aku yang pasti enggak bakalan gagal. Atau buat versi mini dari kamu dan aku. Dua ... cukup bukan. Cowok-cewek atau sebaliknya."

"Aku enggak mau punya anak. Terlebih dari kamu."

Jawaban yang cukup lugas itu, serentak menghentikan keusilan Axton yang masih berlanjut. mengangkat sedikit kepala, Axton coba melongok ke depan. Memeriksa ekspresi Anyelir saat ini.

"Kenapa?" Axton bertanya dengan nada rendah, pandangannya masih tak lepas dari garis wajah Anyelir yang tampak kelelahan. "Kita udah menikah lebih dari tiga tahun. Selama itu pula, kita juga baik-baik aja bykan. Di luar skandalku yang udah kamu 'terima baik' dan 'enggak pernah mempermasalahkan', apa aku punya kesalahan lain yang membuat kamu sampai bisa ngomong barusan? Enggak mau punya anak ... dari aku."

Axton terkekeh rendah, tergelitik sendiri dengan pengulangan kalimat Anyelir. Tak menyadari jika bukannya ikut tertawa, Anyelir justru balik memandangi Axton serius.

"Itu masalahnya. Dengan segudang prestasimu yang entah udah berapa banyak perempuan yang kamu tiduri, aku enggak mau membawa nyawa lain ke dunia ini hanya untuk disakiti. Mau hidup seperti apa dia nanti jika mengetahui ayahnya suka bergonta-ganti pasangan. Terlebih kalau dia terlahir perempuan, bisa aja kelakuan kamu ini nurunin sial ke kehidupannya."

"Aku enggak seburuk itu, ya." Axton berguling dan menindih Anyelir. Menatap tajam istrinya yang tak gentar balas menyorot serupa.

Harga diri Axton cukup terluka. Dia tidak sebejat yang Anyelir sematkan padanya selama ini.

"Aku rasa alasan kamu bukan hanya karena masalah ini. Karena sebelumnya, kamu setuju-setuju aja menikah denganku. Dalam artian, kamu juga siap menanggung segala resikonya. Salah satunya, siap nggak siap, aku mau punya keturunan dari kamu. Cuma kamu, bukan dari perempuan lain," tekan Axton mencoba mencuri kecupan di bibir ranum itu. Namun, Anyelir menolaknya. Tak segan melawan, memukul, dan berteriak kesetanan; manakala Axton yang selama ini telah coba menahan sebisanya, sudah tidak kuasa lagi membendungnya.

Terpopuler

Comments

Sidieq Kamarga

Sidieq Kamarga

Haaah berat juga tantangan Anyelir untuk Axton, Kalau serius maka berjuanblah Axhon !!!💪💪💪💪

2023-07-14

2

N'chie Zain Ahura

N'chie Zain Ahura

dri dulu pengen bgt baca cerita yg kya bgini alurr nya,bru nemu di kamu thorrr...
makasih ya...🤗🤗🤗🤗

2023-05-26

3

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!