“Lin, Lo ngapain disini?.” tanya Kak Diego, saat aku menghampirinya seusai bermain basket.
“Pengen liat Kakak aja,” ucapku santai.
“Diego, itu siapa?.” tanya seorang wanita menghampiri kami.
“Cewek gue,” jelas Kak Diego. Dari tingkahnya aku tahu, dia menyukai Kak Diego. Tanpa peduli padaku yang sedang berdiri di situ, perempuan yang kuketahui bernama, “marsanda” dari papan nama yang ia kenakan. Langsung menyeka keringat dipelipis Kak Diego.
Kulihat kak Diego tersenyum kearah perempuan itu, entah kenapa, aku tidak begitu menyukai pemandangan yang ada didepanku sekarang. Apa Kak Diego menyukai hal seperti itu? Apa aku cemburu? heh!? Padahal aku tidak menyukai Kak Diego, tapi apa yang kurasakan sekarang? Ya, aku tidak menyukainya, aku hanya tidak suka sikap anak perempuan tadi. Aku harus membuang segala pikiran aneh.
Setelah jauh dari lapangan tadi, aku pergi ke taman belakang sekolah dan duduk sendirian disana. Aku menyukai tempat itu, sepi. Jarang didatangi oleh siswa yang lain, apalagi sekedar menghabiskan waktu istirahat disana. Tiba-tiba, tanpa kusadari. Sejak kapan dia duduk disitu. Iqbal sudah ada saja didepan mataku, dan aku bahkan tidak akan sempat untuk menghindar.
“Suka sama tempat ini juga, Lin?.” tanyanya yang sekarang sedang menatapku. Tak kujawab tanyanya, aku hanya menatapnya kosong.
“Lo, kenapa? Enggak kayak biasanya!.” ucap Iqbal.
“Lo mau gue jelasin, kenapa gue sama Kak Diego bisa jadian?.” tanyaku, yang tiba-tiba saja mengatakan itu.
“Kenapa?.” ucap Iqbal yang kini beralih menatapku, yang seolah memunculkan kembali kekecewaan diwajahnya.
“Itu karena Abang gue!.”
“Jadi maksudnya, tanpa suka sama Kak Diego, Lo, terima aja, karena Abang Rehan!."
“Iya,” sahutku menjawab ungkapnya., tampak senyum puas yang sekarang terukir diwajah Iqbal.
“Maafin gue yah, gue egois!.” ucap Iqbal. Aku hanya membalasnya tersenyum. Iqbal menatapku, aku pun membalas tatapan itu. Iqbal mendekatkan wajahnya padaku, dan mencium pipiku sekilas. Kembali ia menatapku. Aku juga membalas menatapnya, seketika aku sadar. Ini salah, bagaimanapun dia sudah menjadi tunangan Rara.
Aku menoleh, menghentikan semua perasaan itu, dan tersadar, seseorang sudah berdiri didepan kami, entah sejak kapan, tetapi yang jelas dia sudah melihat dan mendengar semuanya. Tampak Iqbal hanya santai saja.
“Kak, Diego!.” kataku gugup, bagaimana tidak, aku sekarang adalah pacarnya, dan ketahuan sedang bersama lelaki lain. Kak Diego sekilas menatapku, sebelum benar-benar pergi. Sementara Iqbal hanya menatapku. Lupakan Iqbal, aku sekarang mengejar Kak Diego.
Kak Diego menghentikan langkahnya, dan beralih menatapku. Kulihat matanya memerah. Beberapa kali ia menahan sesuatu jatuh dari matanya. Apa dia menangis?.
“Kenapa, Lin?.” katanya memecah kesunyian.
“Kak, aku gak bermaksud kayak gitu,” jelasku meluruskan.
“Apa aku salah? Apa aku kurang sabar? Atau aku hancurin hubungan kalian!.” Aku hanya menggeleng, menolak semua kata-katanya.
“Kak Diego salah paham, aku yang salah. Iya, lin dulu gak sayang, lin benci semuanya, tapi sekarang semuanya bedaa, aku sayang Kak Diego. Setulus Kak Diego ke Lin,” aku menjelaskan semuanya pada Diego dengan menunduk, aku tahu, aku belum menyayanginya sepenuh hatiku seharusnya, tapi aku akan menyayanginya sekarang.
Kembali aku melihat kearah Kak Diego, karena aku merasa dia tak menjawabku sama sekali. Dia hanya diam, tapi, sesaat kemudian, suara hentakan sepeda motor menabrak sesuatu dengan keras. Iya, sepeda motor itu menabrak Kak Diego, dan itu terjadi begitu saja. Langsung sadar, ternyata kami berdiri di tengah jalan yang cukup sepi, dan kendaraan lain hampir tidak ada yang masuk lewat jalan ini.
Tapi entah kenapa, ini seperti hari yang naas bagi Kak Diego. Ia terlempar beberapa meter dari jalan. Dia sudah tergeletak tak sadarkan diri dengan bersimpuh darah disekujur tubuhnya. Aku histeris, panik, aku berteriak meminta tolong. Namun, masih tak ada yang datang, jalanan ini sangat sepi, dan keberadaannya juga terletak jauh dari sekolah. Aku berusaha tenang, aku berusaha menjernihkan pikiranku, dan langsung menelpon ambulan.
Akhirnya ambulan yang kutunggu sampai ditempat kejadian. Saat akan masuk ke dalam, dari kejauhan aku menangkap sosok seseorang, yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Dia terlihat seperti seorang pria, dan tampak terburu-buru langsung menaiki motornya dan pergi.
Ada yang mengganjal menurutku, soal lelaki itu, tapi tak begitu kuhiraukan, bagaimana pun kondisi Kak Diego adalah yang paling penting saat ini. Sesaat kemudian aku sudah berada dirumah sakit, Kak Diego segera di bawa masuk dan segera ditangani oleh dokter untuk menjalani perawatan.
Setelah aku menelponnya, Bang Reyhan datang dan segera menghampiriku, sepertinya ia sangat cemas akan keadaan sahabatnya. Bang Rehan datang bersama teman-temannya yang lain.
“Dek, apa yang terjadi? kenapa bisa Diego masuk rumah sakit?." tanya Bang Rehan, aku hanya menangis, sementara yang lain menatapku iba.
“Lin, kenapa?.” tanya Bang Rehan lagi.
“Gue yang salah, semuanya salah gue,” jawabku masih menangis dengan suara terisak. Bang Rehan langsung memelukku menenangkan.
“Udah, semua yang terjadi, ini bukan salah Lo, Dek!.” saat ingin menjawab pertanyaan mereka, terdengar suara pintu terbuka, dan dokter yang merawat Kak Diego keluar dari ruangan. Semua beralih menatap dokter itu dan menghampirinya.
“Bagaimana keadaan teman saya, Dok?!.” tanya Kak Andri yang merupakan sahabat Bang Rehan dan Kak Diego, yang juga hadir di sini.
“Allhamdulillah, dia sudah melewati masa kritisnya. Syukurlah, tidak ada luka yang serius. Dengan nona yang segera membawanya kemari,” semua bernafas lega mendengar penjelasan dari dokter.
“Silahkan jika ingin masuk, namun taati aturannya!.” kata Dokter tersebut.
“Terimakasih, Dok!.”
“Iya, saya permisi!.”
“Kamu aja, Lin, yang masuk. Kamu ceweknya!.” ucap yang lain. Aku menggeleng, aku tidak ingin menemui Kak Diego sekarang. Karena aku penyebab dia masuk rumah sakit.
Meskipun sebenarnya aku sangat ingin menemuinya. Karena itu, aku menjauh dari situ. Aku berjalan keluar dari sana dan pergi menuju taman yang ada di situ.
Aku merasa bersalah untuk semuanya, aku menyesal. Kenapa juga Iqbal tadi menciumku? Padahal kami sudah tidak memiliki hubungan apapun.
Tunggu dulu, lelaki yang di taman tadi itu siapa? Kenapa dia tampak terburu-buru. Ini mencurigakan! Jika dia di situ, kenapa saat aku meminta tolong, dia tidak datang? Padahal jarak kami tidak terlalu jauh. Dan kenapa saat bantuan datang, dia tampak terburu-buru? Ayolah lin, pikirkan baik-baik. Dia siapa? Apa tadi hanya kebetulan atau ini sudah di rencanakan?! Tapi oleh siapa?
Lamunanku terhenti, saat kehadiran seseorang di taman. Dia menghampiriku dan itu mengejutkanku. Bagaimana tidak, seseorang yang tadi di katakan baru melewati masa kritisnya dan belum menyadarkan diri, sekarang sudah berdiri di hadapanku.
Ini seperti mustahil. Wajahnya tampak pucat, aku menunduk, tak berani menatapnya, apalagi setelah yang kuperbuat. Dia melangkah mendekat ke arahku.
“Heii, liat aku,” ucapnya pelan, perlahan aku mengangkat kepalaku, menatap wajahnya. Aku tahu, dia merasa kesakitan, dia memelukku perlahan.
“Maaf, sudah membuatmu khawatir, juga ketakutan, tapi sekarang, aku disini, dan aku baik-baik saja,” ucapnya melepas pelukannya dan menghapus air mataku.
Aku semakin menangis dibuatnya, sikapnya sungguh membuatku merasa beruntung. Bagaimana mungkin, aku sempat memikirkan untuk melepaskannya. Melepaskan seseorang dengan hati sebaik dan selembut ini.
“Dek, belajar sana, besok Lo ulangan kenaikan kelas!."
“iya Bang, Abang juga!.” ucapku malas.
“Udah, gue.”
“Kapan, gak liat tuh!."
“Mesti ya, gue lapor ke Lo, emang Lo polisi apa!.” ucap Bang Rehan menjengkelkan. Aku memutar mataku bosan, dan berlalu pergi ke kamar.
Aku meraih hp-ku yang kuletakan diatas meja, dan mengetik sebuah pesan dan mengirimnya pada:
v Kak Diego :
“Kak, yang semangat yah belajarnya!." Aku menunggu beberapa saat, tapi Kak Diego belum juga membalas pesanku. Aku meletakan kembali hp-ku di atas meja. Kembali kuingat, besok adalah acara pertunangan Iqbal dan Rara. Aku menemui Bang Rehan di kamarnya. Aku mengetuk pintu kamarnya perlahan.
“siapa?.” tanyanya dari dalam, dengan suara agak parau, khas orang tidur.
“Mama, Bang,” sahutku mengerjainya.
“Hah!” kata Bang Rehan seakan terkejut dan lantas membuka pintu. Aku hanya lantas nyengir kuda saat ia menatapku.
“Udah tahu, tinggal berdua. Malah tanya siapa,” kataku tak merasa bersalah, sementara yang di ajak bicara santai saja.
“Is, ributnya kamu, Dek. Padahal didalam, Papa lagi tidur.” Ucapnya serius. Sementara aku, yang merasa dikerjai, aku memilih melihat ke dalam dari luar pintu.
“Udah tahu tinggal berdua, malah percaya,” ucapnya menjintak kepalaku.
“Ih, Abangggg!." teriakku memekik tak terima, sementara Bang Rehan sudah lebih dulu menutup pintu, aku berlalu dengan kesalnya. Tiba-tiba Bang Rehan kembali memanggilku kembali seraya wajahnya muncul dari samping pintu yang kembali terbuka.
“Dek, cuciin dong sekalian,” katanya melempar pakaiannya dan langsung menutup kembali pintu kamarnya, tanpa mendengar aku mau atau tidak. Sementara aku sedang mengomel sendiri, akan ulahnya yang menjengkelkan sekali. Padahal adek imutnya ini hanya ingin membangunkannya, yang susah bangun jika sudah tidur. Pantas saja, dia tidak punya pacar.
Bersambung,...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments