Kulihat Rara tengah asik berbincang bersama teman-temannya, aku menghampirinya. Namun, Rara seolah tak peduli dengan kehadiranku. Aku membiarkan hal itu, karena kupikir, Rara mungkin masih kesal aku tidak memberitahunya, tapi, hal itu terus berlanjut sampai jam istirahat berlangsung, tak kulihat Rara menungguku di depan kelas seperti biasanya, padahal teman sekelasnya hampir sudah keluar semuanya. "Mungkin Rara masih di kelas!." gumamku pada diri sendiri.
Aku memutuskan untuk menemui Rara di kelas, Namun, ternyata Rara tak ada juga disana. Dimana Rara? Tidak biasanya dia seperti ini! Saat beranjak pergi, kulihat Iqbal ada disana. Aku memutuskan untuk bertanya saja pada Iqbal dimana Rara. Mungkin saja dia tahu, sebab selain satu kelas, mereka juga akrab, karena mereka sepupuan.
"Bal, Lo liat Rara gak?." tanyaku pada Iqbal yang sedang sibuk memainkan henfon-nya. Hening, Iqbal tak menjawab tanyaku. Ia masih sibuk memainkan hp-nya. Apa dia tak mendengarku? tanyaku pada diri sendiri. Tak menyerah, aku kembali berusaha bertanya pada Iqbal, dengan nada yang sedikit lebih besar dari sebelumnya.
"Bal, Lo-- ," belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Iqbal sudah berdiri dari duduknya dan berlalu pergi.
Setelah lama mencari Rara ke berbagai ruangan, bahkan tempat yang kuyakini didatangi oleh Rara. Aku akhirnya, melihat Rara sedang duduk dikantin. Ah, kenapa tadi aku tak kepikiran mencari Rara di sini? Aku melewatkan kantin saat mencari Rara, aku berjalan mendekati Rara yang sedang duduk, kulihat Iqbal juga menghampirinya. Aku mendudukkan diri di kursi samping Rara, masih sama, Rara seolah tak melihatku. Ada apa dengan Rara? Apa dia masih marah?
"Bal, pulang yuk!." ucap Rara membuka keheningan.
"Ya udah," kata Iqbal cuek. Kulihat Rara memegang lengan Iqbal, mesra. Ah, mungkin itu wajar mereka sepupuan. Kenapa ini, kenapa hatiku merasa sakit? Padahal aku sudah memiliki Kak Diego, tapi sikap dingin mereka, yang tak menunjukan sikap pertemanan buatku, membuatku merasa jauh lebih sakit.
"Lo, udah dengar gak, kalau Iqbal sama Rara mau tunangan?." kata seseorang yang entah siapa.
"Ah, masa sih? Bukannya mereka sepupuan?!." sahut seorang yang lain lagi.
"Emang kenapa kalo sepupuan! Zaman sekarang yang penting cinta." Ya, beberapa hari terakhir, desas-desus seperti itu mulai terdengar disekolah. Entah benar atau tidaknya, aku tidak tahu. Karena hubunganku dengan Rara, sudah tidak baik.
Seseorang menghampiriku yang sedang duduk diruangan kelas. Ya, itu Rara. Aku senang melihatnya. Kupikir persahabatan kami akan berakhir, tapi tidak, dengan hadirnya Rara disini, maka semua persoalan kami akan segera selesai.
"Hai, Ra!." ucapku tersenyum melihat ke arahnya.
"Lo, udah dengarkan?!." ucap Rara tanpa basa-basi, apalagi sekedar membalas sapaanku.
"Dengar apa?." Tanyaku memutar mataku, seolah tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Rara.
"Gue sama Iqbal, sebentar lagi tunangan!." jelasnya. Aku terkejut mendengar itu langsung dari Rara, tapi aku berusaha menyembunyikannya.
"Oh ya, selamat ya!." ucapku tersenyum. Rara berlalu dengan senyum sinisnya. Ada apa ini? Bagaimana bisa mereka? padahal dia tahu aku menyukai Iqbal. Jadi, apa ini yang membuat Rara menjauhiku, kupikir karena aku dan Kak Diego yang tiba-tiba jadian tanpa berbicara dengannya.
Aku mencoba biasa saja dengan apa yang terjadi, aku meyakinkan diriku, bahwa Iqbal mungkin memang bukan untukku.
\*\*\*
Setibanya dirumah, aku kembali mencoba untuk menulis semua naskahku yang hampir tak pernah diperhatikan lagi olehku.
"Lanjut nulis, Dek?." tanya Bang Rehan.
"Um," jawabku singkat. Bang Rehan mendudukan dirinya disofa, di samping tempat yang kududuki untuk menulis. Karena pikiranku sedang kemana-mana, hal itu mempengaruhi mood menulisku. Ralat, sebenarnya aku memang sedang tidak niat untuk menulis, hanya saja, tak ada yang bisa kulakukan. Jadi, aku memutuskan untuk menulis saja. Karena kejadian kemarin masih terus berputar di pikiranku, itu membuat tulisanku kacau, ambu radul semuanya, akhirnya kudelete semua tulisanku.
"Kenapa sih, Dek?." tanya Bang Rehan yang sedang duduk di sofa di samping, alih-alih sedang santai, ternyata dia memperhatikan yang kulakukan. Aku menoleh ke arah Bang Rehan yang sedang menatapku.
"Kepoooo!." jawabku malas dan langsung kembali fokus kearah laptop.
"Dasar, Adek gak ada akhlak!." katanya dengan nada sinis.
"Bang, galau gue," kataku manja beralih ke tempat yang Bang Rehan duduki.
"Giliran lagi mau aja, baik," ucapnya.
"Apa Bang?!." tanyaku dengan suara sedikit memekik, memastikan apa yang baru saja aku dengar.
"Rara marah yah sama Lo?! Lo, selingkuhin sepupunya," ucapnya yang kini sambil tertawa.
"Gak nyangka, Abang ternyata tahu serinci itu tentang kehidupan gue," kataku sembari memeluk Bang Rehan kesenangan.
"Hadeuh, Lo pikir apaan sih! Secara gue liatnya di buku harian Lo." Masih memeluk Bang Rehan, mendengar itu aku langsung melepas pelukanku.
"Abaaaaang! Kebiasaan deh!." pekikku memelas.
"Apa, emang Lo pikir apaan!." katanya menjitak kepalaku.
"Makanya lain kali, Diary Lo, simpan hati-hati!." ejeknya menertawakanku.
Saat bercengkrama bersama Bang Rehan. Hp-ku berbunyi, pesan masuk dari Iqbal. Dia mengajakku bertemu di taman. Ya, Aku belum sempat menghapus nomornya. Akupun langsung bergegas, agar segera sampai di sana.
"Bang, gue keluar dulu!." kataku pada Bang Rehan yang tengah sibuk memainkan gamenya.
"Ok, 5 menit!." Inginku protes, tapi sudahlah.
~~~
"Hai, Bal!." sapaku sesampainya disana.
"Gue, mau kasih ini!." katanya menyerahkan sebuah amplop.
"Ini apa?." tanyaku gugup menatap wajah itu. Perlahan kubuka surat itu, jelas sekali jika itu adalah undangan pesta pertunangan. Yang membuatku kaget adalah nama gadis itu.
\*\*\*
Aku tahu, kabar pertunanganku dengan Rara sangat menimbulkan berbagai tanda tanya bagi orang-orang yang mengenal kami. Terlebih aku dan Rara adalah saudara sepupuan. Awalnya aku pun bingung, ketika Mama dan Papa Rara ke rumah, untuk membicarakan pertunangan yang akan di lakukan olehku dan juga Rara. Sekaligus meminta pendapat Ayah dan Bunda.
Ayah sempat menolak, begitu pun Bunda. Alasannya karena kami sepupuan, tapi, orang tua Rara tak mau kalah, mereka bahkan menjanjikan infestasi besar ke perusahaan Ayah. Tentu, siapapun pasti akan tertarik dengan iming-iming besar, begitu juga dengan Ayah.
Rara, yang ada disitu-pun, sekilas kulihat dia tersenyum, Apa dia menyukaiku, heh? Awalnya aku sempat kecewa pada Ayah dan Bunda, tapi melihat situasinya, aku harus memanfaatkan Rara. Kesempatan brilian ini tak mungkin kulewatkan.
Meski terdengar sedikit kejam, tapi ini harus kulakukan. Aku ingin melihat bagaimana reaksi Evlyn, ah, nona “Evlyn Cassandra Dewi”. Selain itu, ini sebagai hukuman bagi Rara. Memang benar, Evlyn sudah memiliki kekasih, dan sempat membuatku kecewa, tapi tak membuatku putus harapan, tapi Rara, justru melakukan ini pada sahabatnya. Aku tahu, ide murahan ini berasal dari dia.
“Jadi, gimana?, kapan pertunangan ini, akan kita lakukan?.” tanya Papanya seketika. Kulirik sejenak, tampak Ayah dan Bunda sedang memikirkan, kapan hari baik itu dilakukan. Hari baik, ckk.
“Secepatnya,” kataku tersenyum memecah keheningan.
Tampak senyum puas kemenangan diwajah Rara, dan itu cukup memuaskan bagiku. Rara menatapku tersenyum, aku langsung membalas senyumannya, meskipun sedikit kupaksakan. Agar dia tidak tersinggung, sebelum acara pertunangan itu dimulai.
“Soal undangan, biar iqbal aja yang buat,” kataku pada mereka, dan mereka setuju dan langsung mengiyakan, ini seperti hari baik seolah sedang memihakku.
\*\*\*
Satu jam sebelum bertemu dengan Evlyn.
Aku tengah berada di kamar, ketika terpikir olehku, kabar baik ini harus kusampaikan pada Evlyn. Aku meraih hp-ku yang terletak di kasur, dan mencari nomor dengan nama , “Gadisku” Aku tersenyum ketika melihat foto gadis itu. Tak berbohong, aku sangat menyayanginya, aku hanya sedikit ingin bermain. Aku mengetik sebuah pesan dan segera mengirimnya pada:
v Gadisku :
“Boleh kita bertemu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan, aku tunggu di taman.”
\*\*\*
Dari kejauhan, tampak seorang gadis berjalan mendekat. Ia menghampiriku yang sedang duduk di kursi taman.
“Hai, Bal,” sapanya. Aku tak membalas sapaannya, kulihat ia tampak gugup, dan ini yang kuharapkan. Aku menyerahkan sebuah kertas undangan, ya, sebuah undangan yang sengaja kubuat hanya untuk Evlyn.
“Ini apa?.” tanyanya kemudian. Ah, gadis ini apa begitu bodoh, tentu saja aku memberikannya untuk dia baca, dan dia malah bertanya balik padaku.
“Lihat saja,” jawabku acuh dan memasang wajah datar tanpa ekspresi. Perlahan Evlyn mulai membuka surat itu. Tampak kebingungan di wajahnya, dia mungkin sangat tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ini moment yang kutunggu, membuatnya bingung, seperti dia yang membuatku bingung saat itu.
Perlahan Evlyn mulai membaca surat itu, aku tahu dia terkejut melihat nama gadis dalam undangan itu. Itu “Rara Auderia Putri.” Kini Evlyn kembali menatapku.
“Iya, itu Rara dan aku!.” ucapku dengan senyum sinis khasku. Dari sudut matanya, aku tahu, Evlyn ingin aku menjelaskan semuanya, tapi, aku langsung berlalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Dalam perjalanan pulang, aku tersenyum penuh kemenangan. Saat melihat ekspresi kekecewaan yang berhasil kucetak, diwajah gadis manis itu. Aku cukup paham, bahwa perasaan kami masih sama, cukup kuat dan bahkan belum mati. Bahkan belum sempat kami mulai.
Aku janji pada diriku sendiri, aku akan mendapatkan apa yang kumau, semuanya, tak terkecuali gadisku. Soal undangan itu, itu sengaja kubuat hanya untuk Evlyn.
Beberapa hari yang lalu, saat aku berjalan menyusuri koridor kelas. Dan berniat menemui Evlin di kelasnya. Aku berhenti ketika mendengar seseorang tengah berbicara dengannya. Sesuatu yang tak kumengerti, itu Rara. Dan dia membicarakan tentang masalah pertunangan kami. Ah, hubungan antara wanita memang sulit untuk di mengerti. Terkadang, mereka menunjukan sikap persahabatan, dan di lain waktu mereka balik menyerang, dan dengan jelas mengakui bahwa mereka musuh.
“Bal, kenapa murung gitu?.” tanya Bunda menghampiriku.
“Gapapa, Bunda. iqbal cuma capek aja!” tuturku.
“Apa keputusan Ayah dan Bunda, tepat buat Iqbal? Apa ini tidak tergesa-gesa?” tanya Bunda, khawatir.
“Tidak, Bunda!” ucapku membuatnya agar tenang.
“Beri tahu, Bunda ya, Bal. Jika Iqbal suatu waktu tidak suka dengan perjodohan ini, biar Ayah dan Bunda bisa batalkan.”
“Iya, Bunda,” ucapku membalasnya tersenyum.
\*\*\*
“Kak, kita pulang yuk!” ajakku pada Kak Diego, saat berada di taman.
“Iya, Dek, tapi mampir dulu di rumah makan ya, kita makan dulu!” katanya sambil melirik jam di tangannya.
“Aku takut Bang Rehan marah, kalau aku lama,” ucapku memberi alasan.
“Udah aku kasih tahu Rehan kok, dia bilang gapapa,” ucapnya lagi tanpa merasa bersalah. Aku menarik nafasku kesal, Kak Diego selalu berbuat semuanya, tanpa tanya apa aku setuju atau tidak.
“Ini,” katanya memberiku helm. Aku menatapnya kesal, dia hanya tersenyum melihatku. Tanpa aba-aba dariku, Kak Diego langsung memakaikannya dikepalaku.
“Gak boleh kesal gitu, kalau gak mau. Yaudah, kita langsung pulang aja!” ucapnya tersenyum, mengusap kepalaku yang sudah memakai helm.
Entah mengapa, hatiku bergetar mendengar itu. Aku merasa bersalah, mungkin saja Kak Diego merasa lapar. Tapi aku menolaknya, sepanjang perjalanan kami hanya diam, aku juga diam karena dia tak mengajakku berbicara.
\*\*\*
“Turun udah, kita udah sampai!” ucap Kak Diego, memecah keheningan yang sedari tadi.
“Udah sampai?” tanyaku yang tak sadar, lantas melihat sekeliling, benar saja kami sudah sampai dari tadi.
“Udah sampai ternyata,” kataku lagi.
“Mikirin apa sih!”
“Gak kok, gak mikirin apa-apa,” ucapku cuek.
“Trus mau ikut aku pulang yah!” katanya dengan nada setengah menggoda.
“Apaan sih, Kak,” ujarku jengkel.
“Trus kenapa gak turun!” Katanya menahan tawa,
“Oh iya,” kataku tersadar dan langsung beranjak turun dari motor. Aku berjalan masuk dengan menutupi wajahku yang saat ini mungkin sudah memerah karena menahan malu. Dari kejauhan, kudengar Kak Diego hanya tertawa seperti menahan geli.
Baru saja aku masuk ke dalam rumah, Aku sudah di kejutkan dengan tatapan aneh dari Bang Rehan, dia menatapku seolah baru melihatku saja.
“Semangat amat sih, Dek, kencannya!”
“Hum, gak bisa liat orang senang,” celetukku asal.
“Senang amat, yak!” goda Bang Rehan lagi sambil menggelitikku.
“Malas, gue!” ucapku meraih gelas berisi air di atas meja, lantas meminumnya.
“Hem masa malas, sampe helm-nya gak Lo, lepas-lepas gitu!”
“Maksudnya?” aku langsung menarik tubuhku di depan cermin, dan benar saja ada helm yang masih terpasang di kepalaku. Sementara Bang Rehan sudah melepaskan tawanya dari tadi.
“Dasar, Adek gila,” katanya cekikikan. Tak merespon, aku langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Sesampainya di kamar aku langsung histeris sendirian. Itukah alasan Kak Diego tadi tertawa? Oh astaga.
“Yaelah, begok amat. Mau bilang apa sama Kak Diego, gue besok!” teriakku histeris menahan malu.
“Gak, kesurupan kah, Dek?” teriak Bang Rehan, dari kamar sebelah.
“Apaan sih, ikut-ikut,” celetukku sirik.
~~~
“Lo, gak sekolah, Dek?” kenapa gak siap-siap?” tanya Bang Rehan saat sarapan pagi.
“Gak pergi, gue, Bang.”
“Trus helm-nya gimana? Gak mau dibalikin yah!” celetuk Bang Rehan, entah mengapa, dia begitu rewel. Padahal dia laki-laki.
“Abang ihh, tanya terus. Gue malu tahu.”
“Gue kan, cuma tanya, heran deh!” aku menatapnya heran, bingung memiliki Abang yang super duper bawel, padahal di sekolah, dia cuek-cuek aja.
“Yaudah, maunya gimana? Gak sekolah?” tanyanya lagi.
“Iya pergi, yaudah gue siap-siap dulu,” ucapku dengan menekan kan, kata pergi.
“Cepetan, telat nanti.”
“Iya, Bang. bawel amat.”
\*\*\*
Saat di parkiran, tidak sengaja aku berpapasan dengan Rara juga Iqbal. Rara berjalan menghampiriku. Mungkin dia sengaja melakukannya, apa dia sedang mencoba memanasiku, dengan berita pertunangannya dengan Iqbal? Ya, walaupun begitu, setidaknya dia tidak perlu melakukannya, hanya membuatku murka saja.
“Eh, ada Lin ternyata!” kata Rara dengan sedikit sinisnya. Aku membalas ucapannya dengan senyum sinis yang di paksakan. Jika tidak, dia pasti akan merasa aku tidak menyukainya, biar bagaimana pun dia pernah menjadi sahabatku, kami juga tidak begitu saling membenci, seperti orang-orang umum kebanyakan, jika mengalami hal yang serupa.
“Yaudah, gue, ke kelas dulu,” ucap Iqbal kepada Rara. kemudian Iqbal berlalu pergi dari hadapan kami, Rara menatap Iqbal kemudian tersenyum dengan senyum termanisnya, sungguh aku tidak begitu menyukainya.
“Iyadeh,” kata Rara lagi. Iqbal kemudian berlalu meninggalkan parkiran.
“Lo, bawa apaan, Lin!?” ucap Rara setengah menyelidik.
“Bukan urusan, Lo,” kataku berlalu meninggalkan Rara sendirian. Ya, tak ada yang harus di perbaiki dari hubungan kami. hubungan kami memang sudah berakhir kini.
Walaupun sebenarnya, aku masih berharap bisa berbaikan dengannya, biar bagaimana pun dia adalah sahabatku, dan kami cukup sangat dekat.
Sebenarnya, kurasa Rara juga menginginkan hal yang sama, tapi kami sama-sama enggan untuk memulainya, dan mungkin kami masing-masing menunggu siapa yang akan mengatakannya lebih dulu.
Egois sekali, entah dari mana sikap seperti itu di dapatkan, yang jelas aku benar-benar tidak menyukainya. Dia terlihat lebih menyebalkan dari biasanya.
Bersambung,....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments