"Andaikan Mas Azzam masih hidup..."
Sedikit mencoba berhenti dari kata berandai-andai itu, hari-hari terasa lebih baik semenjak pertemuan Ara dengan orang asing. Tak dapat di cegah, semuanya mengalir begitu saja ketika panggilan Ayah itu jadi terbiasa.
Entahlah...
Harus senang atau malah semakin bersedih, kedua rasa itu datang bergantian saat melihat senyum manis Ara terbit di wajah polosnya. Tidak ku sangka kehilangan membuat anakku hidup berandai-andai di dalam hati dan pikirannya. Dan jelas bahwa Mas Andra bukanlah siapa-siapanya.
"Sekarang Ara sudah tinggi." suara Andra terdengar bahagia bercampur tawa, diiringi tawa khas Ara yang menggemaskan, persis ketika ia bermain dengan Azzam di halaman rumah sederhana di pagi setelah pulang dari rumah sakit.
Tanpa sadar kedua sudut bibir merah Hafizah tertarik melihat tubuh kecil Ara diangkat begitu tinggi hingga melewati kepala Andra.
Tangan kecilnya berpegangan dengan lengan kokoh Andra yang mendadak terlihat hangat bak seorang ayah kepada anak.
'Ini hari pertama ada laki-laki lain yang datang bertamu tanpa Mas Azzam, di rumah Mas Azzam, dan sedang bermain dengan Ara, putri kesayangan Mas Azzam.'
"Baiklah, duduk di sini ya." ucap Andra lagi mendudukkan tubuh kecil Ara di atas meja taman.
Hafizah segera meraih tubuh kecil Ara yang tampak begitu senang.
"Ada apa?" tanya Andra ikut duduk di bangku kayu tersebut, sejak tadi mencuri pandang kepada Hafizah yang hanya melamun.
Hafizah meliriknya sedikit. "Maaf sudah merepotkanmu."
"Andra tersenyum. "Kata siapa kau merepotkan aku? Lagipula aku menyukai Ara." jawabnya enteng.
"Tentu saja merepotkan, kau pasti merasa malang sekali bertemu aku dan Ara. Dan masalah Uangmu, ini aku kembalikan. Walaupun sedikit terlambat karena Abi masih berada di Singapura, dia juga sakit." jelas Habibah menyodorkan Amplop berwarna cokelat, sejak tadi ia siapkan ketika Andra datang.
Andra menarik nafas, melihat betapa wanita di hadapannya benar-benar berusaha untuk tidak merepotkan siapapun.
"Walaupun aku masih perlu berterimakasih banyak atas kehadiranmu dan waktumu untuk Ara, tentu aku tidak bisa membayarnya." lanjut Hafizah lagi dengan suara halus.
"Fiza, tidak semua yang kita terima dari orang lain itu harus di bayar. Begitu pula apa yang kita berikan, tidak selalu mengharapkan balasan."
"Tapi bagiku tidak." jawabnya lirih.
Ada gurat kecewa mendengar jawaban pelan itu. Entah apa yang sedang dipikirkan Andra sehingga ia hanya bisa menghela nafas sambil melihat wajah cantik Hafizah dengan putus asa. "Baiklah, tapi jangan menganggap kedekatanku dengan Ara juga sebagai hutang. Aku tidak sedang memberikan apapun padanya, dan sebaliknya aku menyukainya. Aku merindukannya jika sehari tidak bertemu." jawabnya terlihat serius.
"Ehemm..."
Nur datang membawa teh hangat untuk kedua orang tersebut.
"Terimakasih." ucap Hafizah kepada adiknya.
"Aku sangat berterimakasih atas kebaikanmu terhadap Kak Fiza juga Ara keponakanku." Nur ikut berbicara.
"Tidak perlu sungkan." ucapnya meraih tanah kecil Ara yang sedang memeluk Hafizah. Tentu semua tak luput dari tatapan Nur yang masih berdiri.
Hingga beberapa saat setelah teh hangat di atas meja itu habis di teguk keduanya.
"Kalau begitu aku pulang dulu, aku sedang ada urusan." ucap Andra melihat jam di pergelangan tangannya.
"Baiklah, terimakasih banyak." Hafizah menunduk setelah bicara. Namun rengekan terdengar dari mulut kecil Ara.
"Aya..." ucap Ara menyebut namanya sendiri. Dia mengulurkan tangannya kepada Andra.
"Om Andra harus pulang, lain kali dia akan datang lagi." bujuk Hafizah kepada Ara.
"Ayah." panggilnya mulai menangis, hingga Andra lah yang harus mengalah dan membujuknya sejenak.
Begitu drama pertemuan kedua orang asing tersebut selalu saja membuat Hafizah serba salah. Ingin rasanya melarang dan menghindar, tapi mengingat beberapa waktu lalu Ara sakit seperti akan kehilangan nyawanya, tentu saat ini tak ada pilihan selain menuruti apa yang membuat Ara bahagia.
"Tidak baik membiarkan Ara terus bergantung kepada Mas Andra." ungkap Nur ketika hari itu.
"Tapi Kakak tak punya pilihan." Hafizah merasa pasrah.
"Apakah sebaiknya kakak pulang ke pesantren saja? Di sana akan lebih baik bagi seorang janda seperti Kak fiza."
Tentu saja benar apa yang dikatakan Nur padanya. Tapi sayang rasanya meninggalkan rumah Azzam yang sudah seperti surga bagi keduanya ketika itu, bahkan suara Azzam yang begitu mesra masih mengiang di telinganya sampai saat ini.
"Untuk sementara, biarlah aku tinggal di sini." jawab Hafizah sendu.
Lelah, mungkin yang dirasakan Nur harus bolak-balik menempuh perjalanan hampir satu jam menuju pesantren, sehingga akhirnya Hafizah mengizinkan Nur pulang.
"Apakah sebaiknya aku mencari pekerjaan saja?" Hafizah bergumam sendiri di malam itu ia merasa harus melanjutkan hidup, terlepas dari kesedihan atas kehilangan Azzam, Ara tak selamanya menjadi balita, semakin hari ia tumbuh besar dan kebutuhan akan terus bertambah.
Ia bangun dari ranjang empuk tersebut, membuka laci dan mengambil beberapa berkas.
"Pekerjaan apa kira-kira?" dia bergumam sendiri, lalu meraih ponsel dan mulai mencari lowongan pekerjaan.
***
Pagi yang begitu cerah, pas sekali dengan rencana semalam yang sudah di susun rapi, Hafizah akan melamar pekerjaan di beberapa perusahaan.
Meminta Bi Inah yang sempat bekerja dengannya untuk mengasuh Ara, dengan janji akan membawa Andra pulang. Sungguh rayuan yang konyol, begitu ia berpikir tapi cukup berhasil merubah rengekannya menjadi tawa.
***
Kantor pertama.
Pekerjaan cukup berat, di tuntut untuk lembur tiga kali seminggu, pulang larut malam.
Kantor ke dua.
Gaji dan ongkos tidak seimbang, tentu jarak yang lumayan akan sangat menjadi perhitungan bagi seorang Hafizah yang tidak memiliki kendaraan sendiri.
Kantor ke tiga dan empat. Keduanya masih harus menunggu.
Kantor ke lima.
Hari menjelang pukul dua, Fiza masih saja memaksakan diri untuk mencari pekerjaan. Dengan bayangan wajah mungil Ara, lelahnya menjadi nomor dua.
"Bismillah."
"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" Begitu suara resepsionis yang ada di depan kantor besar itu menyapa sopan. Hingga perbincangan mereka berlanjut dan kemudian diminta untuk menunggu.
"Ya Allah, sungguh aku ingin menjadi wanita yang kuat, berikanlah hamba rizky yang halal untuk menghidupi anakku." dalam hati ia berdoa.
Sempat menciut melihat gedung yang menjulang ini, ternyata pelayanannya luar biasa, sopan dan ramah. Sedikit membuat ia berharap akan menemukan pekerjaan di sana.
"Mbak Hafizah, silahkan masuk." terdengar resepsionis itu berkata padanya.
"Oh, terimakasih." Hafizah meraih berkas dan membenarkan tas di pundaknya, ia berjalan mengikuti langkah wanita muda yang sudah berjalan lebih dulu.
"Silahkan." pintunya bahkan di bukakan lebih dulu.
"Terimakasih banyak." ucap Fiza senang.
Dengan hati yang sedikit cemas, semakin bertambah gugup ketika di ruang itu ada dua orang yang berpakaian rapi, yang menurut pengalaman Hafizah, orang seperti itu akan sangat banyak tanya.
"Silahkan duduk." seorang dari mereka menghadap Hafizah.
"Terimakasih Pak." jawabnya dengan suara khas halus dan lembut.
"Siapa nama dan pendidikan terakhir?" tanya laki-laki itu.
"Nama saya Hafizah, pendidikan terakhir S1, lulusan Fakultas Syari'ah Wal Qonun Mesir. Saya belum memiliki pengalaman kerja, hanya pernah menjadi seorang pengajar di sebuah pesantren selama Satu tahun." jelasnya sangat jujur.
"Laki-laki itu ternganga dibuatnya, matanya tak berkedip menatap Hafizah yang lulusan Mesir tapi melamar pekerjaan di sana. Dan semakin heran ketika laki-laki di sampingnya memutar kursi mendadak.
"Hafizah?" panggil laki-laki itu dengan tatapan tak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Ai Emy Ningrum
🧑🏻💼 : Hafizah???
🧕🏻 : Andra ?? 😳
Pasti itu Andra...ga mungkin mas Joko apalagi Adit 🙄😳
2023-05-03
4