Separuh Nyawa Suamiku

Separuh Nyawa Suamiku

Satu Miliar

POV Hafizah💔

~ Suara mobil jenazah terdengar mengaum, dari kejauhan sudah mengisi gendang telingaku. Selepas kabar dari pihak kepolisian memberitahukan bahwa suamiku telah mengalami kecelakaan dan tewas ditempat. Sungguh aku tidak percaya.

Beberapa menit yang lalu, dia baru saja berpamitan dengan mesra ketika akan berangkat bekerja di sebuah pesantren milik Abi, dimana suamiku mengajarkan ilmu agama kepada santri di sana. Tidak ku sangka, pada hari Jumat pagi ini, Allah telah mengambilnya.

Meninggalkan aku, mengakhiri kebahagiaan yang baru empat tahun ku rasakan begitu sempurna.

Dunia seolah runtuh seketika. Tidak terbayangkan bagaimana sakitnya kehilangan seorang imam, teman suka dan duka, sang belahan jiwa.

"Mas Azzam." lirihku dengan gemetar.

Ingin menjerit tapi tak cukup tenaga, bahkan suara yang biasanya tinggi, kini tercekat. Hatiku seperti terbelah dua, jantungku seakan berhenti berdetak.

Mobil berwarna putih itu berhenti.

Adik dari suamiku mendekati mobil jenazah itu dengan menangis, meraih tubuh bisu Mas Azzam.

"Maaaassss...." pada akhirnya aku berteriak dalam tangis, mataku gelap, dunia sedang tidak bersahabat.

Dan tangis ku semakin menjadi ketika jenazah Mas Azzam di baringkan di tengah-tengah ruang tamu, tak sanggup aku menatap wajah tampan yang amat aku cintai kini sudah tidak bernyawa lagi.

"Yang sabar Fiza."

Aku merasa bisu mendengar kata sabar itu ribuan kali terucap dari tetangga dan sanak saudara datang melayat. Aku tidak sanggup menjawab...

Bagiku, Mas Azzam masih hidup.

"Ikhlas Kak Fiza, semuanya sudah ditakdirkan Allah yang maha kuasa. Mas Azzam meninggal dalam keadaan syahid, berwudhu dan wajahnya tampan tanpa terluka sedikitpun."

Begitu nasehat adikku, Nur.

Memang benar, Mas Azzam meninggal dengan wajah tampak berseri, bahkan tak ada kesan kesakitan di wajahnya, persis ketika ia tidur lelap dimalam-malam ia bersama diriku. Walaupun iya, kepala bagian belakangnya retak, dengan otak yang terkena benturan keras, tentu dia tidak akan selamat.

Air mata ku turun deras, bukan karena tak ikhlas. Tapi aku sedang berduka, kehilangan cinta yang luar biasa, laki-laki hebat, ayah dari anak semata wayang kami, Arafah.

Hingga selesai pemakaman.

Setetes air hujan jatuh tepat di hidungku.

Aku mendongak langit yang benar-benar gelap di sepertiga hari ini, aku menoleh Arafah yang masih belum mengerti apa-apa, dia hanya duduk menyaksikan onggokan tanah yang sejajar dengan dadanya.

"Sebaiknya kita pulang dulu Kak."ucap Adik dari suamiku.

Sungguh aku enggan beranjak, masih ingin tetap di samping makam Mas Azzam yang bagiku sungguh bisa di peluk untuk melepaskan rindu.

"Kasihan Arafah Kak." ucap Achmad Hairudin lagi, dia merupakan seorang Sersan muda. Adik suamiku itu baru saja selesai menempuh pendidikan militer dua hari yang lalu. Malah harus menyaksikan Kakaknya meninggal, sungguh diapun sedang merasakan kehilangan, mengingat selama ini Mas Azzam yang sudah menyekolahkan dan memenuhi semua kebutuhannya.

Akhirnya aku mengalah. "Aku pulang Mas." lirihku seraya menyapu air mata, pulang dengan hati yang berat.

Langit semakin gelap menjelang ashar, dari kejauhan hujan lebat sedang berjalan mendekat. Detik demi detik hingga menjadi menit yang mencekam, ketika air dari atas langit seakan tumpah di atap rumah sederhanaku, sedang menggambarkan kesedihan ku atas kehilangan mas Azzam.

"Orang yang menabrak sepeda motor Mas Azzam sedang sekarat."

Ahmad berkata setelah menutup panggilan ponselnya.

Aku tak bisa berkata apa-apa, toh andaikan dia tetap hidup dan kemudian di penjara, tentu itu tak juga bisa membuat nyawa Mas Azzam kembali. Secara tak langsung aku juga ingin si penabrak itu mati.

"Astaghfirullah." Hanya satu kata saja yang bisa ku ucapkan atas sakitnya kehilangan. Hanya Allah saja yang tahu, betapa hancurnya hatiku.

"Kita akan mendatangi kantor polisi besok pagi. Agar jelas semua perkaranya dan mereka tidak bisa lepas begitu saja." ucap Ahmad lagi, sebagai seorang Anggota militer tentu dia tahu harus mengurus perkaranya seperti apa, walaupun baru saja lulus dan hanya mendapatkan libur satu Minggu, tapi kehadirannya cukup membantu. Karena jika aku hanya sendiri datang ke kantor polisi, tentu aku tidak akan sanggup. Berdiri saja aku nyaris tak mampu.

Keesokan harinya.

Aku mendatangi kantor polisi dengan wajah pucat, mata sembab dan hidung yang merah. Tentu karena sepanjang malam aku menangis.

"Maaf, keluarga tersangka tak bisa datang karena tersangka sediri masih kritis. Namun demikian, saya sebagai kuasa hukum keluarga tersangka akan bertanggung jawab, dan memberikan uang santunan untuk mengurus korban, juga untuk kelanjutan hidup keluarga yang ditinggalkan sebesar satu milyar."

Aku berdiri cepat, dadaku sesak dengan air mata tak mungkin bisa di bendung.

"Nyawa Mas Azzam tidak bisa di tukar dengan uang." ucap ku dengan sangat emosi, membuat semua pihak terkejut dengan penolakanku.

"Tapi ini adalah wujud dari rasa tanggung jawab kami untuk keluarga Anda Nyonya Hafizah." pengacara itu kembali berbicara.

"Tanggung jawab tak hanya melulu kalian nilai dengan uang. Dimana keluarga tersangka yang identitasnya saja kalian tutupi!" tegasku lagi, aku marah.

"Bukankah sudah jelas bahwa tersangka sedang kritis?" Pengacara itu ikut tersulut emosi. "Jika di hitung kerugian, tentu pihak kami mengalami banyak kerugian bahkan berkali lipat, mobil yang dikendarai tersangka senilai 2 Miliar rusak total bagian depan akibat menabrak tiang listrik dan pengendaranya sendiri mengalami cidera parah, wajahnya hancur, kaki dan tangannya patah!"

"Lalu bagaimana dengan Mas Azzam yang sudah mati!" teriakku semakin tak bisa mengendalikan diri. "Apa karena suamiku hanya pengendara sepeda motor dan kalian seenaknya saja membayar nyawanya dengan uang?"

"Harusnya anda bersyukur kami masih_"

"Stop!" seorang polisi menghentikan perdebatan yang sudah bercampur emosi tersebut.

"Begini Pak, kami ingin bertemu dengan salah satu pihak keluarga, agar kakak Iparku ini tidak terlalu kecewa." Ahmad menengahi.

"Sudah saya katakan bahwa klien saya ini memiliki privasi! Tidak sembarang orang bisa bertemu dengan mereka!"

"Baiklah, kalau begitu katakan pada Tuanmu itu. Aku tidak butuh uangnya!"

"Nyonya!"

Aku memilih keluar dari ruangan itu dengan tangis yang semakin menjadi, hatiku tak cukup kuat untuk berdebat di hari ini.

"Kak!" Ahmad mengejar ku, meraih tanganku.

"Mereka pikir nyawa Mas Azzam bisa di beli!" marahku kepada Ahmad.

"Bukan seperti itu Kak, tapi uang itu bisa kakak gunakan untuk melanjutkan hidup bersama Arafah." Ahmad membujukku.

"Mereka ingin bebas dari rasa bersalah dengan cara yang mudah. Dengan menerima uang itu maka sama artinya aku sudah memaafkan pelakunya. Demi Allah, aku tidak bisa. Biarlah mereka hidup dengan rasa bersalah selamanya."

"Kak!"

Brugh!

Niat ingin meninggalkan Ahmad, malah tak sengaja menabrak seseorang yang sepertinya sedang terpaku mendengar pembicaraanku.

Tangannya menahan tubuhku yang limbung, dapat ku rasakan laki-laki tampan seumuran mas Azzam itu sedang gemetar. Bahkan jari yang tak sengaja menyentuh punggung tanganku itu terasa dingin.

"Maaf." Ucapnya seperti sedang ketakutan. ~ 💔

*

*

*

...Terimakasih sudah mampir....

...Jangan lupa like, vote dan ♥️ nya ya... 🙏🙏🙏...

Terpopuler

Comments

yamink oi

yamink oi

Melu nyimak kak

2023-04-29

3

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

iisshh knp kok kek ketakutan gituh 😳 apakah dikejar penagih hutang?? 😱🙀

2023-04-29

3

Lina Zascia Amandia

Lina Zascia Amandia

Wahhh karya baru nih Kak, liken sub mampir smg sukses....

2023-04-29

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!