Semakin Parah

Satu Minggu sudah berlalu, tapi kondisi Ara tak juga membaik.

Sejak hari itu Nur lebih sering menemani Hafizah di rumah sakit. Selain Hafizah memang sedang butuh uang ia juga butuh tempat untuk berbagi beban.

"Aku harus menemui Dokter, tolong jaga Ara sebentar." ucap Hafizah di siang itu, tak hanya lelah tubuh, tapi hatinya pun hampir putus asa dengan keadaan Ara yang semakin lemas.

"Baiklah Kak." jawab Nur kemudian masuk ke dalam menggantikan Hafizah.

Dengan hati yang bimbang, tentu ia tak boleh menyerah begitu saja, jika obat sudah tak bisa memulihkan Ara, maka harus ada upaya lain agar Ara bisa lepas dari keadaan terpuruknya.

Ya, dia sedang kehilangan.

Hafizah berjalan sambil menyeka air mata, kepergian Azzam membuatnya sungguh kehilangan separuh jiwa.

"Dok mengapa kondisi putriku belum juga pulih? Apakah ada hal lain yang bisa dilakukan agar Ara bisa sembuh?" tanya Hafizah setelah berada di ruangan Dokter anak.

Dengan helaan nafas yang berat, Dokter wanita itu melepas kaca matanya. "Nyonya, sebenarnya Ara tidak memiliki penyakit."

Hafizah termangu dengan ungkapan dokter tersebut.

"Dia sedang merasakan situasi yang tidak pernah di inginkan, dan sebagai anak dia juga tidak bisa mengungkapkan bahwa hatinya sangat bersedih. Itu pula alasan kami hanya memberikan vitamin dan obat-obatan ringan seperti penenang saja. Dia tidak sakit."

"Lalu aku harus bagaimana Dok?" isak tangisnya terdengar menggema dengan tarikan nafas berat memenuhi ruangan dokter itu.

"Banyak berdoa Bu, hibur Ara dengan menghadirkan banyak orang yang mungkin bisa membuatnya lupa akan kehilangan ayahnya."

"Aku takut Dok, Ara terlalu mencintai ayahnya dan_" dia tak mampu melanjutkan kata-katanya lagi.

"Kami sedang meminta seorang psikolog anak untuk datang kemari, semoga setelah ini Ara akan lebih baik."

"Iya Dok, aku akan melakukan apapun agar Ara bisa sembuh."

Sedikit harapan, Hafizah keluar dari ruangan itu dengan mata yang yang masih basah, ia membuka ponselnya ingin menghubungi Ahmad. Hanya berniat memberi kabar, dan meminta doa untuk kesembuhan Ara, karena untuk memintanya pulang tentu Ahmad tak akan bisa.

"Assalamualaikum Kak." suara Ahmad terdengar di seberang sana.

"Wa'alaikum salam Ahmad, maaf kakak mengganggu." Hafizah berpikir lagi untuk memberitahukan kabar Ara Padanya.

"Ada apa Kak?" tanya Ahmad sepertinya tahu Hafizah sedang berpikir.

"Ah, Kakak hanya..."

"Kak?" suara Ahmad lagi.

Hafizah memilih mematikan ponselnya, tak sampai hati ia mengatakan tentang Ara. Sebagai anggota militer baru tentulah Ahmad sedang banyak sekali kegiatan, mana mungkin Hafizah sampai hati menambah beban pikiran adiknya yang masih terlalu muda.

"Kak!!"

Panggilan Nur yang terdengar berteriak membuat Hafizah terkejut hingga menjatuhkan ponselnya.

"Ara sesak Kak, cepatlah." Nur menarik tangan Hafizah untuk segera masuk ke ruang rawat anaknya.

"Ara." ucap Hafizah bergetar, berlari masuk melihat keadaan anaknya.

Tampak seorang dokter dan dua suster sedang mengelilingi Ara, berusaha menolong dan menenangkan Ara.

"Ara, Sayang..." Hafizah menangis sambil meraih tangan Ara yang terasa dingin.

"Hek....Ahh.." suara Ara tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan mata sendunya melihat ke langit-langit rumah sakit.

"Araaa..." Hafizah semakin menangis.

"Ibu tenang ya." salah satu suster membujuk, namun tak di hiraukan Hafizah.

Pikirannya benar-benar kalut, keadaan Ara yang semakin memburuk membuat Hafizah seolah berada di hari beberapa Minggu yang lalu, dimana kepergian Azzam yang begitu tiba-tiba.

"Tarik nafas Ara, lalu hembuskan pelan Nak." Dokter itu membujuk dengan lembut, berusaha mengalihkan pandangan Ara padanya.

Perlahan, ternyata Ara masih mendengarkan dokter itu bicara. Dada kecilnya mulai normal, tak lagi naik turun begitu cepat.

"Alhamdulillah." suster yang memakai hijab sama seperti Hafizah itu tersenyum lega.

"Ara Sayang, lihatlah Ibu Nak. Ibu sangat menyayangimu. Ibu mencintaimu. Ibu hanya memiliki Ara saja." Hafizah kembali terisak pilu.

Namun tak mendapat respon dari gadis kecil tersebut, bahkan pelukan Hafizah seperti tak di rasa.

"Ara." pelan Hafizah semakin khawatir.

Ara menatap satu titik dengan tak berkedip. Nafasnya teratur, tapi menangis tanpa suara. Air matanya turun pelan tanpa ada yang bergerak seluruh anggota tubuh kecilnya.

"Ara..."

Hening, ketika semua orang menunggu reaksi gadis kecil yang terbaring lemah, pucat dan semakin cekung kedua matanya.

Dia berkedip, tapi masih fokus di satu titik yang membuat semua orang menoleh.

"Ara." ucap pria yang mematung mengikuti panggilan yang beberapa kali Hafizah sebutkan.

"Ayah..."

Ara menyahut lemah, tapi kata-kata yang di sebutkan sungguh di luar dugaan.

"Nak." sungguh dengan dada yang sesak Hafizah mencoba menjelaskan.

"Ayah..." panggilnya lagi.

Tak hanya Hafizah, tapi semua orang saling pandang dengan apa yang disebutkan Ara, dan matanya tetap tertuju kepada laki-laki yang berdiri diujung ranjang.

Dan tidak di duga pria itu malah mendekati Ara, tepat di samping Hafizah ia berdiri dan meraih tangan kecil Ara.

"Ara?" panggil pria itu sangat dekat, kedua bola mata mereka beradu.

"Ayah...!" tangis Ara pecah menggema, entah dari mana ia mendapatkan tenaga hingga bisa menjeritkan panggilan ayah kepada laki-laki yang tidak ia kenal.

Dan begitu mengharukan ketika kedua orang asing itu berpelukan.

Tangis haru terjadi begitu saja dari beberapa orang termasuk dokter yang menyaksikan bagai mana Ara meluapkan tangisan rindu kepada laki-laki itu.

"Tenanglah Sayang." ucapnya pula, sungguh membuat Ara semakin tidak mau melepaskan pelukan di bahu kokoh laki-laki asing tersebut.

Semua orang bernafas lega setelah beberapa menit kemudian ada kemajuan pada Ara, mendadak ia ingin minum susu. Sungguh Allah sedang memberikan keajaiban atas doa yang selalu dipanjatkan seorang ibu setiap waktu dan disertai air mata.

"Terimakasih." Hafizah menunduk di hadapan pria yang lagi-lagi sudah memberikan pertolongan padanya. "Bahkan uangmu belum ku kembalikan, tapi sekarang aku malah berhutang lagi."

Dia memandangi Hafizah yang semakin menunduk. "Namaku Andra. Kau tidak perlu merasa terus-terusan berhutang, karena sebuah pertemuan bukanlah hanya sekedar kebetulan."

"Ma... maksudmu?"

"Ya, mungkin saja Allah sedang ingin aku menjadi penghibur hati Ara yang sedang kehilangan." jawabnya pelan, mata hitam pekatnya menatap wajah Hafizah.

"Darimana kau tahu Ara sedang kehilangan?" sedikit tak suka dengan kata-kata kehilangan itu, walaupun benar adanya.

"Jika ayahnya ada, tentu dia tidak akan memanggilku ayah." Dia tersenyum lalu kembali mengeratkan genggaman tangannya kepada Ara. "Atau aku memang pantas menjadi seorang ayah?"

Begitu kata-kata mengejutkan sekaligus membuat Hafizah tak nyaman.

Tiba-tiba dia bersikap aneh, ditambah lagi senyumnya yang menurut Hafizah sedikit mengganggu.

"Aku hanya bercanda." sambil mengecup tangan kecil Ara yang mulai memejamkan mata, dan satu tangannya memberikan ponsel Hafizah yang terjatuh.

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

duuhh becanda nya ga lucu bang 🥺🥺

2023-05-01

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!