Sedang Berhutang

Lepas Subuh di pagi ke dua.

Tubuh menggemaskan Arafah bergerak-gerak mencari sesuatu, kaki kecilnya mengayun kesana-kemari belum juga menemukan penyangga seperti pagi-pagi sebelumnya.

"Ayah..." lirihnya kemudian berbalik tengkurap meraih bantal di sisi kirinya.

Sungguh pemandangan itu semakin memperdalam luka di hati seorang ibu yang baru saja menjadi janda. 'Andaikan Mas Azzam masih ada...'

"Ayah." panggil Ara kemudian tak menemukan apa yang ia cari.

"Ara." Hafizah segera melepaskan mukena dan meletakkannya terburu-buru.

"Ibu..." rengeknya dengan mulut kecilnya tertarik kebawah, dapat di pastikan sebentar lagi dia akan menangis.

"Ara mau main ya?" ucap Hafizah dengan hati yang semakin nyeri, membawa tubuh kecil itu. Biasanya di pagi seperti ini Azzam yang menggendongnya, sedangkan ia sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka. Tapi berbeda di pagi kedua ini.

'Kami tidak akan menemui kehangatan itu lagi.'

"Hek....hek...emmmm..." Ara masih merengek dengan mata mulai basah, menoleh ke mana-mana mencari keberadaan Ayahnya.

Tak urung jua, air mata hangat itu turun lagi...

***

"Kak, bagaimana dengan uang santunan itu? Apakah sebaiknya Kak Fiza berdamai saja dengan mereka, bahkan pengendara mobil tersebut belum sadar hingga hati ini." Ahmad mengajak berbicara.

Fiza terdiam sejenak, dia tahu Achmad sedang menghawatirkan dirinya dan Ara.

Dan sepertinya hati Fiza masih saja membatu jika mengingat peristiwa yang menewaskan Azzam.

"Lusa aku harus kembali ke batalyon. Tentu jarak dan tugas membuatku tidak bisa mengurus Ara dan Kakak setiap waktu." ujarnya lagi.

Tentu maksud Ahmad adalah jika uang itu sudah di terima, dia tidak khawatir lagi dengan kehidupan Ara.

Riwayat Hafizah yang merupakan anak seorang kiyai yang semuanya adalah penghafal Alqur'an, membuat Azzam selalu mengistimewakannya. Meskipun uang yang ia dapat terbilang pas-pasan tapi untuk pekerjaan rumah dia selalu meminta seseorang untuk mengerjakannya dengan alasan istrinya tidak boleh terlalu lelah, takut ayat-ayat yang sudah di hafal hapus perlahan dari dari ingatan. Begitu ucapan Azzam selalu terdengar ketika Fiza menolak memakai asisten rumah tangga.

Mengingat itu, membuat ia semakin tak ikhlas atas kepergian Azzam.

"Aku tidak akan menerimanya." ucap Hafizah pada akhirnya.

"Kak, bukankah sesama manusia harus saling memaafkan. Allah saja maha pengampun."

"Aku sudah memaafkannya, bukankah dengan tidak menuntut apa-apa sudah membuktikan aku tidak ingin membalas?" ucap Hafizah yang tidak mungkin kalah jika sudah berbicara perihal ikhlas.

'Hah! Sungguh ikhlas yang mana yang sedang ku bicarakan, sulit sekali aku mengerti bahwa ikhlas yang sebenarnya bukanlah tidak membalas.'

"Baiklah, jika kakak tetap tidak mau menerima maka aku tak juga bisa memaksa. Setiap bulan aku akan mengirimkan uang untuk Arafah, sebagai nafkah dari keluarga Mas Azzam atas anaknya, dan aku adalah wali satu-satunya." ucap Ahmad akhirnya menyerah, dan ia cukup dewasa dalam memahami tanggung jawab dan kewajiban.

"Kakak tidak mau membebankan Ara padamu, kau sendiri baru bekerja." ucap Hafizah merasa bahu Ahmad masih terlalu muda.

"Ara tanggung jawabku Kak." ucapnya kemudian menghembus nafas lega.

***

Tapi, hari-hari yang berlalu tak sesuai dengan harapan. Entah karena rindu terpendam kepada ayahnya, atau memang Hafizah sedang di uji. Hari setelah dua Minggu Azzam meninggal, Ara sakit. Demam yang tak kunjung sembuh itu membuat Fiza panik setengah mati, mau tak mau ia mengajaknya ke rumah sakit pada malam itu, beruntung seorang tetangga bersedia membantu.

"Ayah..." lirih Arafah yang sungguh semakin hari semakin kurus. Makan tak lahap, tidurpun tak begitu nyenyak. Mungkin tak nyaman dengan guling yang hanya bisa dipeluk, tapi tak bisa membalas.

"Sayang... Ara." Fiza sungguh bingung, bagai mana cara agar Ara bisa mengerti bahwa ayahnya sudah tak ada, ia hanya bisa mengelus dan memeluknya.

"Ini resepnya Bu, silahkan di tebus di depan." Dokter berkaca mata itu memberikan kertas bertuliskan beberapa macam obat.

"Baiklah Dok." ucap Fiza setelah melihat Ara mulai tenang, tentu setelah dokter menyuntikkan obat tidur di dalam infusnya.

Jarak yang lumayan jauh, berjarak beberapa kamar dan harus berbelok.

"Suster, aku ingin menembus obat ini." memberikan kertas dari dokter.

"Tunggu sebentar ya." jawabnya yang kemudian mengangguk.

"Sembilan ratus empat puluh lima ribu." ucap suster tersebut mengeluarkan beberapa obat yang sudah di bungkus dengan plastik bening.

"Iya." sedikit gugup mendengar jumlah tersebut, lupa menghitung uang di dompet yang Fiza sendiri yakin jumlahnya tidak sampai dengan hitungan itu.

Dan benar. "Suster, uangku hanya ada enam ratus ribu saja. Bisakah aku mengambil obat ini dan nanti aku akan melunasi semuanya."

"Maaf Bu, untuk obat tidak bisa, ini belum termasuk biaya rumah sakit lainnya." jawab Suster itu dengan sopan.

"Tapi Suster, aku datang terburu dan lupa membawa uang." Fiza masih berusaha, ingin Suster itu mengerti dan memberikan obatnya.

"Maaf Bu, saya_"

"Biar saya yang membayarnya."

Seseorang membuatnya menoleh, laki-laki muda itu berdiri tepat di samping Hafizah sibuk mengeluarkan card dari dompetnya.

"Ah, tidak Mas, aku hanya lupa membawa uang." Tentu Hafizah menolak, ia tidak kenal siapa laki-laki itu.

"Tidak apa-apa, aku juga sedang membayar tagihan rumah sakit untuk kakak perempuanku. Sekalian saja semua tagihanmu." jelasnya seraya meminta kepada Suster yang kemudian mengangguk mengerti.

"Tapi Suster."

"Sudah, anggaplah sebagai permintaan maaf ku atas pertemuan tak sengaja tempo lalu." ucapnya tersenyum lembut.

"Kita?" Hafizah mencoba mengingat.

"Ya, kita bertemu di kantor polisi dan kita bertabrakan tidak sengaja." ungkapnya tersenyum lebar.

"Oh, maaf. Harusnya aku minta maaf saat itu. Aku ingat, tapi sebenarnya akulah yang tidak melihat jalan."

"Tidak masalah. Waktu itu kau sedang menangis." ucapnya memperhatikan wajah Hafizah.

Hafizah menunduk karena memang tak biasa mendapatkan tatapan dari laki-laki asing selain Ayahnya dan Azzam suaminya.

"Ini Pak, sudah selesai." suster itu membuat ia sadar bahwa sekarang ia sedang berhutang kepada seseorang.

"Baiklah, terimakasih." pria muda itu menyimpan card hitam miliknya lagi. Dan ia malah pergi tanpa mengucapkan apa-apa.

"Mas, tunggu." Hafizah sedikit mengejarnya.

Dia menoleh. "Ya."

"Aku harus mengembalikan uangmu." ucap Hafizah tak merasa ragu, kali ini dia sendiri menatap wajah pria itu.

"Itu tidak perlu." ucapnya tersenyum sangat tipis.

"Tidak, aku sedang berhutang dan itu harus ku bayar." tentu ia tak menyerah. "Berapa nomor ponselmu?" Hafizah sudah siap dengan ponsel yang menyala di tangannya.

"A..." Dia terlihat ragu.

"Aku mohon, aku tidak mau berhutang kepada siapapun." ucap Hafizah lagi.

"Baiklah." Laki-laki itu tersenyum lebar, lalu meraih ponsel di saku celananya, dan memperlihatkan layar lumayan besar itu.

"Terimakasih, nomormu bagus." ucap Hafizah sedikit tersenyum.

"Tentu saja." dia seperti terkagum dengan senyum yang setelah beberapa waktu tak terlihat.

"Sekali lagi terimakasih, aku permisi. Assalamualaikum."

"Ya." jawabnya mematung hingga Fiza menjauh dan sedikit menolehnya.

"Awal yang bagus." gumam pria itu tersenyum berkali-kali.

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

mksud nya awal yg bagus tuh gmn...🤔
dgn membayari biaya rumh sakit nya Ara atau ( tak ) sengaja bertabrakan yg kmaren ituh waktu dikantor polisi 👮🏻...

2023-04-30

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!