Aku mencintai pekerjaanku. Sekalipun banyak konsekuensi yang harus tergadai seperti kebersamaanku dengan Ranti dan Jingga, tapi hasil barter itu menyenangkan hatiku juga. Aku selalu berkhayal diusiaku nanti yang ke-45 tahun, aku bisa pensiun dini dan menebus semua waktuku yang hilang bersama dengan orang-orang kesayanganku. Dengan mendiami villa sederhana tapi indah dan lengkap fasilitas. Menjalani hari tua ditemani senyuman dan omelan Ranti setiap harinya. Tinggal menikmati semua yang telah kuhasilkan ketika saat ini tanpa harus memusingkan biaya hidup dan ***** bengek lainnya. Mmmmm.... khayalan yang indah!
Karena itu saat ini meskipun begitu banyak beban fikiran dan juga tuntutan pekerjaan, aku berusaha menikmatinya. Demi masa depan kami nanti.
Jam makan siang telah lewat hampir setengah jam yang lalu, tapi aku masih berkutat dengan laptop dan lembaran-lembaran catatan penting yang harus kuaudit karena sebentar lagi akhir bulan harus stock opname.
"Pak Dika! Ada kiriman makan siang." Pintu diketuk dan seorang staff office boy menjulurkan kepalanya.
"Ya, masuk!" Mataku tetap pada laptop dimeja hingga OB tadi keluar setelah pamit padaku dan kubalas dengan anggukan saja.
Kulirik bagpaper disamping berkas-berkasku sekilas. Pasti Ranti yang begitu perhatian mengirim makan siang, karena ia tahu setiap tanggal-tanggal segini aku pasti sangat sibuk hingga lupa makan siang.
Kubiarkan dulu sebentar karena tanggung kerjaanku yang tinggal sedikit lagi. Kuperiksa sekali lagi pekerjaanku agar tidak ada yang salah atau terlewat karena aku ingin segera membuka bingkisan Ranti yang tercium wanginya begitu menggoda.
Selesai. Kututup laptop dan merapikan semuanya. Menyunggingkan senyum bahagia dan bersiap makan siang.
"Selamat makan siang, Mas Dika! Semoga masakanku berkenan dilidah mas. Aku akan sangat bahagia jika mas Dika bersedia memakannya sampai habis tak bersisa.
\-Vika\-
Vika?? Ini dari Vika?.... Hhhh.... Kupikir dari Ranti.
Perasaan senangku berubah menjadi tawar. Datar, tapi tetap kubuka karena harumnya yang menggoda.
Sepertinya masih baru selesai dimasak karena masih panas dan beruap. Apa itu namanya, ah rantang. Ya, rantangnya lucu sekali. Aku jadi teringat masa kecilku dulu karena ibuku punya beberapa rantang seperti ini dulu.
Kubuka satu persatu susunan rantang yang ada 4 itu. Nasi putih hangat, tumis kangkung, oseng cumi asin, dan ayam geprek atau apa ini aku kurang paham. Aku tersenyum. Ini semuanya menu favoritku. Darimana perempuan itu tahu kesukaanku. Padahal Ranti saja tidak pernah kuberitahu makanan kesukaanku yang oseng cumi asin.
Aku makan sangat lahap. Dengan jari lima semakin terasa nikmat hingga semua tak bersisa.
Ini adalah salah satu makan ternikmatku. Setelah ibu meninggal dunia, nyaris aku tak pernah dapatkan oseng cumi asin lagi. Kalaupun ada dirumah makan-rumah makan itu adalah cumi balado atau sejenisnya. Bukan dioseng pakai cabe ijo. Bedanya buatan Vika lebih ramai karena ditambah paprika dan bawang bombay. Aku jadi kangen ibuku.
Tapi tak boleh berlama-lama bernostalgia. Pekerjaanku selanjutnya berbaris menunggu. Aku harus segera menuntaskannya supaya bisa pulang kerumah tepat waktu alias tidak lembur. Karena badan ini agak penat dan lelah ingin segera santai berbaring dikamar kami yang nyaman.
Beberapa buku keuangan beberapa resto sudah kurevisi dan pindahkan ke buku besar. Kulirik jam tangan, tinggal tersisa 20 menit lagi. Lumayan cukup untuk merapikan berkas-berkas dimejaku. Aku menuangkan air diteko kaca kedalam cangkirku disudut meja. Meminumnya hingga habis menghilangkan dahaga dikerongkonganku.
Selesai. Beberapa kawan sesama karyawan sudah satu persatu meninggalkan ruangannya. Meninggalkan jejak dengan menekan tombol akhir jam kerja di mesin otomatis didepan pintu. Bergegas berebutan turun lift kelantai dasar untuk kembali pulang kerumah masing-masing.
"Maaas...!"
Seorang perempuan melambaikan tangannya didepan gerbang gedung perkantoranku.
Vika????
"Maaf, aku mengganggu lagi!" katanya mendekat dengan seulas senyum dibibir.
"Memang kamu mengganggu sekali!" jawabku ketus lanjut berjalan tanpa menghiraukannya tergopoh mengikuti langkahku.
Aku berjalan menuju parkiran. Tapi tunggu,...
"Hei, kamu sengaja ngikutin aku?" tanyaku pedas. Vika mengangguk masih dengan senyuman tapi lebih lebar.
"Ada perlu apa?" tanyaku lagi.
"Bisa kita nhobrol sebentar, mas?" katanya pelan seperti berusaha mengambil hatiku. Kutatap matanya, masih terlihat sedikit memar. Tapi wajahnya sudah lebih baik dari waktu itu.
"Maaf, aku ga punya waktu."
"Tolong, mas! Aku bingung,... sama siapa lagi harus minta tolong," Vika mengiba. Memohon dengan dua tangannya merapat dihadapanku.
Hhhh.....! Bikin pusing lagi aja nih sepertinya, gerutu hatiku kesal.
"Please ya, ses... Kamu itu wanita dewasa. Punya pemikiran pasti lebih matang dibanding bocah ingusan 12 tahun. Kamu bisa minta bantuan kepada temanmu yang lain. Aku ini bukan temanmu. Permisi!"
"Mas Dika! Tolong aku! Kumohon, tolong aku lagi!" Vika memohon lebih rendah. Matanya berkaca-kaca. Hampir jatuh airmata dipipinya.
"Ya udah, kamu minta tolong apa?"
"Bisa kita cari tempat yang lebih nyaman untuk bicara, mas!"
"Hadeh.... kamu ini terlalu banyak tuntutan. Bicara disini, kalau engga' mau... aku pergi." Aku mengancam Vika membuatnya menghapus butiran yang hendak meluncur dipipinya.
"Mas, aku minta tolong pinjami uang. Ini sertifikat rumahku warisan orangtua, bisa kamu pegang untuk jaminan. Kalau boleh aku minta tolong lagi, bisa sekalian tolong dijual aja!"
"Helloooo.... Kamu ini pernah sekolah khan? Wanita gaul pula lho! Kamu bisa datang ke bank, atau ke pegadaian atau tempat peminjaman uang kalau kamu punya jaminan. Please...., aku ga bisa bantu. Maaf nona!"
"Mas! Tolong pegang ini." Vika memaksaku mengambil surat sertifikat rumahnya. Aku menepis tangannya. Memang terlihat kasar, tapi terpaksa kulakukan.
"Mas, aku sangat percaya kamu. Bahkan lebih percaya kamu ketimbang yang lainnya. Rumah ini pernah ditawar 1 M 4 tahun lalu. Mungkin harganya sekarang lebih 2 atau 3 kali lipat. Tapi aku butuh sedikit renov dan mengurus aliran listrik yang diputus PLN dan juga air PDAM. Mas Dika bisa boleh jual atau gadai." Vika terus menyodorkan berkas amplop berwarna coklat susu itu. Aku meradang, marah.
"Kamu anggap aku ini sematre itu? Aku memang berasal dari keluarga sederhana. Karena itu aku kerja keras untuk bisa mendapat lebih agar aku sukses. Tapi aku tidak suka cara-cara kotor apalagi menipu dan mempermainkan hak orang. Maaf, aku ga berminat!"
"Justru karena itu adalah kamu, mas! Orang lain akan memanfaatkan harta kekayaan aku hanya untuk berteman denganku. Tapi kamu tidak! Itu kenapa aku begitu berani mempercayakan kamu!" Vika membuatku terpaku. Kata-katanya keras seiring ia jongkok diemperan parkiran kantor. Beberapa orang yang lalu lalang memandang kami sekilas.
Aku masuk kedalam mobilku. Membukakan pintu depan agar Vika masuk kedalam juga karena risih dilihat orang.
"Masuk, biar kuantar kamu pulang."
"Aku senang, mas makan masakanku sampai habis. Terima kasih, mas!"
Aku tak menjawab ucapannya. Padahal harusnya aku yang berterima kasih untuk itu.
"Dimana kamu tinggal?"
"Sultan Syahrir, Menteng."
Beneran kawasan elit. Aku diam tak banyak bicara. Begitu juga Vika yang hanya bisa melirikku sesekali. Ia terlihat agak takut tapi tetap kukuh pada pendiriannya.
Vika memintaku berhenti disebuah rumah mewah. Benar seperti yang Vika bilang, harus sedikit direnovasi. Cat pagarnya sudah mulai memudar.
"Turunlah dulu, mas! Kumohon..." pinta Vika dengan suara sedih.
Aku menarik nafas berat. Hhh...., baiklah. Sebentar saja.
Vika menarik pagar yang agak sedikit berat.
"Ga usah, aku parkir disini saja. Cuma sebentar!"
Vika menunduk. Kembali menutup pagar garasi dengan suara decitan yang lumayan mengganggu.
"Empat tahun rumah ini kutinggalkan!"
Aku terkejut setelah didalam. Bau lembab, sampah kertas dan dedaunan berserakan. Bahkan beberapa surat bertebaran dihalaman dibiarkan begitu saja.
"Selama ini kamu tinggal disini?"
"Mau dimana lagi, mas? Cuma ini harta benda peninggalan orangtuaku yang tersisa. Lainnya sudah berpindah tangan."
"Dan kamu tinggal beberapa hari disini tidak berniat membereskan gitu? Paling tidak, membersihkannya untuk kenyamananmu juga." Vika hanya diam melihatku geleng-geleng kepala.
"Sungguh aku tak habis fikir. Bisanya kamu tidur dan cuek dengan keadaan rumah ini. Dan lagi, ini rumah mewah lho! Rumahku dan Ranti 10 kali lipat lebih sederhana dari ini tapi lebih nyaman dan indah."
"Aku kehabisan uang, mas!"
"Bersih-bersih ga butuh uang banyak koq! Beli pembersih lantai dan pengharum ruangan yang sachetan bisa khan? Kain pel dari baju bekas bisa kamu gunakan. Hhhh, Vika, Vika!"
Vika menunduk malu. Ia tidak pernah bebersih selama ini karena selalu dibantu para asisten rumah tangganya. Aku tahu itu dari cerita Ranti.
"Engsel pagar garasimu, kamu oleskan minyak sayur.... sekarang!" perintahku membuatnya berlari tergopoh-gopoh.
Aku menggulung lengan kemejaku hingga siku. Membuka sepatuku dan menaruhnya disudut ruangan. Rumah ini tak bisa dibiarkan begini saja kalau ingin mendapatkan penawaran bagus.
Vika sibuk dengan minyak sayur yang masih didalam kemasan yang dia oleskan dengan kuas kecil kesetiap engsel garasinya. Aku perhatikan cara kerjanya yang membuatku geregetan. Lambat.
Aku hampiri Vika. Mengambil kuas ditangannya dengan agak kasar. Kukerjakan dengan teliti dan rapi.
"Tuh, liat khan? Pagarnya sekarang bisa kamu buka tutup tanpa pake banyak tenaga. Juga ga lagi berdecit seperti tadi."
"Iya! Waah, koq bisa ya?! Hebat, mas!" Vika bersorak seperti anak kecil berusia 8 tahun. Melompat dan bertepuk tangan dengan mata berbinar. Berbeda sekali dengan Vika yang pertama bertemu dengan uraian airmata bercerita kebarat-ketimur karena perlakuan suaminya. Aku lebih suka Vika yang versi anak kecil. Manis, polos dan wajahnya ceria.
Tanpa sadar aku tersenyum. Aku mulai berfikir, masuk rumahnya berkeliling. Melihat apa saja yang aku butuhkan untuk membereskan ini semua. Ada tiga lantai. Tidak mungkin dapat kubersihkan semua. Minimal teras, ruang tamu, dapur dan kamar mandi bisa kuhilangkan bau tak sedapnya.
"Dimana minimarket terdekat?"
"Ada didepan sana, mas!"
"Ayo, ikut aku!"
Pertemuan dengan Vika selalu menyebalkan. Tapi kali ini, aku harus bertindak lebih banyak lagi agar Vika tak lagi meminta bantuanku.
Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
‼️n
Walah....pelakot....njengkelke.....nghrrhetke😡😡😡😡
2022-08-31
0
Dhina ♑
Aku Like, tapi mana komenku, waduh 🤦🤦🤦 payah aku nih
2021-08-03
2
BELVA
mangatxzz thoor
2021-01-25
2