Kami berbelanja segala perlengkapan dan peralatan untuk bebersih. Rumah Vika benar-benar harus dibersihkan. Dan aku jadi bersemangat hingga lupa waktu.
Aku dan Vika bekerja bersama-sama walaupun lebih banyak aku yang bekerja ketimbang dia.
Vika adalah anak emas orangtuanya. Hingga tak pernah sekalipun ia menyapu apalagi mengepel lantai. Secara ia adalah anak orang kaya raya. Berbeda jauh denganku yang terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendiri. Bahkan untuk mendapatkan uang pun hasil dari jerih payah keringatku sendiri.
Vika memasak steik dari daging muda yang kami beli di minimarket. Harumnya menyeruak menari-nari dihidungku membangkitkan selera makanku.
Aku terkesima setelah satu gigitan hasil karyanya mendarat dilidah dan kukunyah meluncur lewat ususku. Ternyata akhirnya ada juga kebisaan Vika yang aku acungi jempol. Setelah setengah harian aku memaki, mengumpat dan mengomel bahwa dirinya bukanlah wanita sejati. Karena tak ada satu pun pekerjaannya yang memuaskanku.
"Gimana masakanku, mas! Lumayan khan?!" tanyanya penasaran pada pendapatku. Aku tersenyum tak bisa memungkirinya. Luar biasa enak. Vika ikut tersenyum puas. Kesalnya padaku terobati.
Aku melirik jam ditangan. Pukul 10 malam. Ranti tidak menelpon juga menchat-ku karena ia kira aku sedang sibuk lembur karena sudah mendekati akhir bulan.
"Terima kasih banyak mas, atas segalanya. Aku lega, memiliki kamu disaat-saat susah seperti ini."
Deg. Kata-kata Vika memukul jantungku. Memiliki kamu. Memiliki aku maksudnya? Apa maksud kata-kata itu? Aku menatap Vika garang.
"Aku bukan milikmu. Dan aku membantu karena terpaksa juga! Kamu ini bener-bener membuat aku cepat tua, cepat gila dan cepat mati. Apes aku kenal kamu!" Vika tersenyum kecut. Tapi ia sepertinya sudah mengenalku. Ia tak lagi peduli kata-kata pedasku. Atau memang ia termasuk pribadi orang yang bebal atau cuek tak pedulian. Ah, aku malas memikirkan Vika.
"Aku pulang, jangan lupa kunci semua pintu. Periksa kompor dan juga matikan lampu yang tidak perlu. Ingat kata orang PLN tadi, ini masih di los dari tiang listrik langsung. Jadi berbahaya kalau pemakaian berlebihan."
"Siap, boss! Saya akan ingat selalu nasehatnya. Juga terima kasih semua bantuannya."
Aku bergegas pergi. Diikuti Vika yang mengantar dari belakang. Sekarang rumah Vika sudah terang dengan cahaya lampu listrik. Tak terbayangkan ia tinggal beberapa hari dirumah ini dalam keadaan gelap gulita tanpa listrik sama sekali. Lumayan berani juga. Untung aku punya kenalan pegawai PLN yang bisa dihubungi dan langsung menyambungkan sementara setelah Vika mengurus perpanjangan perjanjian aliran listrik yang sempat diputus 4 tahun lalu.
"Aku coba tawarkan rumahmu di grup properti ya?!"
ujarku sebelum masuk mobil. Vika mengangguk antusias. Matanya berbinar senang walau kutahu tubuhnya paati lelah karena nyaris tak pernah bekerja berat.
"Aku percaya apapun yang kamu lakukan, pasti baik kedepannya untuk aku!"
"Jangan ge-er! Juga jangan terlalu percaya jadi orang! Kalau aku kabur dengan sertifikat rumah ditanganku, kamu bisa jadi gembel!"
"Kamu bukan orang seperti itu, mas!"
"Jangan terlalu boros! Pakai uang yang itu sesuai kebutuhan! Sampai rumahmu laku dan baru kamu bisa foya-foya." Vika tersenyum malu. Ia menundukkan kepala. Aku seperti mengulitinya pelan-pelan. Tapi aku berkata demikian juga untuk kebaikannya. Aku memberinya uang 1 juta saja. Bagi Vika mungkin itu adalah uang jajan permen saja. Tapi bagiku, itu cukup untuk biaya hidup 2-3 minggu kedepan.
"Terima kasih banyak, mas! Hati-hati dijalan, ya?! Salam juga untuk Ranti dan sikecil!"
"Untuk saat ini salammu untuk Ranti tidak akan aku sampaikan. Aku belum akan bilang kalau kita ada proyek sebelum semuanya berhasil."
Mata Vika mengerjap. Entah apa maksudnya. Senang, atau bingungkah dengan ucapanku.
Aku bergegas menarik gas. Melaju diantara ratusan kendaraan lain yang bersliweran dijalan raya. Ini malam sabtu, suasana jalan masih padat meskipun sudah pukul 11 malam kurang.
Hhh.... Aku menarik nafas panjang. Berfikir mengulang kejadian tadi. Kenapa aku bisa jadi membantu segala urusan Vika. Bahkan kini dengan entengnya memegang surat penting rumahnya. Menjanjikannya rumahnya akan cepat laku terjual karena posisinya yang sangat strategis.
Lagi-lagi aku menarik nafas. Berfikir terlalu cepat tanpa perhitungan. Padahal menjual rumah harga milyaran itu bukan seperti menjual makanan siap saji diresto waralaba tempatku bekerja. Hhhh....!!!
Ranti membukakan pintu rumah kami dengan wajah sedikit kusut.
"Malam banget, mas pulangnya!" katanya membuatku merengkuh bahunya pelan.
"Maaf yang! Semua diluar dugaan."
"Ya udah. Kamu udah makan belum?"
"Udah, tapi masih lapar. Kayaknya makan sebungkus mie instan enak kali ya, yang?! E tapi kalo kamu udah ngantuk banget, biar aku masak sendiri. Kamu lanjut tidur lagi sama Jingga."
"Biar aku buatkan. Lumayan juga tadi udah tidur dari jam 9 bareng Jingga."
"Ya udah, makasih ya yang!"
Aku termenung dimeja makan setelah mencuci muka dan mengganti kemejaku dengan kaos oblong lusuh kesukaanku. Menunggu Ranti yang masih sibuk didepan kompor memasakkan mi untukku.
Perutku perut orang kampung. Steik Vika memang lezat. Meski aku makan beberapa potong daging sapi masakannya, tetap tak mampu membuat perutku kenyang.
"Aku ada bisnis baru, yang. Minta doanya ya, biar bisnis ini lancar. Juga semoga apa yang aku inginkan tercapai."tuturku disela menikmati mie racikan Ranti yang tak kalah lezat dari steik Vika.
"Amiin... Aku pasti doain kamu lah, mas!"
"Tapi untuk saat ini aku belum bisa cerita banyak tentang bisnisku ini. Maaf ya,"
"Tapi ini bisnis legal khan? Alias bukan bisnis ga jelas yang membahayakan?" Ranti menekankan pertanyaannya.
"Maksudnya?" aku balik tanya dengan senyum rahasia. Aku faham maksudnya hanya ingin menggodanya saja.
"Maksudnya bisnis barang haram atau bisnis bermasalah gitu, mas!"
"Kamu fikir suamimu ini ceroboh hanya untuk mendapatkan uang gitu?"
"Maaas, bukan gitu. Cuma khawatir aja!"
"Iya sih.... awalnya aku enggan ikut campur. Tapi, kadung terseret. Tapi ini bukan urusan berat koq! Hanya bisnis jual beli rumah. Tapi aku ikut andil masarinnya."
"Ooh...! Hehehe... semangat, mas!"
"Aku ingin memberangkatkan bapakmu dan bapakku pergi umroh. Moga ada jalannya dari sini."
"Amiin, amin ya Allah!"
Malam semakin larut. Aku dan Ranti segera tidur setelah mengobrol ringan. Hubungan rumah tanggaku dan Ranti sudah ditahap tenang. Jauh dari keributan seperti tahun-tahun pertama. Sebentar lagi kami menginjak usia 5 tahun pernikahan. Tak terasa, karena kami menjalaninya dengan senang.
Ranti juga tipikal perempuan yang tidak sulit diatur. Bahkan termasuk perempuan penurut. Bahkan ketika wanita lain berlomba-lomba menyenangkan hati dan diri dengan perhiasan mewah dan barang berharga khas wanita, Ranti justru kukekang keinginannya demi menabung untuk rumah dan kendaraan yang kita punya saat ini. Bahkan untuk makan pun, ia rela menyisihkan uang belanjanya karena harus kupotong untuk tabungan asuransi Jingga sekolah nanti.
Ranti adalah wanitaku paling hebat. Mungkin jika aku tidak beristrikan Ranti, entah apakah mampu diusiaku ke-39 ini memiliki semua ini. Pekerjaan yang mapan, penghasilan yang lebih dari cukup, rumah, kendaraan juga keluarga yang harmonis. Semua karena campur tangan Ranti. Dan aku sangat berterima kasih pada Tuhan yang telah mengirim Ranti sebagai jodohku. Setelah sekian lama bertahun-tahun hidupku yang penuh duka nestapa dan drama menyedihkan, yang aku tak ingin kenang karena pahitnya masih menimbulkan perih dihati.
Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Dhina ♑
Apa begitu anak emas. Kan nantinya dia tidak bisa apa-apa kalau tak pernah mau belajar
2021-08-03
2
Sis Fauzi
hadir membawa lima likes 👍👍👍👍👍 buat kamu Thor ❤️
2021-03-13
2
BELVA
mampir kembali di novel
#gadis imut diantara dua raja
mksh ya ka
2021-01-25
1