Tanyakan Hal Baik

Derasnya hujan telah membuat malam Nabilla terasa sangat menyeramkan, ia tenggelam dalam balutan selimut tebalnya.

Berulang kali Nabilla berusaha menghubungi Axel, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban, entah kemana lelaki itu menghilang.

"Sss aaah," kesal Nabilla.

Ia melepaskan ponselnya, dan menutup kedua telinganya, matanya terpejam kuat, kapan hujan akan selesai.

Kringg ....

Ponsel itu kembali diraihnya, keningnya sedikit berkerut saat melihat panggilan video dari nomor tak bernama.

"Mungkin ini Axel," ucapnya seraya menjawab panggilan.

Nabilla semakin mengernyit saat matanya justru melihat sosok Raffa di layar.

"Hujan begitu deras, apa kau baik-baik saja?"

Nabilla diam, bagaimana bisa lelaki itu mendapatkan kontaknya, dan pertanyaan apa yang dilontarkannya barusan.

"Nabilla."

Duuaar .....

"Aaaaa," jerit Nabilla saat suara guntur begitu deras didengarnya.

Ponsel itu dilempar begitu saja, Nabilla keluar dari balutan selimutnya.

Ia terduduk dengan gemuruh jantung yang tak terkendali, penglihatannya mengeder kesetiap penjuru ruangan.

"Nabilla."

Nabilla menoleh, ia kembali meraih ponselnya, difikir panggilan itu akan berakhir tapi ternyata tidak.

"Are you oke?"

"Kemana Axel?"

"Dia tidak ada di rumah, aku fikir dia ada bersama mu."

Nabilla menelan ludahnya seret, kemana lelaki itu, bisa sekali mengabaikannya.

Tangannya terangkat menyingkap rambut yang menghalangi pandangannya, Nabilla sedikit berkeringat saat ini.

"Nabilla."

"Aku tidak baik-baik saja."

Raffa tampak tersenyum seraya mengangguk, itu jawaban yang sesuai dengan apa yang dilihatnya.

"Kemana yang lain?"

"Orang tua ku sedang di luar Kota."

"Dan kau sendiri saja?"

Nabilla mengangguk, ia meraih selimutnya dan menutupi setengah tubuhnya.

"Tenanglah, jangan berlebihan berfikir tentang hujan deras, itu bukan masalah sama sekali."

Nabilla diam, sejak kecil ia memang takut dengan hujan deras, apa lagi jika ada petir dan guntur yang menyelinginya.

Entah apa alasannya, Nabilla tidak bisa mengerti dan menjelaskan itu, yang jelas ketakutannya tidak bisa dihindarkan.

"Nabilla, apa aku mengganggu mu?"

"Tidak, ada apa?"

"Tidak ada, aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja, hujan yang begitu deras mungkin akan membuat mu ketakutan."

Nabilla kembali menelan ludahnya seret, apa Axel sudah bercerita banyak pada Raffa tentang dirinya.

"Lupakan, apa yang kamu takutkan bukan masalah besar, kita bisa bicara hal lainnya sekarang."

Nabilla mengangguk, ia kembali melihat sekitar kamarnya, hujan yang masih saja bertahan mengguyur Bumi terasa semakin menakutkan.

"Nabilla, kau bekerja?"

"Tentu saja, aku sudah besar dan mana mungkin aku masih minta uang jajan."

"Benar, aku dengar kalau kau adalah seorang CEO."

Nabilla sedikit tertawa, benarkah ada kabar seperti itu yang didengarnya.

"Aku bangga dengan mu, tanggung jawab mu pasti besar."

"Aku belajar dari Papa ku, dan aku bisa karena dia."

Raffa mengangguk, itu memang hebat dalam pandangannya, saat Raffa dipaksa memimpin perusahaan, ia justru menolaknya.

Tapi Nabilla mau menerimanya, Raffa yakin kebebasannya terenggut karena tanggung jawabnya tersebut.

"Nabilla, berapa lama hubungan mu dengan Axel?"

"Tujuh bulan."

"Dan kalian saling mencintai?"

Nabilla diam, mungkin cinta hanya ada pada dirinya sendiri, tapi tidak dengan Axel.

Bukankah cinta yang kerap dilontarkan bukan pada hatinya, melainkan pada tubuhnya saja.

"Nabilla, aku rasa cinta harus ada dari keduanya, hubungan baik akan terjadi jika dalam satu rasa."

"Aku tidak mendapatkan itu."

Raffa mengangguk, lelaki itu terlihat membenarkan posisi duduknya.

Nabilla mengusap keringatnya yang turun ke sisi pipinya, menyebalkan sekali, kenapa Nabilla harus selalu seperti itu.

"Besok hari kerja, kau pasti akan sangat sibuk sepanjang hari."

"Benarkah, tapi sepertinya tidak terlalu, ah aku tidak tahu untuk hari esok."

Perbincangan itu semakin terasa nyaman, bahkan rasa seramnya karena hujan pun mulai terlupakan.

Itu biasa dilakukan dengan Axel, tapi kini saat lelaki itu tidak ada, Nabilla masih bisa mengabaikan rasa takutnya karena keberadaan Raffa.

Banyak sekali yang mereka bicarakan malam ini, dipanggilan pertama mereka semua terasa menyenangkan.

"Apa tidak bisa matikan teleponnya dulu?"

"Ada apa, kau mulai terganggu?"

"Hujan di luar sudah reda, aku sudah berani bergerak, dan sepertinya aku lapar."

Raffa tersenyum, ia melihat durasi panggilan di layarnya, memang sudah terlalu lama mereka bertahan dalam panggilan tersebut.

"Baiklah, aku akan menghubungi mu lagi, jika nanti hujannya kembali."

"Hujan tidak akan kembali, aku harus tidur setelah ini."

"Baiklah, selamat beristirahat."

"Terimakasih."

Keduanya tersenyum, Raffa menutup teleponnya lebih dulu.

Nabilla diam, ia selalu merasa senang setiap kali tersambung dengan Axel ditelepon, tapi kali ini Nabilla merasa lebih tenang karena perbincangannya.

"Memang lapar aku sekarang."

Nabilla tersenyum, ia menyimpan ponselnya dan berlalu keluar kamar.

Langkahnya seketika terhenti saat ia melihat Axel dibalik pintu kamarnya, lelaki itu tampak diam dengan wajah dinginnya.

"Kamu .... Sejak kapan kamu disini?"

"Mudah sekali kau mendapatkan pelarian."

Nabilla mengernyit, jangan bilang kalau Axel mendengar pembicaraannya, bukankah tadi hujan sangat deras.

"Dia mendekati mu juga?"

"Siapa maksud kamu."

"Jangan bersandiwara."

Nabilla berpaling sesaat, entahlah apa yang harus difikirkannya sekarang.

"Axel, aku menghubungi mu berulang kali, tapi kamu tidak menjawabnya."

"Dan sejak tadi aku mengetuk pintu kamar mu."

Nabilla kembali mengernyit, benarkah seperti itu, jadi Nabilla yang tidak sadar dengan kedatangan Axel.

"Aku ...."

"Kau benar-benar ingin putus dari ku?"

"Aku tidak ...."

"Karena ada dia, kamu serius dengan permintaan mu?"

"Axel, aku ...."

Axel tersenyum kecut, ia menggeleng seraya berlalu pergi meninggalkan Nabilla begitu saja.

"Axel, kamu harus dengarkan aku dulu, Axel."

Nabilla berdecak, ia lantas mengejar lelaki yang mulai dirasa memuakan itu.

"Axel, aku minta maaf, aku tidak tahu kalau Raffa akan menelpon ku tadi, Axel."

Langkah Axel seketika terhenti, nasib baik Nabilla tak sampai menabraknya.

"Aku minta maaf, aku tidak tahu dia dapat dari mana kontak aku."

"Raffa yang menghuhungi mu?"

Nabilla diam, Axel tampak berbalik dan menatapnya.

"Jadi lelaki itu yang mengunci fokus mu?"

"Aku fikir ...."

"Aku tidak berfikir kalau itu adalah Adik ku, tapi terimakasih kamu sudah mau jujur tentang itu."

Nabilla kembali diam, apa ia sudah salah berbicara, kenapa perasaannya mendadak gelisah setelah mendengar kalimat Axel.

Jangan sampai Nabilla membuat dua bersaudara itu ribut nantinya, semoga saja Axel tidak akan terlalu mempermasalahkan panggilan tadi.

"Kamu serius mau putus dari ku?"

"Tidak, aku hanya ....."

"Kalau begitu kita ke kamar sekarang."

Axel menarik Nabilla untuk kembali ke kamarnya, meski wanita itu berusaha menolak, tapi tenaganya tak mampu melawan tenaga lelakinya.

"Axel, aku tidak lagi berniat putus, tapi bukan berarti harus seperti ini."

"Aku melawan hujan untuk sampai disini, tubuh ku kedinginan, dan aku butuh kehangatan."

Axel menutup pintu kamar dan menguncinya, Nabilla menggeleng, ia muak dengan keadaan seperti ini yang terulang terus menerus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!