(Dua bulan lalu...)
Prayoga sedang sibuk memilih beberapa jas yang akan dia kenakan untuk acara ulang tahun ibunya nanti malam. Ketika sahabat karibnya—Betari Salim masuk ke dalam kamarnya tanpa basa basi, tanpa mengetuk pintu. Apalagi mengucap salam. Memang Betari Salim ini tidak punya tata krama. Tidak hanya itu, tabiatnya juga buruk. Pantas saja kalau Juan Salim alias kakeknya Betari sering darah tinggi. Yoga pun kalau menjadi Juan Salim pasti bawaannya mau marah-marah terus. Amit-amit. Amit-amit. Amit-amit jabang bayi, deh. Jangan sampai Yoga punya cucu seperti Betari Salim. Bisa-bisa mati cepat dari jadwal.
“Kebiasaan lo. Masuk nggak ketok pintu dulu. Untung gue nggak lagi telanjang.” tegur Prayoga.
Betari tidak menanggapi. Dia lalu duduk di single sofa yang ada di kamar Yoga—yang mana ada di depan jendela besar di kamar itu—yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi dan langit biru ibu kota.
Yoga yang merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. Berbalik untuk mengamatinya sebentar dan benar saja, Betari hari ini terlihat murung seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin sama Datuk Meringih. Memang, sih, sejak putus dengan mantan pacarnya—Vino Risjad, si bejat, Betari tidak seceria dulu. Apa jangan-jangan sahabatnya ini sedang kangen sama si bejat. Dih, nggak banget deh.
“Nape lo, Bet? Kangen mantan?” tanya Yoga akhirnya tidak tahan.
“Amit-amit!” sahut Betari sewot.
“Lah, terus nape muka lo kusut kayak dasternya bi Inem yang nggak pernah disetrika gitu.”
Pandangan Betari menerawang ke luar. Hari ini, langit biru tak terlihat indah dimatanya. “Gue mau dinikahin.” kata Betari.
“Hah?” Yoga memelotot tidak percaya. “Serius?! Menikah?!”
“Hmm.” Betari mengangguk.
“Kok, mendadak banget kayak kabar duka aja.” celetuk Yoga.
Betari tidak menanggapi celetukan Yoga.
“Sama siapa?”
“Nggak tahu.”
Yoga menanggapi dengan cepat. “Hadeh. Gimana sih lo? Mau nikah tapi nggak tahu calonnya siapa. Kalau zonk gimana? Lo nggak tanya? Nggak penasan?”
“Malas gue ngomong baik-baik sama si Juan Salim.” Sahut Betari.
“Terus lo mau gimana?” tanya Yoga yang menjadi simpatik.
“Nggak tahu. Mati aja gimana.”
“Hush! Ngomong tuh jangan sembarangan.”
Betari mendesah kasar. “Gue nggak boleh nolak. Padahal sekarang bukan zaman Siti Nurbaya, tapi masih ada aja nikah paksa. Kakak gue sama Kezia yang umurnya udah tua aja si Juan Salim nggak repot-repot buat nyuruh mereka nikah. Giliran sama gue maksa-maksa.”
“Udah, Bet. Nggak apa-apa. Nggak usah lo pikirin terus. Terima aja dengan lapang dada. Biasanya pilihan orang tua nggak pernah salah.” kata Yoga mencoba menghibur Betari.
“Mending lo bantuin gue milih jas buat acara nanti malam.”
Yoga lalu berkaca melihat jas warna apa yang tepat untuk acara malam ini. Dia harus terlihat ganteng dan keren.
Yoga mencoba jas warna baby blue miliknya.
“Gimana? Ganteng nggak? Keren nggak?” Yoga berbalik memamerkan setelan yang dikenakannya itu kepada Betari.
“Bagus.”
“Bagus doang?!”
“Hmm.
...***...
Umbara baru saja pulang ke rumah orang tuanya, setelah seharian sibuk dengan pekerjaannya di galeri.
Selain membuat patung-patung, Umbara adalah pemilik sebuah galeri seni bernama Taman Jiwa. Galeri seni terbaik di Indonesia itu adalah warisan dari ibu kandungnya—Purbasari Tohjaya yang merupakan putri bungsu dari konglomerat ternama, Prabu Tohjaya.
“Umbara.” suara lembut itu menghentikan langkah Umbara yang akan naik ke kamarnya di lantai dua.
Dia menoleh.
Gendis Atmojo muncul dari arah dapur, membawa semangkuk anggur di tangannya. Sebuah senyum lembut terukir di bibirnya.
Umbara pun menyapa sang ibu.
“Ada sesuatu yang mau papa sama mama bicarakan sama kamu. Selesai mandi kamu ke ruang kerja papa, ya, Bara.” kata Gendis.
“Ya, Ma.” jawab Umbara.
Dua puluh menit kemudian Umbara keluar dari kamarnya menuju ruang kerja ayahnya di rumah. Dia sudah mandi. Wajahnya yang tadi terlihat lelah sudah segar kembali. Lalu kemeja hitam yang tadi dia kenakan sudah diganti dengan kaos putih polos.
Umbara mengetuk ruang kerja ayahnya. Sang ayah menyuruhnya masuk. Dia pun melangkah ke dalam dan menemukan ayahnya—Gading Atmojo sedang sibuk di depan laptop. Sedang ibunya—Gendis Atmojo duduk di sofa yang ada di ruangan itu, membaca majalah pernikahan.
Gading Atmojo lalu menutup laptopnya dan menunjuk kursi di depannya. “Duduk, Bara.”
Umbara duduk pada kursi di depan ayahnya. “Papa sama mama mau membahas apa?” tanya Umbara.
“Papa sama mama mau jodohkan kamu.” Jawab Gading tanpa basa-basi.
Umbara mengerutkan dahinya. “Dijodohkan?”
“Iya. Kamu mau kan, Bara.”
“Kenapa saya harus dijodohkan?”
“Kalau tidak dijodohkan kamu belum mau menikah dalam waktu dekat. Sedangkan papa sama mama kamu ini sudah kepingin nimang cucu. Umur seseorang tidak ada yang tahu.”
Umbara terdiam dan menatap serius kepada ayahnya. Jika sudah menyangkut kalimat ‘umur seseorang siapa yang tahu’ Umbara menjadi takut sendiri. Jujur dia belum siap jika harus kehilangan lagi. Maka dia tidak bisa menolak. Mungkin sudah saatnya Umbara membina keluarganya sendiri.
Semoga keputusannya benar. Lagi pula Umbara yakin pilihan orang tuanya tepat.
“Saya mau dijodohkan dengan siapa?” kata Umbara pada akhirnya.
“Ada, deh.” jawab Gendis Atmojo.
...***...
Monyet! Betari mengerang tertahan. Dia menunduk menatap bagian bawah gaun malamnya. Dia benci menjadi basah.
“Maaf, saya tidak sengaja. Permisi.” kata seseorang yang baru saja menabrak Betari dan menumpahkan minuman ke gaun malam miliknya. Monyet kurang ajar! Apa lo bilang?! Memangnya gue peduli lo sengaja atau nggak. Monyet! Monyet! Monyet!
“Heh!” tangan Betari dengan cepat menarik lengan si monyet yang baru saja akan melangkah pergi.
Si monyet menatap Betari. Sorot matanya dingin dan tidak terbaca.
“Apa.” kata si monyet. Suaranya tersengar tidak ramah.
Dasar monyet. Betari tidak terpengaruh. Dia menatap sengit si monyet.
Menantangnya. Tapi ekspresi si monyet tetap datar.
Monyet sialan! jangan harap urusan ini akan mudah. Lo sedang berhadapan dengan Betari Salim. Bukan mbok Inem, Monyet!
“Eh, Monyet, kalau jalan tuh lihat-lihat, dong. Baju gue kan jadi basah gara-gara lo. This is Gucci!” Betari sengaja menekankan kalimat terakhirnya.
“Saya nggak peduli.” sahut si monyet.
Whatttt! Wajah kesal Betari berubah menjadi semakin kesal. Dia menahan diri untuk tidak menendang monyet di hadapannya itu.
Saat Betari akan membalas kata-kata si monyet. Seseorang berseru memanggil namanya.
“Betari.”
Betari menoleh. Vanila tersenyum menatapnya.
“Lo di sini? Gue sama Milky cariin lo dari tadi.” kata Vanila. “Ayo cari tempat duduk. Udah pada penuh ini.” Lalu Vanila tanpa aba-aba menariknya pergi bersama Milky. Meninggalkan si monyet.
Tidak lama setelah mereka menemukan meja untuk mereka duduk bersama cara ulang tahun Dona Sasongko pun dimulai.
Urusan kita belum selesai, Monyet! Awas lo! Ketemu lagi habis lo!
Sepanjang acara ulang tahun ibu Prayoga, dalam hati Betari terus merapalkan kekesalannya pada si monyet.
Dasar monyetttt!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Amera
Aku tidak terlalu suka kata kasar sih (panggilan hewan ke orang lain), tapi sejauh ini tidak terlalu masalah karena karakternya memang digambarkan demikian. Alur dan pembangunan tokohnya tetap kokoh. Kerja bagus Author/Applaud/
2024-04-17
1
Amera
Owh, jadi Gendis Atmojo apakah ibu tiri, ya?
2024-04-17
0
Amera
Uh, memang tidak sopan sih
2024-04-17
0