(Dua bulan lalu)
Sambil mengencangkan kimono tidurnya, Gendis Atmojo melangkah keluar tanpa sandal, menuju balkon yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya pelan dan berhati-hati, dia mendekati suaminya—Gading Atmojo yang berdiri di sana—memandangi langit yang pekat, rambut keperakan milik suaminya masih sedikit berantakan, tapi dia sudah mengenakan kembali pakaiannya. Angin malam terasa dingin tapi suaminya tidak terpengaruh.
Gendis Atmojo lalu memeluk tubuh suaminya dari belakang. Kepalanya dia benamkan di punggung suaminya yang lebar.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Gendis kepada suaminya. “Ini udah malam. Ayo masuk. Nanti kamu sakit, Mas.”
Gading Atmojo tidak menjawab. Tangan Gading menyentuh tangan Gendis yang melingkari perutnya dengan lembut, lalu mencium punggung tangannya lama sebelum berakhir menciumi jari jemari lentik itu.
Gendis semakin yakin kalau suaminya sedang tidak baik-baik saja. Hampir tiga puluh tahun Gendis hidup bersama Gading, bukankah waktu yang cukup lama untuk saling mengenal?
“Kamu kenapa? Cerita, dong, Mas.” suara Gendis memang lembut. Sedang marah pun Gendis tidak pernah sampai berteriak. Entah ngidam apa ibunya ketika hamil Gendis ini.
Gading Atmojo menghela napas. “Umbara.” Suaranya berat.
“Ada apa dengan Umbara?” tanya Gendis, lagi-lagi dengan suaranya yang lembut.
Ada apa dengan anak kebanggaannya itu? Setahu Gendis, Umbara, tidak pernah membuat masalah seperti adiknya, Jagad—yang lebih sering membuat Gendis sakit kepala.
Umbara sejak kecil memang pendiam, perilakunya sangat baik, cerdas dan selalu bisa membuat Gendis bangga. Umbara memang bukan anak kandungnya, tapi Gendis menyayangi Umbara sama seperti dia menyayangi Jagad.
Bagi Gendis, Umbara adalah anak kebanggaannya.
“Aku rasa, sudah saatnya Umbara menikah. Tahun ini umurnya sudah 35. Tapi, kamu lihat sendiri, kan? dia belum pernah sekalipun terlihat punya pacar.”
“Memangnya punya pacar harus dipemerin. Konyol kamu, Mas. Aku kira kamu punya masalah besar apa sampai murung gini.”
Gading memejamkan mata. “Aku takut desas-desus itu benar.”
Gendis melepaskan tangannya dari tubuh Gading. Jujur saja, Gendis sedikit kesal mendengar ucapan suaminya ini. “Anak kita normal.” tegasnya.
“Aku tahu. Tapi, aku tidak mau mereka terus membicarakannya.” Gading memang sudah muak mendengar gosip tentang anak sulungnya itu. Sebagai seorang ayah dia tidak ingin anaknya dijelek-jelekkan oleh siapa pun.
“Makanya kamu nggak usah dengerin omongan orang-orang, Mas.” sahut Gendis semakin kesal. Dia saja bisa. Kenapa suaminya tidak. Memangnya hanya Gading yang panas telinga mendengar gosip-gosip tidak jelas tentang Umbara. Kalau bisa, Gendis ingin sekali menyumpali mulut orang-orang yang tidak ada kerjaan itu.
“Sudahlah, Mas. Ini sudah malam. Ayo kita tidur lagi.” Kemudian Gendis berjalan masuk ke dalam kamar.
Gading mengikutinya sampai mereka naik ke ranjang, berbaring, dan bersiap untuk tidur.
“Gimana kalau kita jodohin saja.” kata Gading akhirnya, dia memang sudah lama memikirkan rencananya ini.
Gendis menoleh, menatap Gading yang berbaring di sampingnya.
“Dijodohin?” ulang Gendis. Keningnya berkerut. Kenapa suaminya sampai repot-repot seperti ini. Gendis yakin, Umbara hanya belum menemukan perempuan yang disukainya. Desas-desus itu tidak benar. Sekalipun memang benar, dia tidak peduli. Seperti apa pun Umbara, dia tetap anaknya. Anak kebanggaannya. Anak kesayangannya.
“Iya. Kalau nggak dijodohin, aku yakin dia nggak bakal nikah-nikah.”
“Mas, kamu kok gitu, sih sama anak sendiri.” keluh Gendis yang kembali menjadi kesal.
“Aku pengen Umbara menikah, punya anak-anak yang lucu. Biar kita punya cucu. Emang kamu nggak pengen punya cucu?”
Mendengar kata cucu, Gendis pun terpancing. Kalau boleh jujur, Gendis sudah lama ingin menimang cucu. Tapi, selama ini dia hanya berani menunggu. Umbara atau pun Jagad mereka sepertinya belum ingin menikah. Gendis bukan tipe orang tua yang akan mendesak anaknya untuk segera menikah.
“Ya, pengen.” sahut Gendis jujur.
“Makanya, Umbara harus nikah. Sekalian buktiin ke orang-orang kalau anak kita normal.”
“Tapi kalau Umbara nggak mau jangan kamu paksa, Mas.”
Gading menarik senyum. “Iya, Sayang.”
“Mau kamu jodohin sama siapa?”
Gading tidak benar-benar tahu, perempuan seperti apa yang diinginkan oleh anaknya. Tapi, dia punya beberapa kandidat perempuan yang menurutnya cocok bersanding dengan Umbara.
“Gimana kalau sama cucunya om Juan? Kezia atau Arimbi. Mereka umurnya nggak jauh-jauh dari Umbara. Cantik, Pintar, dan, kepribadiannya juga baik.”
Hadeh! Kenapa harus dua perempuan itu?
Gendis menarik napas. Gendis tidak ingin munafik. Kalau memiliki menantu seperti mereka, Gendis mana mungkin berani berhenti mengucap syukur pada Tuhan.
Kezia Choi dan Arimbi Salim. Kalau Gendis adalah seorang HR di perusahaan suaminya. Jelas, dia tidak akan menolak Sumber Daya Manusia berkualitas unggul seperti mereka.
Kezia Choi, hanya dalam waktu dua tahun saja dia sudah bisa membawa perusahaan periklanan milik ayahnya—Daniel Choi, meraih banyak penghargaan internasional. Sedangkan, Arimbi Salim, dia adalah pengacara muda yang juga memiliki segudang prestasi. Banyak kasus besar yang berhasil dia tangani. Kinerjanya di ranah advokasi jelas tidak bisa diragukan lagi.
Tapi.... Umbara. Bukan, dia tidak merasa anaknya tidak pantas untuk mereka atau sebaliknya.
“Kenapa nggak Betari saja?”
Gendis merasa perempuan seperti Betari lebih cocok untuk Umbara.
“Kamu yang bener, dong. Masa mau jodohin Umbara sama tukang buat obar. Yang ada bisa darah tinggi anak kita.”
...***
...
Betari sedang berbicara dengan kucing neneknya—Hello, ketika kakeknya yang selama ini tidak pernah mau berbicara baik-baik dengannya itu, memanggilnya.
“Tari, kamu dipanggil kakek.” kata Arimbi tanpa basa-basi begitu dia menemukan adiknya itu di taman belakang bersama Hello.
Kalau boleh jujur, Betari malas kalau harus menemui kakeknya itu. Paling juga si kakek mau marah-marah. Tapi, perasaan akhir-akhir ini Betari anteng-anteng saja.
“Buruan udah ditungguin mereka di kamar.” seru Arimbi.
Di kamar tidurnya, Juan Salim sedang duduk di sofa, membaca buku bersama istrinya—Widuri Salim yang juga sedang membaca.
Seingat Betari, terakhir dia masuk ke kamar kakek dan neneknya adalah ketika umurnya masih tujuh tahun dan kedua orang tuanya masih hidup. Makanya, Betari lebih akrab dengan ruang kerja sang kakek. Karena sering dipanggil ke sana untuk diomeli.
Widuri Salim tersenyum begitu menyadari kehadiran Betari. Lalu berkata sembari menepuk sisi kosong di sampingnya. “Tari, sini duduk sama nenek.”
Betari pun duduk di samping Widuri Salim. Neneknya itu kemudian mengelus puncak kepalanya dengan pelan, lalu merapikan anak rambutnya yang berantakan ke belakang telinga. Kebiasaan yang sering Widuri lakukan padanya.
“Kakek mau bahas apa sama aku?” tanya Betari. Entah kepada siapa sebenarnya pertanyaan itu dia berikan. Yang jelas Betari merasa aneh atau lebih tepatnya tidak nyaman kalau harus berbicara baik-baik dengan Juan Salim. Beruntung mereka tidak berdua saja.
“Kakek sama nenek mau jodohin kamu.” jawab Widuri tanpa basa-basi. Oh, ternyata Juan Salim juga merasakan hal yang sama dengannya. Baguslah kalau begitu. Betari juga malas kalau harus bicara baik-baik dengan orang seperti Juan Salim ini. Dia lebih suka membuat Juan Salim marah-marah.
“Hah! Dijodohin?” kening Betari berkerut. “Sama siapa?”
“Ada, deh. Kamu mau ya, Sayang.”
“Kalau Tari nggak mau boleh kan, Nek.” cicitnya lirih, takut kalau sang kakek akan menelannya bulat-bulat.
Kan benar. Juan Salim langsung memelototinya. Seperti singa yang siap menerkam mangsanya.
“Sekali-kali kamu nurut sama orang tua bisa.” Juan Salim, si singa kelaparan akhirnya bersuara.
Gawat. Gawat. Gawat
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Amera
Nama-nama tokohnya keren.
2024-04-17
0
Raudatul zahra
nama tokoh² nya keren thorr.. Indonesia banget.. tp kelihatan siih nama² kelas tinggi..
ini cerita nya tentang 2 keluarga konglomerat berarti yaa??
2023-09-21
1