(Dua bulan lalu)
“Haduuuuh,” Widuri Salim memijit kepalanya yang seketika menjadi kram begitu melihat cucu kesayangannya tengah tertidur pulas dengan tubuh telungkup memeluk bantal.
Hari sudah sore, sebentar lagi keluarga Atmojo akan tiba di rumah mereka. Tapi lihatlah kelakuan cucu kesayangannya ini, yang malah asyik tidur. Kalau suaminya, Juan Salim sampai tahu hal ini pasti mengamuk dia.
“Tari, ayo bangun!”
Widuri Salim mengguncang tubuh Betari.
Betari mengerang.
“Ya, Tuhan. Ayo cepat bangun, mandi, ganti baju, calon suami kamu sebentar lagi mau datang.”
“Nggak mau.”
“Ayo, bangun! Nanti kakekmu ngamuk.”
“Biarin aja. Kalau nggak ngamuk-ngamuk bukan Juan Salim namanya.”
Ya, Allah. Kalau Betari bukan cucu kesayangannya, Widuri Salim sudah pasti menjewer kupingnya sampai copot.
“Ayo, bangun!”
Dengan mata mengantuk Betari akhirnya bangun juga.
Sambil mengomel tidak jelas dia pun berjalan menuju kamar mandi.
Setelah mandi Betari pun mencuci wajahnya di washtafel. Dia mengangkat kepala, menatap bayangannya di cermin.
“Mirror, mirror on the wall... Jujurly gue penasaran deh laki-laki seperti apa yang si Juan Salim mau jodohin sama gue.”
“....”
“Kalau sampai zonk awas aja tuh si tua bangka.”
“....”
“Nggak ada maaf. Gue bakal bikin perhitungan.” Betari berkata dengan tegas.
“....”
***
Ketika Betari keluar dari kamarnya dengan pakaian kebaya tradisional berwarna merah yang melekat sempurna di tubuhnya, Widuri Salim tidak bisa berhenti menatap sang cucu kesayangan dengan senyum yang keluar di bibirnya.
“Ya, Tuhan. Tari, sayang. Kamu cantik sekali pakai kebaya ini.”
“Aku nggak suka pakai kebaya ini, Nek.” keluh Betari dengan bibirnya yang mengerut tidak suka dan terpaksa.
Widuri Salim tidak mengindahkan keluhan cucunya itu. Dia menggandeng Betari dan membawanya berjalan selangkah demi selangkah menuju ruang utama di lantai satu.
“Nek, kenapa sih Tari harus dijodoh-jodohin segala. Ini kan bukan jamannya Siti Nurbaya. Aku masih dua lima, cantik dan jelas-jelas bisa cari jodoh sendiri.” Betari mulai ngedumul.
“Hmmm.” Widuri Salim bergumam, sama sekali tidak memperhatikan kata-kata cucunya yang menurutnya tidak penting lagi.
“Aku kan masih ingin bersenang-senang, Nek.” tambah Betari.
“Hmm”
“Kalau orangnya nggak goodlooking gimana, dong?”
“Hmmm.”
“Kok hmm hmm aja sih, Nek. Ini aku serius loh.”
“Udah, deh. Kamu nggak usah rewel. Orangnya ganteng.”
“Ganteng versi nenek emangnya kayak siapa?” cibir Betari.
“Tom Holland, dong. Siapa lagi.” Jawab Widuri Salim dengan bangga.
Betari mengerutkan dahinya. “Emang orangnya mirip Tom Holland?”
“Ya, nggak. Nanti, kamu lihat sendiri aja.”
“Ya, elah. Pokoknya kalau orangnya nggak ganteng Betari nggak mau. Buat mbak Arimbi atau bik Inung, aja.”
“Itu orangnya.” kata Widuri Salim begitu mereka sampai di ruang utama.
Betari terbelalak dan seketika itu, dunia menjadi sunyi.
***
Monyet
Adalah kata pertama yang keluar dari mulut Betari ketika melihat si monyet duduk bersama kakeknya di ruang utama.
“Hush!” Widuri Salim membelalak penuh peringatan. “Language, Sayang.”
Betari sih mana peduli.
Jadi, monyet gila tidak punya tata krama yang menumpahkan champagne di bajunya semalam adalah calon suaminya.
Wah! Ternyata dunia benar-benar sempit.
“Aku kira pangeran Disney mana yang mau kakek jodohin sama aku. Tahunya si monyet ini.” cibir Betari.
Kali ini Widuri Salim tidak tahan untuk tidak mencubit lengan Betari. “Mulut kamu tuh sembarangan.” bisiknya dengan nada tegas.
Widuri Salim membawa Betari mendekati calon suaminya dan untuk pertama kalinya memperkenalkannya pada calon suaminya.
“Tari, Sayang... Ini Umbara calon suami kamu.”
Umbara, alias si monyet menatap Betari dan berdiri memberikan tangannya hanya untuk mencoba terlihat sopan. Hatinya merasa tidak senang.
Kenapa harus perempuan ini?
Kenapa harus si monyet ini, sih?
***
Esok harinya, Betari tidak tahan untuk bercerita pada sahabat-sahabatnya. Prayoga dan Vanila.
Saat jam makan siang mereka pun berkumpul di sebuah kafe di pusat kota.
“OMG OMG jadi calon lo Umbara Atmojo.” ujar Prayoga kepada Betari dengan tidak percaya.
“Sumpah demi dedemit! Lo dijodohin sama Umbara?!” kata Vanila tidak kalah terkejut. “Umbara Atmojo anaknya Gading Atmojo yang pemahat terkenal itu?”
“Wait!! Emang dia pemahat?—“ tanya Betari dengan kening berkerut. “dan terkenal ?” Tentu saja Betari hanya tahu Gading Atmojo sebagai salah satu pengusaha terkenal dan tidak tertarik dengan kehidupan pribadinya apalagi tentang anak-anaknya.
“Gila ya lo, Bet! Masa lo nggak tahu latar belakang calon suami sendiri. Umbara Atmojo tuh lumayan terkenal di kalangan kita. Lo beneran nggak tahu dia?” komentar Vanila.
Betari menggeleng. “Kalian kan nggak ada yang pernah ngomong tentang si Umbara ini.”
Betari menatap Vanila dan Prayoga yang duduk di hadapannya.
“Pernah, deh, Bet. Lo aja yang lupa.” jawab Vanila.
“Emang keluarga lo nggak ada yang menyebut-nyebut soal dia apa?” tanya Prayoga.
“Gue yang nggak dengerin.” sebenarnya Betari memang tidak fokus mendengarkan ketika neneknya menjelaskan soal calon suaminya semalam. Karena dia sibuk mengumpati nasibnya yang buruk. Bagaimana tidak buruk? Dua bulan lagi dia harus menikah. Padahal dia masih ingin bersenang-senang dan yang lebih buruknya lagi umurnya masih dua puluh lima—masih sepuluh tahun dari targetnya menikah.
“Lah gimana sih lo, Bet!” tegur Vanila.
“Udahlah, kayak penting aja. Selama dia kaya gue sih nggak masalah. His last name is Atmojo, kan?” Betari tahu keluarga Atmojo adalah salah satu keluarga konglomerat. Jadi menikahi Umbara Atmojo bisa juga disebut sebuah keuntungan. “Lagi pula si Umbara ini tampangnya lumayan.” tambah Betari.
Vanila dan Prayoga melotot. “Lumayan!?”
Betari mengangguk.
“Umbara Atmojo lo bilang lumayan?!” tanya Prayoga. “Terus gue apa dong, Bet?!”
Betari menatap Prayoga dengan bingung.
“Ya ampun, Bet! Dia tuh ganteng banget. Kemarin gue sempat liat dia di pesta ulang tahunnya tante Dona. Asli ganteng banget. Masa lo bilang lumayan. Mata lo perlu di bawa ke dokter!” sahut Vanila, geleng-geleng. “If i were you, ya Bet. Gue sih bakal sujud tujuh kali kalau perlu sampai jidat gue bengkak sekalipun gue rela.” ujarnya kemudian.
“Lebay lo, Van.” seru Betari. “Coba aja lo tahu kelakuan dia yang nggak ada akhlak itu.”
“Nggak ada akhlak gimana maksud lo?” tanya Prayoga. Dia menatap Betari. “Setahu gue, Umbara itu orangnya baik dan sopan. Banyak loh ibu-ibu yang pengen jodohin anak perempuannya sama dia.”
“Gue sih belum pernah dengar gosip aneh-aneh soal dia, kecuali soal dia yang gay.” sahut Vanila.
“Gay?” tanya Betari.
Vanila dan Prayoga melihat satu sama lain sebelum ada yang menjawab. “Sebenarnya, ini gosip lama, tapi akhir-akhir ini gosip ini kembali ramai. Ada yang bilang kalau Umbara itu gay.” ujar Prayoga. “Lo tahu kan Baron Adiningrat yang mantan pembalap motor GP itu? Dia itu yang disebut-sebut pasangan gay-nya Umbara. Katanya Melinda mantan istrinya Baron pernah mergokin mereka lagi main di hotel, makanya dia minta cerai.”
“Ada juga yang bilang kalau dia punya brondong nggak cuma satu atau dua.” tambah Vanila. “Terus semuanya masih anak sekolah.”
“Ini semua cuma gosip, Bet. Lo jangan—“
Betari memotong kalimat Prayoga. “Kalau dia gay bagus dong.” ujarnya.
Betari terdiam. Kalau gosip itu benar. Maka urusan pernikahannya dengan Umbara Atmojo akan menjadi semakin mudah. Betari pikir, dia bisa mengaturnya. Hanya cukup menjadi istri yang baik di depan semua orang. Itu mudah bukan?
.
.
Hi! I am back!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Amera
Mungkin lebih baik untuk menggunakan huruf miring pada kalimat seperti 'ketidaksukaan' atau 'perasaan' untuk menunjukkan penekanannya terhadap ketidaksenangan tersebut atau 'perasaan' karakter untuk membuatnya tampak lebih dramatis.
2024-04-17
1
Amera
Setuju....
2024-04-17
1
Raudatul zahra
seriusan Umbara Gay?? jangan dong thoorr.. yg lurus² aja yaa
2023-09-22
2