FIRASAT

...***...

Raden Surya Biantara saat itu telah sampai di desa Bendung Pasa. Kedatangannya disambut dengan sangat meriah oleh mereka semua, tentunya itu membuat Raden Surya Biantara sangat senang. Siapa yang menduga jika akan disambut seperti itu oleh mereka semua.

"Selamat datang di desa bendung pasa Raden." Dengan senyuman ramah, dan memberi hormat ia menyambut kedatangan Raden Surya Biantara.

"Terima kasih tuan, sambutannya sangat meriah sekali." Matanya melihat orang-orang yang berkumpul di sana. "Saya hanyalah utusan saja, maaf jika ayahanda tidak bisa hadir, karena ada beberapa masalah yang harus diselesaikan."

"Sama-sama Raden." Balas. "Meskipun Raden hanyalah utusan dari sang Prabu? Tentunya kami memahaminya." Senyuman itu memang terlihat sangat ramah, tidak ada masalah yang ia pendam.

"Syukurlah jika tuan mengerti, namun saya nanti berharap jika ayahanda Prabu bisa datang ke sini." Tentu ia harus memilih kata yang tepat untuk mewakili ayahandanya.

"Kalau begitu silahkan masuk Raden, anggap saja ini adalah ungkapan kebahagiaan kami, terima kasih karena telah datang sebagai perwakilan dari Gusti Prabu."

"Mari masuk dinda, ananda santika jayanti." Raden Surya Biantara mengajak anak dan istrinya untuk masuk ke dalam rumah yang telah disiapkan oleh mereka untuk beristirahat.

"Karena Raden beserta keluarga baru saja tiba di sini." Ia memberi kode pada yang lainnya agar memberi ruang pada mereka agar masuk ke rumah itu. "Untuk sementara waktu Raden beristirahat di sini, acaranya akan dimulai nanti malam." Ia membuka pintu rumah dengan sangat sopan, mempersilahkan tamu untuk masuk. "Pasti Raden beserta keluarga sangat lelah setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh."

"Terima kasih tuan." Raden Surya Biantara senang dengan jamuan mereka. "Jika dirasakan memang seperti itu, kalau begitu kamu ini istirahat sampai menjelang malam, nanti kami akan datang bersama-sama ke tempat acara." Ia melihat ke arah putrinya yang kelelahan.

"Baiklah kalau begitu Raden." Ia memberi hormat. "Nanti ada beberapa pembantu dan prajurit yang akan membantu Raden, menyiapkan beberapa hidangan sebelum datang ke tempat acara."

"Saya ucapkan terima kasih sekali lagi tuan, sambutan ini sangat luar biasa." Raden Surya Biantara merasakan keramahan yang sangat luar biasa atas sambutan itu.

"Kalau begitu saya pamit Raden, sampurasun."

"Rampes."

Setalah itu lurah Mugeni pergi dari sana, membuatkan keluarga Raden Surya Biantara beristirahat sejenak.

...**...

Di sebuah perkumpulan kelompok kegelapan yang menerima tugas membunuh.

"Target kita telah sampai di desa ini, artinya malam ini kit a mulai bergerak dengan rencana yang teah kita susun."

"Ya, itulah tugas yang kita dapatkan dari Gusti Putri."

"Kalau begitu kita lakukan persiapan."

"Tapi, informasi yang aku dapatkan? Raden surya biantara tidak ahli dalam ilmu kanuragan, bagaimana mungkin dia bisa membunuh banyak orang dalam satu malam?."

"Kau tidak usah banyak berpikir, lakukan saja permintaan Gusti Putri." Sorot matanya terlihat sangat jelas bahwa ia sangat takut. "Kau jangan mencari kematian jika kau gagal melakukan tugas itu."

"Baiklah, ika memang seperti itu perintahnya? Tentu saja kita harus melakukan itu."

Ya, ia sangat takut dengan kemarahan yang dimiliki oleh tuan Putri, karena itulah ia harus melakukan tugas itu dengan sangat baik, ia masih sayang dengan nyawanya.

...***...

Di tempat persembunyian yang sangat rahasia.

Mereka semua hanya menunggu kapan anak buah mereka akan segera bertindak. Tapi untuk saat ini mereka sedang mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

"Jika rencana kita berhasil dengan sukses di desa bendung pasa? Maka selanjutnya adalah, menghukum mati Raden surya biantara." Ada ambisi dan kebencian yang mendalam darinya?.

"Hukum mati? Apakah Gusti Putri yakin? Bukankah Gusti Putri sangat mencintainya?." Nada bertanya itu seakan-akan meragukan orang yang ia tanyai.

"Aku memang sangat mencintainya." Untuk sejenak ia terlihat sangat ragu. "Tapi dia lebih mencintai wanita lain." Hatinya sangat sakit mengingat itu semua. "Sehingga aku ingin membunuhnya, saking besarnya rasa cinta yang aku miliki kepadanya." Kemarahan yang sangat luar biasa ditunjukkan pada mereka semua, sehingga dapat merasakan kemarahan itu.

"Ahaha!." Suara seorang laki-laki tertawa dengan sangat kerasnya. "Kau ini bicara apa putriku?." Ia merasakan ada yang ganjil dengan sikap anaknya. "Jika kau memiliki perasaan cinta kepadanya? Maka kau harus memilikinya, bukan malah sebaliknya, itu sangat aneh sekali." Ia tidak bisa menghentikan tawanya.

"Itulah ungkapan rasa cintaku ayahanda." Tuan putri malah tersenyum aneh ketika berbicara seperti itu. "Jika dia mati di tanganku? Maka tidak ada yang bisa mendapatkan cintanya selain aku." Sorot matanya semakin tajam ketika membayangkan bagaimana ia melakukan itu.

"Selera Gusti Putri ternyata sangat mengerikan." Ia bahkan menghela nafasnya ketika mendengarkan ucapan anaknya yang tidak biasa.

Mereka hanya memakluminya bagaimana perasaan benci Gusti Putri terhadap Raden Surya Biantara. Tapi apakah ia akan melakukan itu?. Hanya Gusti Putri sendiri yang mampu menjawab pertanyaan itu.

"Kita tidak usah memberi belas kasihan kepada orang yang tidak mencintai kita, segera saja eksekusi mereka, bunuh mereka semua dengan menggunakan namanya." Saat itu ada perasaan yang sangat puas yang ia rasakan. "Supaya dia lebih menderita lagi karena tuduhan telah membunuh orang yang sangat ia cintai."

"Ya, tentu saja kita akan melakukan sesuai dengan rencana." Ia telah melakukan persiapan dengan sangat matang.

Entah apa yang mereka rencanakan pada saat itu akan tetapi sepertinya itu sangat tidak baik. Sebenarnya rencana apa yang mereka lakukan terhadap Raden Surya Biantara?. Mereka tidak memiliki hati nurani.

...***...

Di sisi lain.

Raden Sahardaya Biantara saat itu baru saja kembali dari luar. Sebagai putra kedua dari seorang raja yang terkenal tentunya ia harus kembali ke istana untuk menjalankan kewajibannya. Kewajibannya saat ini adalah menjaga keamanan istana dari ancaman musuh yang berasal dari luar ataupun dari dalam.

"Selamat datang kembali putraku." Mata sang Prabu memastikan siapa yang ada di hadapannya saat itu. "Apakah keadaanmu baik-baik saja? Ayahanda harap kau tidak mengalami kesulitan selama berada di sana." Itulah yang ditanyakan Sang Prabu pada putranya.

"Salam hormat saya ayahanda prabu." Ia memberi hormat. "Berkat doa dari ayahanda dan ibunda, keadaan ananda tentunya baik-baik saja selama berada di sana." Raden Sahardaya Biantara terlihat begitu tenang. "Jika ada kesulitan, tentunya ananda akan mengatasinya dengan sangat baik." Dari senyumannya memang terlihat sangat jelas bahwa hasil itu ia dapatkan. "Jika tidak ada kesulitan, mungkin ananda tidak akan tinggal berada di dunia fana, pastilah itu adalah surga di mana tidak ada seseorang yang mengalami kesulitan apapun untuk memenuhi kebutuhannya ayahanda." Ia masuk sempat bercanda.

"Baiklah." Prabu Kencana Biantara hanya menghela nafasnya dengan pelan melihat kelakuan anak bungsunya yang memiliki jiwa humor berbeda di istana. "Kalau begitu kau beristirahatlah di wisma putra Raja, setelah ini ayahanda ingin mendengarkan semua cerita darimu."

"Baiklah ayahanda prabu." Ia kembali memberi hormat.

"Kalau begitu ibunda akan menemanimu untuk beristirahat." Ratu Saraswati Tusirah berjalan mendekati anaknya, senyumannya sangat mengembang dengan anggun ketika melihat anaknya telah kembali.

"Terima kasih ibunda." Ia juga tampak senang. "Ananda sangat senang sekali jika ditemani oleh ibunda yang sangat cantik ini."

"Apakah kanda mendengarnya? Jika putra kita telah berani menggoda ibundanya sendiri." Ratu Saraswati Tusirah bahkan terkesima dengan rayuan anaknya itu.

Saat itu terdengar gelak tawa antara mereka sebagai keluarga yang sangat bahagia. Siapa yang menduga jika Ratu Saraswati Tusirah memiliki jiwa humor yang sangat tinggi.

"Kau berani menggoda istriku sahardaya biantara?." Dalam tawanya sang Prabu bertanya seperti itu. "Kehebatan apa yang kau miliki sehingga kau berani melakukan itu?." Meskipun bercanda namun itu seperti nada ancaman yang tidak main-main.

"Ampuni hamba Gusti Prabu." Raden Sahardaya Biantara memang pangeran yang suka bermain sandiwara. "Tentunya hamba tidak akan berani menggoda istri Gusti Prabu."

Kembali mereka tertawa melihat sandiwara singkat itu. Bahkan para emban dan para prajurit yang berada di sekitar itu berusaha menahan tawa mereka. Sungguh sangat lucu sekali atas apa yang mereka lakukan saat itu, mungkin saja itu adalah ungkapan kerinduan antara anak dan orang tua setelah sekian lama tidak bertemu.

...***...

Malam telah datang.

Raden Biantara dan keluarganya telah sampai di tempat acara yang diselenggarakan. Terdengar suara musik yang dilantunkan dengan sangat merdunya. Banyak warga desa yang datang di sana, tentunya mereka ingin menikmati alunan musik yang diselenggarakan.

"Selamat datang Raden, silakan duduk."

"Terima kasih atas jamuan ini tuan."

"Sama-sama Raden, anggap saja ini adalah ungkapan rasa syukur kami, rasa bahagia yang ingin kami sampaikan kepada keluarga istana, yang telah memberikan kami kesempatan untuk membajak sawah di kerajaan yang sangat subur ini."

"Kami dari pihak kerajaan juga mengucapkan terima kasih atas jamuan ini, semoga dengan adanya acara ini hubungan kita semakin dekat."

"Semoga saja seperti itu Raden."

Hanya seperti itu harapan mereka pada malam itu. Sungguh acara yang sangat meriah yang diselenggarakan oleh mereka semua. Katanya acara itu untuk ungkapan rasa bahagia mereka karena akan mendapatkan hasil panen yang sangat melimpah. Mereka semua menikmati alunan musik dan tari-tarian yang dimainkan oleh para penari dengan sangat indahnya. Namun pada malam itu mereka tidak mengetahui sama sekali jika mereka telah diincar oleh beberapa orang yang memiliki niat buruk terhadap mereka semua. Termasuk Raden Surya Biantara yang sedang menikmati acaranya. Pada saat itu ia tidak menyadari jika ada ancaman yang mengincar dirinya beserta keluarganya. Sungguh itu semua di luar dugaan.

...***...

Raden Sahardaya Biantara saat itu sedang bersama ibundanya Ratu Saraswati Tusirah.

"Rasanya nananda sangat merindukan ibunda ketika berada di sana." Dari sorot matanya terlihat sangat jelas. "Nanda ingin segera kembali, namun nanda belum bisa menyelesaikan tugas nanda di sana." Kali ni terlihat sangat jelas bagaimana kerinduan itu hendak ia ungkapkan. "Sangat disayangkan sekali ibunda."

"Jangan sedih seperti itu anakku, ibunda juga sangat merindukan nanda, hanya saja ibunda tidak berani mendatangimu." Ratu Saraswati Tusirah tentunya sangat sedih karena jauh dari anak bungsunya. "Tapi untuk saat ini ibunda sangat senang karena kau telah kembali anakku."

"Nanda juga begitu ibunda."

Malam itu Raden Sahardaya dan Ratu Saraswati Tusirah saling melepaskan kerinduan yang mereka rasakan sebagai hubungan anak dan ibu.

...***...

Sementara itu, di ruangan yang gelap, seorang wanita terlihat sedang duduk dengan tenangnya. Senyumannya memang tidak terlihat di dalam kegelapan, namun siapa yang melihat itu akan langsung memilih untuk melarikan diri dari sana saking seramnya senyuman itu.

"Malam yang indah, namun aku telah kehilangan wujud kekasih yang aku impikan." Entah kenapa saat itu ia ingin membacakan syair yang sangat dalam akan sebuah masalah yang akan terjadi. "Kau dulunya adalah matahari dan bulan yang ingin aku miliki." Hatinya berkata seperti itu. "Di kala siang hari kau seperti matahari yang menghangatkan aku dengan senyuman dirimu, namun saat malam kau bagaikan bulan yang dapat memberikan cahaya walaupun redup." Wanita cantik itu benar-benar mengungkapkan apa yang ia rasakan. "Namun semuanya sirna begitu saja ketika kau menemukan pendamping lain, padahal aku adalah rotasi dirimu yang sesungguhnya, tapi kenapa kau malah memilihnya?." Rasa sakit yang sangat dalam.

Sementara itu di sisi lain.

Deg!.

"Perasaan apa ini?." Dalam hati seorang pendekar wanita bertopeng hitam merasakan sesuatu. "Kenapa aku merasakan jika masalah desa ini akan segera datang." Dalam hatinya sangat gelisah dengan firasat buruknya. "Aku harus segera memeriksa apa yang terjadi di desa ini, apalagi aku merasakan perasaan tidak beres mengenai acara pesta itu." Ada perasaan cemas yang terselip di hatinya ketika ia ingat hawa hitam yang berada di lokasi acara itu. "Aku tidak akan membiarkan orang jahat melakukan tindakan kejam di desa ini." Dalam hatinya saat itu telah bertekad bahwa ia tidak akan pernah mengabaikan firasat buruknya.

Kembali ke masa itu.

"Guru, aku melihat ada awan merah yang sedang menggulung di hutan rawan, apakah terjadi seseuatu di sana?." Dengan raut wajah yang polos ia berkata seperti itu."

"Aku tidak tahu, tapi kita lihat di sana ada apa." Balasnya.

"Baiklah."

Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bagaimana situasi hutan itu, darah membanjiri tanah itu.

"Ternyata di sini baru saja terjadi perang." Matanya sampai melotot lebar saking ngerinya pemandangan di sana.

"Bagaimana mungkin kau bisa melihat awan mengerikan di sini?." Batik Kuat, nama lelaki setengah tua melihat tidak percaya. "Apakah kau menyadari sesuatu?."

"Firasat aku yang mengatakan itu guru, bahkan aku dengan sangat jelas bagaimana mereka mati karena perang di sini."

Deg!.

"Kalau begitu kau harus menggunakan kekuatan yang kau miliki untuk kebaikan, haram sekali hukumannya jika kau tidak menjaganya dengan baik." Ada rasa cemas yang menyelimuti hatinya.

"Baiklah, jika memang seperti itu guru." Dengan sangat patuh ia mengiyakan ucapan gurunya.

Kembali ke masa ini

"Kali ini hawa gelap itu sangat kuat, bahkan ada aroma darah di sana." Dalam hatinya sangat merinding dengan pandangannya. "Rasanya aku tidak ingin melihatnya, tapi muncul begitu saja." Dalam hatinya sebenarnya sangat kesal. "Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja." Dalam hatinya sangat cemas.

Next.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!