Di meja makan yang nampak ramai karena ayah, ibu, dan adiknya sedang mengobrol, Carlos dan Irene pun datang, lalu ikut bergabung. Mereka bersiap untuk makan.
Sebelum makannya dimulai, tiba-tiba Nosi bertanya, "Di mana Misya? Apa kalian tidak mengajaknya?"
Dari tadi, Misya terus berada di kamar setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur milik Irene yang ada di gudang belakang. Ia tidak pernah keluar lagi dan tidak bersikap sok akrab lagi pada Nosi.
"Irene, coba panggil sepupumu kemari!" ucap Nosi yang sedikit berbeda. Sikapnya tidak sebaik dan seramah biasanya.
"Ah, ya!" Irene pun mengerti. Ia bangkit berdiri, bersiap kembali ke lantai dua untuk memanggil Misya.
Dari sampingnya, tiba-tiba Carlos memegang tangan Irene dan menghentikan langkahnya yang akan pergi memanggil Misya.
"Biar aku saja!"
"Eh ...." Irene terdiam.
Nosi pun tidak menanggapi ucapan putranya, tidak pula menyuruh Irene kembali duduk. Ia hanya terdiam sambil menunggu satu orang lagi untuk memulai makan malam.
"Duduklah!" Kali ini Carlos yang menyuruh Irene untuk duduk.
Carlos pun bergegas naik ke lantai dua, lalu mengetuk pintu kamar yang ada di samping kamarnya untuk memanggil Misya.
Di meja makan, Nosi, suami dan putrinya terdiam sambil menunggu Carlos dan Misya turun. Irene pun terdiam dengan perasaan canggung.
"Mama! Kenapa kita harus menunggu si Misya itu? Memangnya dia itu siapa? Tuan putri? Harus dipanggil-panggil segala untuk makan! Apa dia tidak bisa turun sendiri?" ucap Claudia—adik Carlos yang berusia 24 tahun—dengan kesal.
Claudia yang sudah kelaparan, masih harus menunggu sampai saudara sepupu Irene itu turun.
"Husss! Jaga bicaramu! Walau bagaimanapun, ayahnya sudah berjasa bagi keluarga kita. Sandi membantu menyelamatkan nama baik kita setelah batalnya pernikahan kakakmu dengan Angela! Selain itu, Misya merupakan saudara sepupu dari kakak iparmu!" ucap Nosi sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Mengisyaratkan putri bungsunya untuk segera diam.
"Hanya anak seorang sopir, tapi laganya sudah seperti tuan putri saja! Aku yang seorang tuan putri asli di rumah ini, tapi tidak semanja itu!" balas Claudia dengan kesal.
Dari arah tangga, terlihat Carlos dan Misya berjalan beriringan. Misya terus menuduk sambil memegang pakaiannya yang terasa tidak nyaman.
"Idih, apa itu? Kenapa ada gembel di rumah kita?" cibir Claudia sambil melihat pakaian yang dikenakan oleh Misya.
Pakaian tidur selutut yang sudah lusuh itu, Nosi ambil dari koper milik Irene yang belum dibuang. Nosi memberikannya pada Misya karena tadi dia yang memintanya pada Irene.
Mau menolak, dirinya tidak bisa. Misya takut diusir oleh Nosi kalau dirinya tidak segera memakai pakaian jelek itu.
Padahal dulu, semua pakaian yang susah tidak dia pakai akan langsung diberikan pada Irene. Misya pun selalu mengejeknya sebagai gembel yatim piatu. Dan sekarang, Claudia mengatai Misya sebagai gembel. Hati Misya sangat sakit dan terhina.
"Sudahlah! Bukankah kau lapar? Ayo, cepat makan!" ucap Nosi pada Claudia.
Nosi tidak ingin anaknya menjadi orang yang pandai menjelek-jelekan orang lain.
"Ayo, Irene ... Misya, kalian harus makan yang banyak. Jangan sampai kalian kurus selama berada di sini," ucap Tuan Carvin sambil menunjuk semua makanan yang ada di meja makan.
Setelah itu, mereka pun mulai makan.
Malam ini, Misya tidak banyak bertingkah. Ia terdiam sambil menyantap makanannya dengan perasaan yang tidak enak. Ia pun segera kembali ke kamar setelah makanan di piringnya habis dimakan.
Setelah Misya pergi, Claudia pun merasa lega. "Syukurlah, dia sadar diri, langsung pergi setelah makannya habis! Aku tidak nyaman makan satu meja dengan orang asing seperti dia!"
"Eh, Sayang! Kau tidak boleh berkata seperti itu. Sudah Mama bilang, Misya itu anaknya Sandi. Kita harus memperlakukannya dengan baik layaknya keluarga sendiri!" balas Nosi yang juga sudah selesai makan.
Nosi tidak langsung pergi. Ia menanggapi putrinya berbicara.
"Hah .... Keluarga? Keluarga dari mana?" Rasanya Claudia tidak rela menjadikan Misya sebagai bagian dari keluarganya.
Karena Nosi dan putrinya sedang mengobrol, Irene pun segera pamit, Ia kembali ke kamarnya, sedangkan Carlos masih harus berada di sana karena dia dipanggil oleh ayahnya untuk berbicara.
Malam ini, Irene sengaja tidur di sofa dengan memakai bantal dan selimut cadangan yang ada di lemari. Irene tidak berani naik ke atas tempat tidur walau sebelumnya mereka sudah pernah tidur di atas kasur yang sama—di tenda.
Tidur di sofa pun lumayan nyaman. Irene langsung terlelap karena dirinya sangat lelah.
Hingga di pagi hari, Irene terbangun karena suara dering telepon yang terus berbunyi dari ponselnya. Ia pun meraba meja kecil yang ada di samping kepalanya karena sumber suara itu berasal dari sana.
Ketika ponselnya dilihat, ternyata ada panggilan masuk dari Sandi. Irene yang masih mengantuk pun segera bangun, lalu menggeser tombol hijau pada layar untuk menerima pangilan dari Sandi.
"Halo, Paman!" sapa Irene sambil menyibak selimut. Ia turun dari tempat tidur, lalu menjauh agar tidak mengganggu orang yang ada di sampingnya.
Sambil mendengarkan Sandi berbicara di seberang telepon, Irene pun terdiam. Ia bertanya-tanya, kenapa dirinya terbangun di tempat tidur Carlos dan di bawah selimut tebal milik suaminya? Padahal semalam Irene jelas-jelas tidur di sofa.
Apa semalam aku bermimpi, lalu pindah ke tempat tidur dia, terus tidur di sana?
Sedangkan di sofa, bantal dan selimut tipisnya masih ada.
Ketika dirinya sedang melamun sambil memikirkan apa yang terjadi, tiba-tiba Irene terkejut mendengar ucapan Sandi.
"Jam 10 nanti, pulanglah dulu ke rumah. Ada yang harus kita bicarakan sebelum bertemu dengan orang yang memberimu beasiswa! Jangan sampai, jawabanmu berbeda dengan data yang tercantum di mereka!" ucap Sandi dengan sangat lantang dan tegas.
Hari ini, orang yang membiayai sekolah Irene selama 10 tahu, meminta bertemu di sebuah restoran ternama di kota itu. Sandi pun tidak bisa menolak dan harus menemui orang itu sebelum dermawan itu mencabut dana pendidikan untuk Irene.
Sebenarnya, Sandi sendiri tidak tahu dan tidak pernah bertemu dengan dermawan yang menyumbangkan sebagian dari hartanya untuk biaya pendidikan Irene. Orang itu merahasiakan dan menutup diri agar tidak diketahui oleh siapapun.
Dulu, Sandi hanya meminta Carlos dan ayahnya untuk menyumbangkan uang mereka untuk salah satu korban tsunami yang dia kenal. Ia tidak memberitshu siapapun kalau anak yang menjadi korban itu ialah keponakannya sendiri.
"Oh, hari ini sepertinya aku tidak bisa! Suamiku mengajakku pindahan. Jadi, kami harus beres-beres di tempat tinggal yang baru!" balas Irene dengan jujur.
Sebelumya, Carlos sudah memberitahu Irene kalau mereka akan pindah ke apartemen pribadi. Irene pun masih ingat dengan ucapan Carlos tersebut, jadi ia pikir mungkin hari inidirinya akan pindah ke apartemen.
Syukurlah! Lebih cepat pindah, itu akan lebih baik!
Irene ingin segera pindah dari rumah orang tua Carlos agar ia tidak bertemu dengan Misya lagi.
"Oh, masalah pindah rumah, kau tenang saja. Tuan Carlos orang yang sangat kaya. Ia tidak membutuhkanmu untuk beres-beres di rumah yang baru. Kau tinggal duduk manis sambil melihat orang-orang itu bekerja!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Jayanti
semoga cepet ke buka kedok nya sandi biar si misya makin nggka besar kepala.karena selama ini dia yg makan hak nya irene.
2023-05-11
1
Deriana Satali
Kayanya kedoknya Sandy ke buka deh krn dia jg nggak tahu donatur yg slm ini biayain Irene tp di pake sm dia dan hari ini mereka akan ketemu
2023-05-11
1