Saat sudah duduk di kursi kebesarannya di kantor, itu artinya Sarah harus menyimpan rapat semua urusan pribadinya dan kembali ke mode settingan-nya sebagai seorang sekretaris. Sarah yang enerjik, sarah yang cekatan, sarah yang cerewet, Sarah yang tidak bisa diam, Sarah yang perfeksionis. Sekali pun ada persoalan pribadi yang sedang berkecamuk di dadanya saat ini, dia selalu berhasil menyembunyikannya dan membuatnya selalu terlihat sempurna di mata semua orang.
Orang-orang mengira Sarah adalah gadis cantik dengan sejuta keberuntungan di dalam hidupnya. Punya pekerjaan yang bagus, keluarga yang harmonis, kekasih yang tampan juga kaya raya. Tidak sedikit pula teman kantornya menaruh rasa iri kepadanya karena dia juga setiap hari bisa berdampingan dengan Direktur tampan dan muda seperti Demian. Sarah punya segalanya. Itulah yang orang-orang ketahui.
Namun tidak satu pun yang tahu jika kehidupan asmaranya tidak seindah yang ada di dalam pikiran mereka. Grasian bahkan belum berani memberikan kepastian atas hubungan mereka yang sudah terjalin selama empat tahun lamanya itu. Padahal usia Grasian pun sudah tiga-puluh-dua. Entah kenapa pria itu tak kunjung berani melamarnya. Pria itu juga belakangan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang dengannya. Kencan sekali dua minggu adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan saat ini. Bahkan bisa jadi lebih lama dari itu. Sarah juga sudah lupa apa rasa ciuman mereka, karena Grasian sudah terlalu lama tidak menyentuhnya.
Tidak banyak juga yang tahu jika hubungan ayah dan ibunya tidak se harmonis yang sering mereka tampilkan di khalayak ramai. Ayahnya adalah pria berwatak keras yang tidak jarang membuat ibunya menangis diam-diam di kamar mandi. Sejak kecil Sarah sering memergoki wanita paruh baya itu bersembunyi dan meluapkan sakit hati kepada suaminya. Sungguh hebat jika ayah dan ibunya masih sanggup bertahan hingga saat ini, membesarkan Sarah dan kakak laki-lakinya, Yonathan, yang kini sudah berkeluarga di Singapore.
Pekerjaan Sarah yang kata orang-orang adalah pekerjaan yang paling menyenangkan hanya karena bisa berdampingan dengan Demian setiap saat, nyatanya tidak jarang membuat dirinya frustasi dan tertekan. Dia perfeksionis, namun Demian jauh jauh lebih perfeksionis. Demian tidak mentoleransi kesalahan se-kecil apa pun. Meskipun Sarah bilang tidak disengaja, tetap saja Demian akan mengamukinya. Oleh karena itu, Sarah harus terlatih untuk menjadi sempurna demi Demian. Jika bukan karena Demian adalah sahabat baik kakaknya, dia tidak akan betah berlama-lama di perusahaan itu.
Intercom di meja Sarah berbunyi, membuat jemari panjangnya berhenti menari di atas keyboard PC.
"Sar, ke sini sebentar," suara Demian terdengar pelan namun bernada memerintah. Membuat Sarah langsung berdiri hanya dalam hitungan detik.
Ah iya ... 'Sar' adalah panggilan akrab Demian kepadanya. Karena Sarah adalah adik dari sahabatnya, Demian merasa tidak perlu terlalu formal jika berkomunikasi berdua saja dengan Sarah. Cukup ketika berada di lingkungan formal saja dia memanggil Sarah dengan embel-embel 'Ibu' atau 'Nona'.
Sarah mengetuk pintu ruangan Demian dan suara berat dari dalam mengizinkannya untuk masuk.
"Anda memanggil saya, Pak?" tanyanya sopan, tepat di depan meja pria yang sedang bertopang dagu itu. Saat sarah masuk, Demian sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari layar Mac Book-nya.
"Kontrak kerja sama dengan Pak Joseph sudah di email ke saya, Sar?"
"Sudah, Pak. Apa ada kendala, Pak?" tanya Sarah seakan sudah paham arah pertanyaan Demian hanya dengan melihat raut wajah pria itu
"Beliau minta naik plafon. Tapi aku harus menganalisa kemungkinannya dulu. Jika sudah selesai, aku akan info ke kamu plafon akhirnya berapa."
"Baik, Pak. Saya tunggu. Oh iya, jam sebelas nanti kita ada jadwal bertemu dengan Gottardo Group. Saya sudah atur pertemuan di restoran Cina favorit Bapak. Saya akan siapkan semua dokumen untuk pertemuannya. Apa ada lagi yang ingin Bapak sampaikan?"
"Tidak ada dan remind saya jam sebelas kurang sepuluh. Kau sudah bisa keluar," kali ini Demian menyempatkan untuk melirik Sarah sebentar dan melemparkan senyum kecil.
Sarah mengangguk dan menundukkan kepalanya sedikit untuk berpamitan keluar dari ruangan itu.
"Eh, Sar ...!" belum sempat Sarah menyentuh gagang pintu, Demian sudah memanggilnya lagi. Membuat gadis itu harus berbalik dan kembali maju beberapa langkah mendekati meja pria itu.
"Iya, Pak? Masih ada yang bisa saya bantu?" tanya Sarah seraya tersenyum. Demian memang sering sekali menginterupsi langkahnya. Sebenarnya dia sudah memberikan kesempatan bagi Demian setiap kali dia menanyakan 'ada lagi yang ingin Bapak sampaikan?' atau 'ada lagi yang bisa saya bantu?' agar dia tidak harus bolak-balik ke hadapan bos-nya itu. Namun laki-laki itu seakan menolak untuk mengerti dan tetap mengulanginya hingga saat ini.
"Keperluanku ke Surabaya nanti sudah lengkap?"
Benar kan? Pertanyaan ini bahkan bisa dia tanyakan nanti di sela-sela jam santai kerja. Misalnya saat sedang dalam perjalanan menuju restoran. Meskipun demikian, ingatan Sarah tetap saja melayang dengan cepat ke sebuah koper besar yang ada di dalam kamar pribadi Demian yang ada di ruangan ini. Perlengkapan pribadi dan keperluan pekerjaan selama tiga hari di Surabaya, semuanya sudah tersusun rapi. Tinggal bawa saja.
"Semua sudah beres, Pak. Tinggal diangkut saja," Sarah membuat huruf 'O' dari jari jempol dan telunjuknya. Tidak lupa senyum kecilnya dipasang sebagaimana biasanya.
"Baiklah. Aku tidak perlu meragukanmu. Oh ya, Grasian tadi meneleponku," Demian memberitahu sambil memangku kedua tangannya di dada, lalu menyenderkan punggungnya di sandaran kursi. Sorot matanya tidak lepas dari sosok Sarah yang tidak jauh dari dirinya. Mendengar nama kekasihnya disebut, membuat gadis itu sedikit kaget. Jarang-jarang Demian membahas urusan personal di kantor.
"O ... oh? Menelepon Bapak? Seharian ini dia belum menelepon saya. Bapak pasti berbohong kan?"
"Ohya? Kalian sedang ada masalah?" celetuk Demian santai sambil meluruskan tangan kanannya untuk meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Mengutak-atiknya sebentar, lalu menyerahkannya kepada Sarah.
Sarah menerima benda itu dengan sopan. Demian sudah membuka log panggilan teleponnya. Nama Grasian tertera dengan history panggilan masuk berdurasi sepuluh menit. Demian tidak berbohong dan itu membuat Sarah sedikit gemas. Apa yang mereka bicarakan? Apakah tentang dirinya? Apa wajar jika dia bertanya kepada Demian tanpa membuat dirinya terkesan ingin tahu urusan orang lain?
"Oh ..." Sarah menyerahkan kembali ponsel itu kepada Demian. Sebisa mungkin dia menahan perubahan ekspresi di wajahnya. Kalau tidak, Demian akan mendapat jawaban atas pertanyaannya barusan, yang 'kalian sedang ada masalah?'. Tentu saja ada.
"Kau tida bertanya apa yang kami bicarakan sampai sepuluh menit lamanya?"
Sarah cepat-cepat menggeleng. Membuat tawa kecil keluar dari bibir seksi pria itu.
"Oh, padahal aku ingin memberitahunya," balas Demian lagi sambil mengusap-usap dagunya yang dipenuhi janggut tipis. Biasanya dia tidak tertarik dengan urusan orang lain, tapi mendengar curhatan Grasian tadi, dia jadi ingin mendengar penjelasan versi sekretarisnya itu.
"Tidak usah, Pak. Terimakasih. Saya masih punya banyak pekerjaan di depan. Permisi."
Sarah membalikkan tubuhnya dengan cepat dan buru-buru membuka pintu lalu menghilang dari hadapan Demian yang hanya bisa menganga. Berani sekali Sarah meninggalkannya tanpa permisi.
"Sarah, aku belum selesai. Ke sini!" dia memanggil Sarah lagi dengan intercom -nya. Membuat Sarah yang baru saja menempelkan bokongnya di kursi mengeluh dan mengepalkan tangannya. Kalau itu mengganggu privasinya kan dia berhak untuk tidak menjawab?
"Maaf, Pak. Saya harus mempersiapkan berkas untuk jam sebelas. Sebaiknya anda juga bersiap-siap karena ini sudah pukul sepuluh lebih," Sarah melirik jam analognya sebentar, "dua puluh menit," lanjutnya.
Sarah mematikan sambungan intercom tanpa menunggu jawaban Demian. Biarlah dia dikira tidak sopan. Tapi dia juga tidak bersedia membahas urusan pribadinya dengan direkturnya itu. Meskipun Demian adalah teman kakaknya, Sarah tetap saja menganggapnya sebagai atasannya. Tidak lucu kan kalau kau dan bos-mu mengobrol perihal hubungan asmaramu sendiri? Tapi kenapa Demian begitu ingin menceritakan isi pembicaraannya dengan Grasian? Apa benar mereka membicarakan Sarah?
Demian tersenyum kecil mendengar warning dari Sarah. Dia pun menggelengkan kepalanya guna menghilangkan niat usil tadi dari kepalanya. Lalu dia memperbaiki posisinya dan kembali melihat layar Mac Book. Dia kembali melanjutkan analisanya terhadap perusahaan Joseph. Hm ... haruskah dia menyetujui permohonan itu? Sepertinya tidak akan merugikan siapa pun.
*****
Demian dan Sarah sudah berada di dalam mobil yang akan mengantarkan mereka menuju restoran Cina tempat mereka akan bertemu dengan klien besar mereka. Sarah yang duduk di sebelah Demian di kursi belakang kembali menjelaskan secara singkat profil perusahaan Gottardo Group dan tender yang akan mereka bicarakan.
"Yang akan bertemu dengan kita siang ini adalah direktur utama Gottardo Group, Bapak Halim Subagio. Beliau sangat tertarik untuk menjadikan kita sebagai salah satu kandidat dalam tender yang mereka buat karena peluang profit yang cukup besar. Berdasarkan pembicaraan saya dengan perwakilan Pak Halim, beliau ingin bertemu dengan Pak Demian secara langsung karena Pak Halim adalah putra dari Bapak Hendry Subagio, rekan bisnis ayah anda puluhan tahun yang lalu. Jadi beliau ingin lebih cepat akrab dengan Bapak," jelas Sarah sebentar. Lalu dia membolak-balik lagi kertas yang ada di dalam map yang ia pegang.
"Adapun tender yang akan kita bahas siang ini adalah tender pembangunan Gottardo Hospital yang akan diadakan serentak di limapuluh kota besar. Berdasarkan info dari perwakilan Pak Halim juga, saya mengetahui jika Bapak Halim sebetulnya sangat ingin memberikan kontrak ini secara langsung kepada kita, namun karena ada satu syarat yang jadi kendalanya, mau tidak mau Pak Halim terpaksa membuka tender ini untuk umum."
"Satu syarat? Apa itu? Apa yang tidak kita punya?" harga diri Demian sedikit terluka karena perusahaannya yang nyaris sempurna ini ternyata memiliki satu kekurangan di mata Halim Subagio yang berpotensi membuat sebuah tender besar akan melayang begitu saja. Lagian, dari sekian banyak tender dan kontrak kerja, Demian selalu bisa memenangkannya karena dia dan perusahaannya tidak memiliki cacat apa pun. Lalu mengapa kali ini Gottardo Group seakan-akan menemukan satu kelemahannya?
"Ehm ... itu," Sarah tidak melanjutkan kata-katanya. Dia justru tergelak kecil sambil menutup mulutnya dengan map, membuat Demian mengerutkan kening. Jika Sarah saja masih mampu tertawa karena syarat itu, berarti itu bukan sesuatu yang krusial, batinnya. Lantas apa?
"Katakan, Sarah!" bentak Demian tidak sabaran.
"Bapak baca saja sendiri, saya tidak tega," Sarah menyodorkan lembaran penting itu ke hadapan Demian sembari masih menahan tawa.
Demian menaikkan satu alisnya melihat tingkah Sarah. Dia semakin penasaran dengan syarat misterius itu. Cepat-cepat dia meraih lembaran itu dan membacanya dari atas.
Tuk ... tuk ...
Sarah mengetuk kertas itu tepat di poin penting yang harus Demian baca, sehingga pria itu tidak perlu membuang waktu untuk membaca keseluruhan dari awal.
Seperti dugaan Sarah, Demian marah besar. Pria itu meremas kertas itu dan melemparnya dengan keras ke lantai mobil. Caci maki keluar dari mulutnya karena lagi-lagi harga dirinya seperti diinjak-injak. Sarah hanya bisa diam sambil menyembunyikan tawanya, menunggu sampai kekesalan Demian reda.
"Br*ngsek! Apa yang salah dengan pria single, hah?" Sarah bahkan menjadi tempat pelampiasan amukan Demian. Namun karena ini bukan yang pertama kalinya, Sarah tidak perlu memasukkannya ke hati. Dia hanya harus menahan diri supaya jantungnya tidak copot mendengar suara Demian yang meledak-ledak.
"Batalkan pertemuan ini. Aku sudah tidak mood," perintah Demian kemudian sambil memperbaiki jasnya, bersandar lalu menyilangkan kaki. Raut wajahnya sudah tidak bersahabat. Sarah sangat paham arti raut wajah itu.
"Tapi Pak Halim sudah dalam perjalanan menuju restoran, Pak. Apa tidak lebih baik kita bertemu saja dulu? Barangkali perbincangan kalian menemukan titik cerah," saran Sarah dengan suara yang begitu lembut. Begitu pengertian.
"Tidak perlu. Biarkan dia mencari orang lain," sanggah Demian cepat. Matanya menatap tajam ke luar jendela. Peraturan yang sangat tidak masuk akal. Seakan-akan pria single tidak akan se-kompeten pria yang sudah berkeluarga dalam mengelola sebuah proyek. Sungguh menyebalkan.
"Tapi saya penasaran loh, Pak. Kalau saja tender itu jatuh di tangan kita, itu juga menjadi sebuah peluang besar untuk kita bisa mengembangkan sayap ke seluruh pelosok negeri," Sarah masih belum ingin menyerah. Cukup beberapa kalimat lagi Demian juga akan menyerah seperti biasanya.
"Kau saja yang turun, Sar. Aku tunggu di mobil ..."
Sedikit lagi, Sarah. Ayo pikirkan kata-kata apapun itu! Batin Sarah.
"Ehm ... tapi tadi saya sudah mengkonfirmasi kalau Bapak juga ikut. Bapak nggak takut dicap tidak profesional?"
"Hal seperti itu sudah biasa dalam dunia bisnis. Pak Halim pasti akan mengerti," Demian pun masih teguh pada pendiriannya. Jika Sarah bersikuku ingin tetap bertemu dengan orang tidak jelas itu, maka dia tidak akan melarang. Hitung-hitung dia akan tetap mendapat informasi dari Sarah tanpa harus turun tangan.
"Hmm ... ya sudah, saya akan menemui beliau sendiri. Tapi tolong handphone Bapak stand by ya. Saya takut nanti terjadi sesuatu diluar perhitungan saya."
Wajah Demian berbalik dengan cepat ke arah Sarah. Mengapa dia bisa lupa kalau sekretarisnya itu selalu menjadi pusat perhatian semua tamu-tamunya? Tidak jarang calon klien mereka memujinya secara terang-terangan dan mengajaknya kencan dengan berkedok urusan bisnis. Meskipun Sarah risih dengan perkataan frontal pria-pria dewasa itu, dia biasanya mampu bersikap santai dan tidak terpengaruh. Oleh karena itu jugalah Demian tidak pernah membiarkannya bertemu klien laki-laki sendirian. Seperti halnya hari ini. Hampir saja Demian lupa.
"Ya sudah, aku ikut masuk," putus Demian kesal. Dia membuang napasnya kasar sambil merapikan kembali posisi duduknya. Dia kalah lagi!
Sarah tersenyum penuh kemenangan. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok mobil yang empuk. Menyilangkan kedua kakinya dan memeluk tangan di dada. Persis meniru gaya duduk Demian. Meskipun Demian galak, tapi dia selalu menepati janjinya pada Yonathan, kakak Sarah. Demian berjanji akan menjaga Sarah selama gadis itu bekerja di perusahaannya. Ah, kali ini dia harus berterimakasih pada Yonathan. Sungguh, Sarah sangat ingin tender besar itu jatuh ke tangan Demian.
*****
NB : Jangan lupa dukungannya lewat like, comment dan vote yah. I love you 🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Sri Ningsih
dari apk GN langsung cus dimari ... ternyata ad krya kak oot dimari ...happy happy happy
2022-12-06
0
adisty aulia
Menikah diusia lebih matang... siapa takut😉😉
2021-12-18
0
Khairil Anwar Peni
Belum apa2, udah mulai konflik
2021-09-02
0