Kandidat terbaik.

Mobil Demian berhenti tepat di pekarangan rumah besar yang tidak lain adalah milik orangtuanya. Dari luar dia bisa melihat suasana di dalam rumah masih terang benderang. Itu artinya orangtuanya belum tidur. Demian melirik jam tangannya, sudah jam sepuluh malam. Demi membicarakan hal yang katanya sangat penting dengannya itu, kedua orang tua paruh baya itu bela-belain belum masuk ke kamarnya.

Demian turun dari mobilnya. Menekan tombol remote dan berjalan menuju pintu utama dengan langkah sedang. Sudah satu bulan dia tidak pulang ke rumah besar ini. Pekerjaannya yang banyak membuatnya lebih suka menetap di apartemen fasilitas perusahaan. Kebetulan apartemen itu cukup dekat dengan kantor, jadi saat dia lembur tidak terlalu masalah karena dia tidak perlu pulang jauh-jauh.

Demian tidak perlu menunggu lama sesudah dia menekan bel karena seorang asisten rumah tangga sudah langsung membukakan pintu besar itu untuknya. Demian menyapa ramah orang itu sambil menanyakan keberadaan orangtuanya.

"Demian!" tahu-tahu yang ditanya sudah muncul di hadapannya dan meneriakinya seperti anak yang hilang bertahun-tahun lamanya. Mariana, ibunya, langsung menghambur memeluknya.

"Bisa mama kurangi kebiasaan berteriak seperti itu? Nanti orang mengira ada apa-apa di rumah ini," protes Demian sambil balas memeluk mamanya. Wanita tua itu masih tetap cantik meskipun usianya sudah hampir menginjak enam puluh tahun.

"Memang ada apa-apa kan? Anak kandung mana yang lupa pulang ke rumah selama satu bulan lamanya??" balas Mariana sengit sambil menggamit lengan anak lajangnya itu menuju ruangan keluarga. Disana suaminya, Gilbert, sudah menunggu Demian.

"Sepertinya memang topik pembicaraan kita sangat penting sampai-sampai pria tua ini pun belum tidur, padahal sudah jam segini," canda Demian sambil memeluk papanya. Tidak ada sedetik kepalanya sudah dapat jitakan dari orang yang disebutnya 'pria tua' itu. Namun begitulah cara mereka bercanda. Demian dan Gilbert memang cukup dekat dan saling menyayangi sebagaimana hubungan ayah dan anak yang harmonis.

"Tentu saja penting. Ini genting, Dem! Duduk dulu," Gilbert mempersilahkan Demian duduk. Mariana pun ikut ambil posisi di sebelah Demian. Seorang asisten rumah tangga meletakkan minuman dan cemilan di hadapan Demian.

"Kata Hendry tadi kau bertemu anaknya, Halim. Betul?" Gilbert memulai dan langsung to the point. Dia menyebutkan nama sahabatnya, Hendry Subagio yang merupakan owner Gottardo Group.

"Oh si kam*ret itu?" respon Demian cepat. Dia masih kesal mengingat hasil pertemuan mereka tadi siang. Halim sama sekali tidak mengizinkan Demian menawar persyaratannya supaya bisa berpartisipasi dalam proyek besar itu dengan status single-nya.

"Hus! Jaga bahasamu, Demian! Halim itu masih jauh lebih tua dari kamu!" Gilbert sedikit terkejut mendapat reaksi kasar dari Demian.

"Papa pasti tahulah kenapa aku kesal," balas Demian acuh. Sudah pasti papanya tahu perihal tender dan syarat mutlaknya itu. Kalau tidak, papanya tidak mungkin sampai memanggilnya ke rumah segala. Biasanya juga bisa lewat telepon.

"Iya, papa dan mama tahu. Pasti kau kesal karena tidak bisa ikut tender itu kan?"

Benar kan? Mereka sudah tahu. Lalu apa tujuan mereka sekarang? Pikir Demian penasaran.

"Jelas kesal dong, Pa, Ma. Baru kali ini ada proyek tender yang punya peraturan aneh seperti itu. Kalau bukan karena Sarah, tadinya aku malas bertemu dengan mereka."

Gilbert dan Mariana saling bertukar pandang. Demian memang sangat sensitif jika menyangkut status pernikahan. Di usianya yang ke-tiga-puluh-tiga tahun sekarang pun dia masih suka kebakaran jenggot jika ditanya kapan menikah. Orangtuanya saja sampai menyerah dan membiarkan Demian membuat keputusannya sendiri.

"Tapi apa kamu nggak ngerasa sayang kehilangan kesempatan besar itu, Nak?" Mariana bertanya lembut lagi. Sejujurnya dia dan suaminya sangat ingin Demian bisa memegang proyek itu. Kesempatan yang seperti itu jarang sekali ada dan sangat sayang apabila dilewatkan begitu saja.

"Ya sayang dong, Ma. Tapi pak Halim nggak mau merubah persyaratannya. Padahal aku sudah membuat penawaran bagus jika dia mau memakai kita. Apa Om Hendry nggak mau bantuin, Pa?" kini Demian berharap sahabat papa nya itu bisa membantunya. Setidaknya beliau mau bicara dengan Halim.

"Sebenarnya justru Hendry pun tidak bisa mengganggu gugat persyaratan Halim. Tadi juga dia menelepon karena sangat kesal dengan perbuatan anaknya. Tapi tadi Hendry mengusulkan kalau kamu menikah saja sekarang. Katanya Halim masih memberi toleransi untuk itu," jelas Gilbert mengulangi isi pembicaraannya dengan Hendry. Entah apa tujuan Halim membuat syarat terakhir pemegang tender itu adalah seseorang yang sudah berkeluarga, Hendry juga tidak mengerti. Dia juga setuju jika proyek itu dikerjakan oleh Demian.

"Hah?? Menikah sekarang?? Papa bercanda??"

"Tidak sama sekali. Kau kan sudah lama berpacaran dengan Amber. Kenapa tidak disahkan saja sekalian?"

"Amber kan sedang bertugas di Papua, Pa. Bagaimana mungkin aku menyuruhnya pulang hanya untuk menikah? Dateline tendernya juga besok lusa. Amber mana mau disuruh pulang dadakan begitu," Demian jelas sangat tahu karakter kekasihnya. Apalagi profesi Amber sebagai Dokter yang sedang diperbantukan di sana, sangat tidak memungkinkan untuk gadis itu bisa ada di sini besok.

"Kau bisa meneleponnya malam ini, memberitahu duduk persoalannya, lalu memintanya untuk mengambil penerbangan paling pagi besok," lanjut Mariana mengusulkan. Wanita itu sangat antusias. Jika pernikahan dadakan itu bisa membuat Demian memenangkan tender sekaligus membuat anak itu segera melepaskan masa lajangnya kan bagus, batin Mariana.

"Sudahlah, lupakan saja. Aku akan memikirkannya malam ini. Jika menurutku tender itu layak untuk diperjuangakan, besok aku akan menikah. Mungkin dengan gadis di pinggir jalan sekalian. Tapi kalau setelah aku memikirkannya dan ternyata itu tidak terlalu penting, aku akan melepasnya."

Putusan Demian tidak bisa diganggu gugat. Gilbert dan Mariana hanya bisa menyetujui.

"Tapi kalau kau benar-benar ingin menikah besok, Papa punya banyak kenalan yang punya anak gadis cantik yang bisa mendampingimu. Jangan sembarang caplok perempuan di pinggir jalan," pesan Gilbert sebelum Demian pergi.

"Terimakasih, Pa. Tapi tenang saja, untuk itu aku sudah punya kandidatku sendiri," jawabnya dengan wajah misterius seraya hilang di balik pintu utama.

*****

Sementara itu, di tempat lain di kota yang sama. Sarah sedang berusaha menghubungi Grasian lewat telepon genggamnya. Sedari tadi pria itu tidak mengangkat panggilan WhatsApp -nya padah statusnya selalu online. Sarah masih penasaran isi obrolan kekasihnya itu dengan Demian. Mengapa Demian sebegitu antusiasnya memamerkan log panggilannya kepada Sarah, bahkan begitu inginnya menceritakan isi obrolan mereka berdua. Sarah sangat yakin itu mengenai dirinya.

Tutttt ... tuuuttt ... tutttt ...

Percobaan yang ke enam kalinya pun tidak membuahkan hasil. Chat yang ia kirimkan juga belum dibaca oleh pria di seberang sana.

Sarah mendengus kesal. Padahal kalau Grasian yang perlu, Sarah paling cepat mengangkat teleponnya atau membalas pesannya. Bahkan gadis itu rela menghampiri Grasian jika pria itu ingin bertemu pada jam malam sekali pun. Selama empat tahun mereka bersama, baru kali ini Grasian mengabaikannya sampai se-lama ini. Ada apa dengan pria itu? Tanya Sarah heran pada dirinya sendiri.

Ponsel yang sudah ia letakkan sembarangan di sebelah bantal tiba-tiba bergetar. Sarah segera menyambarnya dan secepat kilat menggeser tombol hijau di screen, tanpa membaca nama orang yang meneleponnya.

"Gras! Kamu kemana saja? Kenapa mengabaikan teleponku hah?" semburnya cepat tanpa pikir panjang. Kekasihnya itu harus tahu kalau dia sedang marah saat ini. Bisa-bisanya pria itu membuatnya kebingungan.

"Wow ... hold on, Nona. Jadi benar kalian sedang punya masalah?"

Kedua mata Sarah terbuka lebar. Dengan cepat dia melihat layar ponselnya dan menemukan nama 'Pak Demian' tertera di sana. Sarah menepuk jidatnya dalam diam seraya mengumpat dalam hati, mencaci maki dirinya yang begitu ceroboh.

"Pak Demian? Maaf, saya kira Grasian. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" suara Sarah tiba-tiba sudah berubah lembut dan merdu. Entah kemana perginya amarahnya tadi.

"Hm. Aku ingin memastikan sesuatu padamu," balas Demian pelan. Suara baritonnya terdengar cukup seksi jika didengar lewat telepon.

"Memastikan apa, Pak?"

"Kamu ingin kita memegang tender rumah sakit itu?"

"Oh, jelas, Pak. Saya selalu mendukung Pak Demian. Apalagi ini kesempatan emas bagi perusahaan Bapak," jawab Sarah jujur. Saat di pertemuan dengan Halim Subagio tadi pun dia sebenarnya sangat antusias membahas tender tersebut, tapi Demian justru sebaliknya. Apakah sekarang pria itu sedang memikirkan bagaimana caranya supaya mereka bisa mendapatkan proyek itu?

"Kalau begitu, menikahlah denganku."

"Apa??? Bapak bilang apa???" mata Sarah lagi-lagi membulat. Suaranya yang tadi merendah sekarang kembali tinggi seperti sediakala. Demian pasti sedang mengigau! Batinnya.

"Besok pagi jam sembilan datanglah ke Gereja Santa Maria. Kita akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu kita akan mengurus semua berkas-berkasnya untuk diserahkan kepada Pak Halim besok lusa."

"Tidak, terimakasih, Pak. Saya tidak terlalu terobsesi dengan tender itu kok," jawab Sarah datar sambil menahan napasnya. Sekarang dia tidak tahu siapa yang gila di sini. Demian atau dirinya.

"Bukankah kau ingin menikah? Grasian bilang tante Yola sudah menanyakan kejelasan hubungan kalian berkali-kali," Demian masih berani melanjutkan penawarannya. Kali ini dia bahkan membukakan sedikit isi obrolannya dengan Grasian tadi pagi. Ah iya, Yola itu adalah mamanya Sarah. Demian jelas mengenal orangtua Sarah karena dia adalah teman Yonathan.

"Iya, Pak. Saya mau menikah, tapi dengan Grasian. Bapak benaran cuma mau tanya itu saja? Saya sudahin ya, Pak? Ngantuk."

"Baiklah. Karena kamu yang sangat menginginkan tender itu, terserah kamu saja. Saya menunggu sampai jam sebelas di Gereja yang sudah saya sebutkan tadi."

"Saya nggak mau, Pak. Besok saya kerja." klik!

Sarah mematikan sambungan telepon duluan, lalu cepat-cepat menonaktifkan teleponnya.

"Demian gila! Sembarangan saja kalau bicara!" umpatnya dalam hati. Dengan kasar dia menarik selimut dan menutup dirinya hingga sebatas dada, lalu mencoba untuk tidur.

"Ah, aku kan harus menunggu balasan chat Grasian!" dia tiba-tiba teringat dan langsung menghidupkan ponselnya kembali. Namun chat nya tetap belum dibaca oleh pria itu. Membuat hati Sarah gelisah sedikit bercampur kesal.

*****

Terpopuler

Comments

Kristina W Wijono

Kristina W Wijono

menikah kan ada syarat yg perlu dipenuhi dan waktu
dadaksn besok what? apalagi gerrja ada kursus, percakapan, pengumuman dll
amazing bisa dadakan..
BTW menarik... nsmanya fiksi tapi penasaran.. lanjut thor😄😃😄😃🤣🤣🤣

2022-01-11

0

Khairil Anwar Peni

Khairil Anwar Peni

Hahaha ... 😁😁😁 Sarah jadi pusing

2021-09-02

0

Arninyon

Arninyon

sepertinya grassian bermasalah..

2021-07-23

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!