Gang ; Persahabatan Dan Penghianatan

Gang ; Persahabatan Dan Penghianatan

Penculikan

Seperti biasa Sean pergi ke sekolah hari itu, Sean bersekolah di sekolah homogen khusus pria yang jaraknya cukup jauh dari rumah kediamannya. Walaupun harus berjalan kaki sejauh dua kilometer, Sean tetap semangat untuk pergi ke sekolahnya karena hanya di sekolah dia akhirnya bisa merasa bebas.

Di sekolah Sean punya seorang teman yang selalu menuruti kemauannya berbeda halnya bila di rumah yang setiap hari dia selalu disuruh-suruh oleh sang nenek. Sean sebenarnya anak yang manis. Wajahnya oval dan bentuk mata bulat. Hidungnya mancung dengan tahi lalat di bawah bibir. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya yang setahun lebih tua menderita Autisme dan adik perempuan yang baru berusia empat tahun. Sedangkan sang ayah baru saja meninggal dunia, tepatnya tiga bulan yang lalu. Sialnya ibunya jadi depresi setelah kematian sang ayah.

Pikiran sang ibu terganggu, setiap pagi dia akan berdandan dan tersenyum di depan cermin, lalu ibu yang seharusnya merawat mereka ini malah selalu berjalan tanpa tujuan sampai sore hari. 

Jadilah tiga bersaudara ini tinggal di rumah nenek orang tua dari ibunya. Kakek dan Nenek Sean hanyalah seorang petani, tetapi mereka tinggal di rumah yang besar, tidak hanya Kakek dan Nenek saja, di rumah itu Sean juga tinggal bersama dengan paman, bibi, serta sepupu yang bernama Jody. Mereka semua tinggal bersama dalam satu atap. 

Sebenarnya di sekolah Sean juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Hal itu karena Sean kerap kali berbohong untuk menutupi kekurangan yang ia miliki. 

Saat harus ke sekolah menggunakan sandal jepit karena sepatunya yang jebol akibat terlalu lapuk, Sean akan berkata bahwa sepatunya raib dibawa anjing tetangganya. 

Saat tidak bisa mengumpulkan hasil tugas prakarya yang diminta gurunya di sekolah karena tentu saja Sean tidak punya uang untuk membeli bahannya. Sean juga berkata tugas prakarya miliknya dibawa anjing tetangganya. 

Sean tidak pernah menyangka kebohongan yang sering dilontarkan untuk menutupi kekurangannya inilah yang akhirnya membuat dia dijauhi semua orang di sekitar. 

Tidak ada yang mau bermain dengannya, kecuali seorang anak lelaki culun bernama Bobo. 

Bobo adalah anak lelaki keturunan Tiongkok. Matanya sangat sipit, kacamatanya saja setebal lima centi. Mungkin kalau dilepas dia akan berjalan sempoyongan seperti orang buta. Giginya memakai behel kawat yang runcing seperti pagar berduri. Belahan rambutnya selalu di tengah dengan celana di atas perut. Pantaslah tidak ada yang mau berteman dengannya selain Sean yang suka berbohong. 

Herannya Bobo selalu saja menuruti apa yang Sean perintahkan padanya. Sean sering meminta Bobo mengerjakan PR miliknya. Sean juga kerap kali meminta ditraktir makan siang di kantin. Semua itu Bobo turuti karena dia sangat menyayangi sahabatnya yang satu ini, tapi tentu saja Sean tidak begitu memperdulikan apa yang Bobo pikirkan. 

"Bobo, ayo kita bolos sekolah hari ini!" ajak Sean setelah jam pelajaran Matematika yang sangat membosankan itu. 

Setelah ini adalah jam pelajaran sejarah yang juga cukup membosankan menurutnya. Sean yang sudah sangat bosan malah mengajak Bobo si anak baik untuk ikutan membandel seperti dirinya. 

"Tap-tapi nanti kalau ketahuan bagaimana?" tanya Bobo dengan suara pelan dan takut.

Bobo sebenarnya anak yang sangat penakut, tapi tentu saja Sean akan meyakinkannya untuk membolos seperti biasa. 

"Ayolah, kita bolos setelah jam pertama saja, habis ini, kan, pelajaran sejarah, Pak guru sejarah tidak terlalu memperhatikan muridnya, paling kita hanya disuruh membaca buku, dia tidak akan tahu kalau kita menyelinap keluar." Sean melihat sekeliling. "Tenang saja sebelum jam pulang sekolah kita sudah kembali, tidak ada yang akan curiga." Sean terus saja membujuk kawannya ini. 

Akhirnya dengan berat hati Bobo mengikuti kemauan Sean dan ikut membolos, mereka berdua melompati pagar belakang sekolah, kemudian berlari cepat di gang belakang supaya tidak ada yang mengetahui kepergian mereka berdua. 

Sean sangat girang dia berlari sambil tertawa riang, sedangkan Bobo yang menggendong tas mereka lari sangat ketakutan tentu saja takut ketahuan. 

...***...

Trang trang tang

Terdengar suara alat musik seperti benda terbuat dari besi yang dipukul berkali kali.

"Wah!" Sean sangat bersemangat.

"Bobo lihat! Ada topeng monyet!" Sean berlari mengejar pertunjukan topeng monyet. 

"Tu, tunggu aku...!" Teriak Bobo.

Sean sudah berlari mendahului di depan sementara Bobo berlari ringkih mengikuti, karena beban dua tas yang digendongnya.

Daerah tempat itu terbilang cukup sepi, tidak ada yang mau menonton aksi topeng monyet itu sepertinya. Hanya ada mereka berdua yang berjongkok menyaksikan pertunjukan itu dari jarak yang cukup dekat. Mereka berdua pun menikmati pertunjukan monyet yang sudah lihai itu. Monyet kecil itu mengenakan helm dan sepeda motor kecil dengan sangat ahli sang monyet bergaya seperti seorang pembalap yang sedang mengendarai sepeda motor, tapi dengan tali yang membelit di lehernya. 

Entah kenapa berbeda halnya dengan sahabatnya, Bobo tidak merasa senang melihat pertunjukan itu. "Apa yang bagus dari pertunjukan itu? Apa kamu tidak kasihan dengan monyet kecil itu?" tanya Bobo, ia memandang dengan raut wajah kasihan. 

Melihat kawannya yang terlihat tidak suka, Sean jadi punya keinginan nakal untuk melepaskan monyet bertopeng yang terikat tali di lehernya itu. Dengan cutter yang selalu dibawa di tasnya, Sean memotong tali pengikat di leher sang monyet, setelah terbebas dari belenggu monyet itu langsung berlari menyelamatkan diri, sementara sang pemilik yang marah malah menangkap Sean si bandel ini sebagai gantinya. 

"Apa yang kau perbuat bocah sial!" hardik pawang monyet yang wajahnya sangat menyeramkan ini. Matanya picak sebelah mungkin karena bekas cakaran monyet. Giginya kuning dengan kumis dan jenggot yang tidak terurus. Sean baru sadar betapa menakutkan pria yang biasa dipanggil Ali Baba ini. 

"Lepaskan! Lepaskan dia!" teriak Bobo, ia berusaha menolong sahabatnya yang kini kerahnya ditarik sampai tubuh kurus itu terangkat dari tanah. 

"Kalian berdua anak nakal! Kalian harus membayar perbuatan kalian!" Ali Baba lalu menyeret dua anak itu masuk ke dalam gerobak miliknya dan mengancam keduanya agar tidak berani bersuara. Di dalam gerobak yang didorong oleh Ali Baba, si kecil Bobo terlihat sangat ketakutan hingga tubuhnya sampai menggigil, sementara Sean cukup tenang, ia hanya diam saja sambil memikirkan cara kabur dari Ali Baba yang jahat ini. 

Setibanya di sebuah gubuk yang terbuat dari triplek bekas di bawah kolong jembatan, Sean dan Bobo diseret kemudian dipaksa masuk ke gubuk yang bau itu. 

"Huhu huhu huhu." Bobo terus saja menangis ketakutan. Lama kelamaan itu membuat Ali Baba naik pitam. 

Plak! Plak!

Suara tamparan keras pun terdengar, Bobo ditampar dengan sangat keras sampai kacamatanya terlepas dan retak di lantai. Sedangkan tubuh Bobo telah tersungkur di lantai tanah yang kotor. Ia meringis merasakan perih yang menjalar di wajahnya. Tangan kanannya menyentuh pipinya yang terasa sakit kemudian ia mengangkat kepalanya mencoba menatap sekeliling tetapi matanya sangat kabur bila tanpa kacamatanya. Dalam pandangannya yang tidak jelas itu dia melihat Sean meronta-ronta. 

Bobo kecil yang sangat ketakutan hanya bisa meringkuk di pojok ruang sempit dalam gubuk itu. Menyaksikan hal mengerikan yang dia sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. 

Setelah puas menyakiti tubuh kecil Sean yang tak berdaya, Ali Baba kemudian mencoba mendekati Bobo. Sean tidak bisa membiarkan sahabatnya disakiti, saat Ali Baba mulai lengah, Sean dengan ringkih mengumpulkan sisa tenaganya berusaha untuk bangun kemudian meraih sebuah palu yang tergeletak di dekatnya. 

Bak! Buk! Bak! 

Tanpa ampun, Sean mengayunkan palu tepat di kepala Ali Baba jahat itu! 

"Aah!" Ali Baba tidak sempat melawan. Kepalanya dihantam palu sebegitu kerasnya hingga terhempas ke lantai tanah.

Bak...! Bak...!

Sean terus saja memukul batok kepala Ali Baba dengan palu. Ia tetap tidak berhenti walau palunya sudah basah dan darah Ali Baba mengucur deras dari kepalanya.

Darah merah terciprat ke tubuh polos Sean, seluruh tubuhnya kini sudah anyir berbau zat besi yang kental.

"Aaaaah!" 

Bobo terus menerus berteriak histeris menyaksikan kengerian tepat di depan matanya. Tidak seperti melihat film horor yang dia sukai, ini kejadian nyata yang bisa membuat trauma bagi yang menyaksikannya. Kedua belah tangannya menutupi telinga dan tubuhnya terus menggigil ketakutan. 

"Aaaaah!"

Sean sendiri merasakan ketegangan yang luar biasa, seolah dia sudah tidak bisa lagi mengontrol dirinya. Ia akhirnya berhenti mengayunkan palu ketika tangannya menjadi licin karena cipratan darah dan membuat palu itu terlepas dari genggaman. 

Sean langsung terduduk dan terdiam. Pikirannya kosong, tatapan matanya dingin, bibirnya tak mampu berkata. Hanya diam terpaku, tak percaya dengan perbuatannya barusan.

Tak berapa lama, Sean tersadar dan begitu kewarasannya kembali, ia memaksa Bobo yang masih ketakutan untuk segera bangun dan pergi dari tempat terkutuk itu.

Mereka segera pergi berlari menjauhi gubuk itu. Setelah tiba di sebuah persimpangan jalan, Sean menyuruh Bobo untuk pulang jalan kaki sendiri. 

"Sampai sini saja, kamu pulanglah sendiri," ucap Sean kepada Bobo.

"Jangan tinggalkan aku Sean, ayo kita pulang bersama," pinta Bobo sambil tidak henti hentinya menangis. 

"Kamu pulang saja sendiri! aku harus menyerahkan diri ke Polisi," kata Sean dengan berani.

"Kamu tidak usah berteman lagi denganku, aku seorang pembunuh!" 

Sungguh sangat disayangkan kata kata ini keluar dari anak yang masih berusia 11 tahun. 

"Itu tidak benar! Kamu tidak sengaja melakukannya! Dia yang orang jahat," ujar Bobo membela tindakan sahabatnya. Mungkin hanya Bobo-lah satu-satunya orang di dunia ini yang akan percaya padanya. 

Tetapi kemudian Sean mendorong Bobo sampai tersungkur di tanah. 

"Pergi! Jangan pernah ceritakan kejadian ini pada siapapun!" Sean melantangkan suaranya.

Setelah berkata demikian Sean kemudian berlari meninggalkan Bobo seorang diri. 

Setelah duduk di aspal jalan untuk beberapa lama Bobo akhirnya bangkit berdiri. Lalu dengan langkah berat ia kemudian berjalan pulang sendiri. Beberapa kali Bobo mengusap hidung dan menghapus air matanya, tapi ia tidak bisa berhenti, terus saja menangis di sepanjang jalan menuju rumahnya.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!