NovelToon NovelToon

Gang ; Persahabatan Dan Penghianatan

Penculikan

Seperti biasa Sean pergi ke sekolah hari itu, Sean bersekolah di sekolah homogen khusus pria yang jaraknya cukup jauh dari rumah kediamannya. Walaupun harus berjalan kaki sejauh dua kilometer, Sean tetap semangat untuk pergi ke sekolahnya karena hanya di sekolah dia akhirnya bisa merasa bebas.

Di sekolah Sean punya seorang teman yang selalu menuruti kemauannya berbeda halnya bila di rumah yang setiap hari dia selalu disuruh-suruh oleh sang nenek. Sean sebenarnya anak yang manis. Wajahnya oval dan bentuk mata bulat. Hidungnya mancung dengan tahi lalat di bawah bibir. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya yang setahun lebih tua menderita Autisme dan adik perempuan yang baru berusia empat tahun. Sedangkan sang ayah baru saja meninggal dunia, tepatnya tiga bulan yang lalu. Sialnya ibunya jadi depresi setelah kematian sang ayah.

Pikiran sang ibu terganggu, setiap pagi dia akan berdandan dan tersenyum di depan cermin, lalu ibu yang seharusnya merawat mereka ini malah selalu berjalan tanpa tujuan sampai sore hari. 

Jadilah tiga bersaudara ini tinggal di rumah nenek orang tua dari ibunya. Kakek dan Nenek Sean hanyalah seorang petani, tetapi mereka tinggal di rumah yang besar, tidak hanya Kakek dan Nenek saja, di rumah itu Sean juga tinggal bersama dengan paman, bibi, serta sepupu yang bernama Jody. Mereka semua tinggal bersama dalam satu atap. 

Sebenarnya di sekolah Sean juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Hal itu karena Sean kerap kali berbohong untuk menutupi kekurangan yang ia miliki. 

Saat harus ke sekolah menggunakan sandal jepit karena sepatunya yang jebol akibat terlalu lapuk, Sean akan berkata bahwa sepatunya raib dibawa anjing tetangganya. 

Saat tidak bisa mengumpulkan hasil tugas prakarya yang diminta gurunya di sekolah karena tentu saja Sean tidak punya uang untuk membeli bahannya. Sean juga berkata tugas prakarya miliknya dibawa anjing tetangganya. 

Sean tidak pernah menyangka kebohongan yang sering dilontarkan untuk menutupi kekurangannya inilah yang akhirnya membuat dia dijauhi semua orang di sekitar. 

Tidak ada yang mau bermain dengannya, kecuali seorang anak lelaki culun bernama Bobo. 

Bobo adalah anak lelaki keturunan Tiongkok. Matanya sangat sipit, kacamatanya saja setebal lima centi. Mungkin kalau dilepas dia akan berjalan sempoyongan seperti orang buta. Giginya memakai behel kawat yang runcing seperti pagar berduri. Belahan rambutnya selalu di tengah dengan celana di atas perut. Pantaslah tidak ada yang mau berteman dengannya selain Sean yang suka berbohong. 

Herannya Bobo selalu saja menuruti apa yang Sean perintahkan padanya. Sean sering meminta Bobo mengerjakan PR miliknya. Sean juga kerap kali meminta ditraktir makan siang di kantin. Semua itu Bobo turuti karena dia sangat menyayangi sahabatnya yang satu ini, tapi tentu saja Sean tidak begitu memperdulikan apa yang Bobo pikirkan. 

"Bobo, ayo kita bolos sekolah hari ini!" ajak Sean setelah jam pelajaran Matematika yang sangat membosankan itu. 

Setelah ini adalah jam pelajaran sejarah yang juga cukup membosankan menurutnya. Sean yang sudah sangat bosan malah mengajak Bobo si anak baik untuk ikutan membandel seperti dirinya. 

"Tap-tapi nanti kalau ketahuan bagaimana?" tanya Bobo dengan suara pelan dan takut.

Bobo sebenarnya anak yang sangat penakut, tapi tentu saja Sean akan meyakinkannya untuk membolos seperti biasa. 

"Ayolah, kita bolos setelah jam pertama saja, habis ini, kan, pelajaran sejarah, Pak guru sejarah tidak terlalu memperhatikan muridnya, paling kita hanya disuruh membaca buku, dia tidak akan tahu kalau kita menyelinap keluar." Sean melihat sekeliling. "Tenang saja sebelum jam pulang sekolah kita sudah kembali, tidak ada yang akan curiga." Sean terus saja membujuk kawannya ini. 

Akhirnya dengan berat hati Bobo mengikuti kemauan Sean dan ikut membolos, mereka berdua melompati pagar belakang sekolah, kemudian berlari cepat di gang belakang supaya tidak ada yang mengetahui kepergian mereka berdua. 

Sean sangat girang dia berlari sambil tertawa riang, sedangkan Bobo yang menggendong tas mereka lari sangat ketakutan tentu saja takut ketahuan. 

...***...

Trang trang tang

Terdengar suara alat musik seperti benda terbuat dari besi yang dipukul berkali kali.

"Wah!" Sean sangat bersemangat.

"Bobo lihat! Ada topeng monyet!" Sean berlari mengejar pertunjukan topeng monyet. 

"Tu, tunggu aku...!" Teriak Bobo.

Sean sudah berlari mendahului di depan sementara Bobo berlari ringkih mengikuti, karena beban dua tas yang digendongnya.

Daerah tempat itu terbilang cukup sepi, tidak ada yang mau menonton aksi topeng monyet itu sepertinya. Hanya ada mereka berdua yang berjongkok menyaksikan pertunjukan itu dari jarak yang cukup dekat. Mereka berdua pun menikmati pertunjukan monyet yang sudah lihai itu. Monyet kecil itu mengenakan helm dan sepeda motor kecil dengan sangat ahli sang monyet bergaya seperti seorang pembalap yang sedang mengendarai sepeda motor, tapi dengan tali yang membelit di lehernya. 

Entah kenapa berbeda halnya dengan sahabatnya, Bobo tidak merasa senang melihat pertunjukan itu. "Apa yang bagus dari pertunjukan itu? Apa kamu tidak kasihan dengan monyet kecil itu?" tanya Bobo, ia memandang dengan raut wajah kasihan. 

Melihat kawannya yang terlihat tidak suka, Sean jadi punya keinginan nakal untuk melepaskan monyet bertopeng yang terikat tali di lehernya itu. Dengan cutter yang selalu dibawa di tasnya, Sean memotong tali pengikat di leher sang monyet, setelah terbebas dari belenggu monyet itu langsung berlari menyelamatkan diri, sementara sang pemilik yang marah malah menangkap Sean si bandel ini sebagai gantinya. 

"Apa yang kau perbuat bocah sial!" hardik pawang monyet yang wajahnya sangat menyeramkan ini. Matanya picak sebelah mungkin karena bekas cakaran monyet. Giginya kuning dengan kumis dan jenggot yang tidak terurus. Sean baru sadar betapa menakutkan pria yang biasa dipanggil Ali Baba ini. 

"Lepaskan! Lepaskan dia!" teriak Bobo, ia berusaha menolong sahabatnya yang kini kerahnya ditarik sampai tubuh kurus itu terangkat dari tanah. 

"Kalian berdua anak nakal! Kalian harus membayar perbuatan kalian!" Ali Baba lalu menyeret dua anak itu masuk ke dalam gerobak miliknya dan mengancam keduanya agar tidak berani bersuara. Di dalam gerobak yang didorong oleh Ali Baba, si kecil Bobo terlihat sangat ketakutan hingga tubuhnya sampai menggigil, sementara Sean cukup tenang, ia hanya diam saja sambil memikirkan cara kabur dari Ali Baba yang jahat ini. 

Setibanya di sebuah gubuk yang terbuat dari triplek bekas di bawah kolong jembatan, Sean dan Bobo diseret kemudian dipaksa masuk ke gubuk yang bau itu. 

"Huhu huhu huhu." Bobo terus saja menangis ketakutan. Lama kelamaan itu membuat Ali Baba naik pitam. 

Plak! Plak!

Suara tamparan keras pun terdengar, Bobo ditampar dengan sangat keras sampai kacamatanya terlepas dan retak di lantai. Sedangkan tubuh Bobo telah tersungkur di lantai tanah yang kotor. Ia meringis merasakan perih yang menjalar di wajahnya. Tangan kanannya menyentuh pipinya yang terasa sakit kemudian ia mengangkat kepalanya mencoba menatap sekeliling tetapi matanya sangat kabur bila tanpa kacamatanya. Dalam pandangannya yang tidak jelas itu dia melihat Sean meronta-ronta. 

Bobo kecil yang sangat ketakutan hanya bisa meringkuk di pojok ruang sempit dalam gubuk itu. Menyaksikan hal mengerikan yang dia sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. 

Setelah puas menyakiti tubuh kecil Sean yang tak berdaya, Ali Baba kemudian mencoba mendekati Bobo. Sean tidak bisa membiarkan sahabatnya disakiti, saat Ali Baba mulai lengah, Sean dengan ringkih mengumpulkan sisa tenaganya berusaha untuk bangun kemudian meraih sebuah palu yang tergeletak di dekatnya. 

Bak! Buk! Bak! 

Tanpa ampun, Sean mengayunkan palu tepat di kepala Ali Baba jahat itu! 

"Aah!" Ali Baba tidak sempat melawan. Kepalanya dihantam palu sebegitu kerasnya hingga terhempas ke lantai tanah.

Bak...! Bak...!

Sean terus saja memukul batok kepala Ali Baba dengan palu. Ia tetap tidak berhenti walau palunya sudah basah dan darah Ali Baba mengucur deras dari kepalanya.

Darah merah terciprat ke tubuh polos Sean, seluruh tubuhnya kini sudah anyir berbau zat besi yang kental.

"Aaaaah!" 

Bobo terus menerus berteriak histeris menyaksikan kengerian tepat di depan matanya. Tidak seperti melihat film horor yang dia sukai, ini kejadian nyata yang bisa membuat trauma bagi yang menyaksikannya. Kedua belah tangannya menutupi telinga dan tubuhnya terus menggigil ketakutan. 

"Aaaaah!"

Sean sendiri merasakan ketegangan yang luar biasa, seolah dia sudah tidak bisa lagi mengontrol dirinya. Ia akhirnya berhenti mengayunkan palu ketika tangannya menjadi licin karena cipratan darah dan membuat palu itu terlepas dari genggaman. 

Sean langsung terduduk dan terdiam. Pikirannya kosong, tatapan matanya dingin, bibirnya tak mampu berkata. Hanya diam terpaku, tak percaya dengan perbuatannya barusan.

Tak berapa lama, Sean tersadar dan begitu kewarasannya kembali, ia memaksa Bobo yang masih ketakutan untuk segera bangun dan pergi dari tempat terkutuk itu.

Mereka segera pergi berlari menjauhi gubuk itu. Setelah tiba di sebuah persimpangan jalan, Sean menyuruh Bobo untuk pulang jalan kaki sendiri. 

"Sampai sini saja, kamu pulanglah sendiri," ucap Sean kepada Bobo.

"Jangan tinggalkan aku Sean, ayo kita pulang bersama," pinta Bobo sambil tidak henti hentinya menangis. 

"Kamu pulang saja sendiri! aku harus menyerahkan diri ke Polisi," kata Sean dengan berani.

"Kamu tidak usah berteman lagi denganku, aku seorang pembunuh!" 

Sungguh sangat disayangkan kata kata ini keluar dari anak yang masih berusia 11 tahun. 

"Itu tidak benar! Kamu tidak sengaja melakukannya! Dia yang orang jahat," ujar Bobo membela tindakan sahabatnya. Mungkin hanya Bobo-lah satu-satunya orang di dunia ini yang akan percaya padanya. 

Tetapi kemudian Sean mendorong Bobo sampai tersungkur di tanah. 

"Pergi! Jangan pernah ceritakan kejadian ini pada siapapun!" Sean melantangkan suaranya.

Setelah berkata demikian Sean kemudian berlari meninggalkan Bobo seorang diri. 

Setelah duduk di aspal jalan untuk beberapa lama Bobo akhirnya bangkit berdiri. Lalu dengan langkah berat ia kemudian berjalan pulang sendiri. Beberapa kali Bobo mengusap hidung dan menghapus air matanya, tapi ia tidak bisa berhenti, terus saja menangis di sepanjang jalan menuju rumahnya.

Bersambung.

Kabur

Sean memiliki seorang kakak yang setahun lebih tua darinya, sayangnya kakaknya ini menderita Autisme. Kakaknya memiliki wajah yang begitu mirip dengan Sean, hanya saja dia tidak memiliki tahi lalat di bawah bibir seperti Sean.

Kakaknya Sean bernama Siao, sang kakak sebenarnya sangat menyayangi adiknya, tapi tentu saja Siao kesulitan mengutarakannya karena keterbelakangan yang ia miliki, ketika sampai tiba waktunya Sean pulang sekolah dan Siao belum melihat sang adik di rumah mereka.

Siao akan memukul-mukul kepalanya sendiri sambil memutar jari telunjuknya menandakan bahwa dia sedang khawatir akan di mana keberadaan sang adik saat ini.

Cukup lama ia menunggu di ambang pintu, matanya terus memantau jauh, tak lama ia melihat sosok sang adik dari kejauhan, bukannya gembira Siao seketika merasa cemas melihat keadaan sang adik.

Sean pulang dalam keadaan compang-camping tidak keruan, tapi tentu saja dia pikir tidak ada yang akan perduli. Ketika akan masuk ke rumah besar yang terbuat dari kayu ulin itu, Sean melihat sang kakak yang sudah menunggunya pulang.

Siao mendekati Sean dan terlihat jelas kemiripan mereka berdua seperti pinang dibelah dua. Walaupun Siao tidak berkata apa-apa, tapi dari matanya terlihat jelas kekhawatirannya melihat penampilan Sean yang berantakan.

"Sean jatuh ya? Dikejar anjing lagi ya?" Siao bertanya sambil memutar-mutar jarinya.

Sean hanya diam saja tidak menghiraukan kakaknya. Baru beberapa langkah masuk rumah sang nenek sudah keluar dari kamarnya dengan wajah masam seperti biasa.

"Anak nakal! Dari mana saja kamu! Kenapa bajumu sampai kotor seperti itu!" Nenek sudah mengomel tak keruan.

Mendengar keributan, si bibi yang suka melihat Sean dimarahi juga ikut-ikutan memanas-manasi.

"Eh, ini anak! Gak tau apa seragam sekolah itu dibeli pakai uang?! Gak tau terima kasih!" Si bibi menimpali.

"Kamu itu numpang di sini! Ayahmu sudah mati, ibumu itu gila, harusnya kamu mengerti jangan suka merepotkan Nenek terus."

Rasanya tidak habis pikir, mereka langsung memarahi tanpa menanyakan apa yang terjadi pada dirinya, terlebih sang bibi yang selalu mengungkit apa yang terjadi kepada kedua orangtuanya. Sean tentu saja ingat apa yang menimpa ayah dan ibunya,

tidak perlu diingatkan kembali! Ini sungguh menyakiti hati dan perasaan Sean kecil.

Kesabarannya telah habis, setelah kejadian nahas yang menimpanya hari ini, dia merasa tidak sanggup lagi. Hatinya dipenuhi amarah dan dengki, buku jarinya dikapalkan dengan kuat, lalu

Sean berteriak sekencang-kencangnya.

"Berhenti menjelekkan orangtuaku! Aku benci kalian semua!"

Sontak si nenek dan bibinya kaget dengan reaksi Sean yang tidak seperti biasanya.

Sean tidak perduli lagi, ia segera berlari menuju gudang sempit tempat dia biasa tidur dan memecahkan celengan babi miliknya. Walaupun isinya hanya uang recehan Sean mengumpulkan seadanya kemudian memasukkannya ke dalam keresek hitam.

Setelah berganti baju Sean melompati jendela dan segera pergi dari tempat itu. Kabur dari rumah itu saja yang ada dalam pikiran Sean, lebih baik hidup di jalanan dari pada harus tinggal bersama orang-orang yang sama sekali tidak perduli padanya.

...****...

Sudah tiga hari Sean tidak masuk sekolah, Bobo hanya mampu menatap sedih bangku kosong milik sahabatnya itu. Biasanya setiap hari Sean akan menemaninya makan di kantin. Sekarang tanpa Sean di sisinya, Bobo malah menjadi bulan-bulanan anak lain yang sering mengolok dirinya.

"Eh! Anak jelek! Ke mana temanmu yang suka berbohong itu?" tanya Jody anak tambun sepupu dari Sean. "Sudah tiga hari dia kabur dari rumah, nenekku mulai khawatir."

"A-aku tak tahu," jawab Bobo, sama seperti jody, Bobo juga sama sekali tidak mengetahui keberadaan sahabatnya itu saat ini. Terlebih lagi Bobo juga sudah berjanji tidak akan menceritakan kejadian yang menimpa mereka beberapa hari yang lalu.

Keesokan harinya, saat pulang sekolah Bobo mencoba mendatangi rumah Sean, berharap sahabatnya itu sudah pulang ke rumah, tapi Bobo hanya bertemu Siao yang hampir saja dikiranya itu Sean.

Bobo merasa sangat sedih karena tidak mengetahui keberadaan sang sahabat padahal sebentar lagi dia akan pindah sekolah keluar kota. Bobo sangat ingin berpamitan dengan Sean sebelum pergi.

Dalam hati Bobo, Sean adalah satu-satunya sahabat terbaiknya. Walaupun Sean selalu menyuruhnya ini dan itu, tapi Bobo tidak pernah keberatan. Bobo akan selalu mengingat senyum manis Sean saat bercerita kepadanya, tentu saja Bobo tahu kalau semua cerita Sean hanya karangan belaka, tapi entah kenapa Bobo sangat senang melihat Sean bercerita dan tersenyum kepadanya.

Di bawah pohon ketapang tempat biasa mereka bercengkrama, Bobo mengukir batang pohon itu dengan tulisan 'Selamat tinggal Sean, semoga kita bertemu lagi'.

...****...

16 tahun kemudian.

Setelah menjalani kehidupan keras di jalanan Sean bertransformasi menjadi pemuda dingin yang kejam, Wajahnya memang sangat tampan, tapi hatinya sangat bengis. Sean juga sangat pandai berkelahi dia menjadi tukang pukul seorang Bos gang yang sangat disegani di kota. Sean kerap kali disuruh menagih hutang atau menakut-nakuti lawan dari bosnya yang memiliki banyak tempat hiburan malam di kota ini.

Di kamar yang remang dan minim cahaya lampu. Sean mendesah di atas seorang wanita, punggung dengan tatto harimaunya bergerak naik turun. Wanitanya juga sangat menikmati tarian lincah dari Sean yang gagah perkasa.

smartphonenya tiba-tiba berbunyi. Sean berpindah posisi mengangkat tubuh sang wanita lalu meraih benda itu sambil terus membiarkan wanita bergoyang di atas tubuhnya.

"Mmmh ... Halo...." Sean mengangkat telepon dengan santai walaupun sang wanita terus bergoyang di atasnya, desahan sang wanita terdengar sampai di seberang panggilan telepon.

"Ganco! Ngapain kamu cuk!" seru Aceng seorang preman yang saat ini sedang menelponnya.

"Jangan main-main kamu, itu Bos lagi nyariin anak perempuannya ada yang bilang terakhir lagi jalan sama kamu!"

Sean tersenyum karena tentu saja Lisa anak Bosnya sedang menikmati kejantanannya saat ini, dan ketika Lisa semakin liar hingga memaksa Sean segera memutuskan panggilan telepon untuk membantu wanitanya ini bergerak naik turun.

Wanitanya mengerang dengan nikmat, Sean segera sadar Lisa sudah orgasme, dengan sigap Sean membalik tubuhnya untuk mengganti posisi, Sean tidak mau kalah dan mulai menghentak dengan ganas untuk mengeluarkan kenikmatannya. Tubuhnya bergerak semakin kencang, bisa dia rasakan adrenaline yang semakin membuncah, segera ia akan mencapai titik klimaksnya.

Sesaat sebelum klimaks Sean menarik diri kemudian membiarkan benihnya tumpah di luar, tentu saja ia tidak mau ambil resiko menghamili anak bosnya sendiri.

Setelah puas mencampuri Lisa, Sean langsung beranjak dari tempat tidur kemudian memungut pakaiannya yang berserakan dengan santai, Sementara Lisa hanya termangu melihat Sean mulai menutupi tubuh berbulunya yang indah.

"Aku harus pergi," ucap Sean sembari mendaratkan kecupan manis di kening Lisa.

"Bisakah kau bersamaku sedikit lebih lama?" tanya Lisa, ia seraya memohon agar Sean tidak pergi meninggalkan dirinya yang masih belum berbusana.

"Maaf aku tak bisa, kamu tau, 'kan? seperti apa Ayahmu?" Sean mengusap rambut panjang wanitanya untuk memenangkan hatinya.

Lisa hanya terdiam mendengar jawaban Sean, kepalanya mengangguk pelan, memang benar Ayahnya akan membunuh Sean kalau sampai dia tahu perbuatan mereka berdua.

...Bersambung...

Kawan Lama

Sean berjalan keluar dari hotel menuju Valet tempat dia memarkirkan Porsche Cayman birunya. Tak begitu lama menunggu petugas parkir sudah menyerahkan kunci mobil mewahnya tersebut.

Sean menaiki mobilnya dengan santai dan mulai berkendara ditemani suara music hard rock dari pemutar musik mobilnya, di perjalanan sambil berkendara dia kembali menelepon kawannya, Aceng, yang sudah sedari tadi meninggalkan puluhan panggilan tak terjawab di Smartphone miliknya.

"Halo, Sean!"

Begitu tersambung, jawaban di seberang sana langsung terdengar tidak senang.

"Kenapa, sih, Ceng. Kamu kangen, ya, sama aku?" Sean menyeringai dengan nakal.

"Kamu dari mana saja, sih. Jangan suka bikin masalah! Aku gak mau terbawa-bawa," ujar Aceng menegaskan.

"Tenang saja, susah senang aku pasti selalu membawamu," balas Sean dengan candanya.

"Ha ha ha." lalu Sean tertawa kecil menanggapi omelan kawan baiknya ini.

"Susahnya aja kamu bawa ke aku, senangnya mana mau kamu bagi-bagi," Aceng menyahut dengan kesal.

"Katakan padaku, apa yang membuatmu begitu gusar hari ini?" Sean bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kamu tau? pemilik Club malam 'Stardust' yang masih di wilayah kita belum memberi jatah upetinya bulan ini," lontar Aceng menjelaskan rasa kecewanya.

"Oh, si cunguk itu, dia juga masih ada tanggungan yang belum dibayar, Aku akan segera ke sana, sepertinya aku perlu sedikit berolah raga," sahut Sean kemudian menutup panggilan.

Dengan cepat Porsche miliknya melaju di aspal jalan, mobil mewah itu berlari kencang seolah tidak memiliki rem. Begitu tiba di tempat tujuannya, Sean turun dari mobil dengan gagahnya dan memancarkan aura yang tegas bak kesatria dengan baju besinya.

Bahkan hanya dengan lirikan matanya saja, penjaga pintu Club malam yang bertubuh kekar langsung ciut, dan mempersilahkan Sean melewati penjagaannya.

Di dalam ruangan khusus staff, pemilik Club yang tadinya bicara santai dengan Aceng, sekarang menjadi gugup dan sontak langsung berdiri dari kursinya.

Dalam hati Aceng berkata, "Memang hanya Sean seorang yang ditakuti si cunguk ini."

Sang pemilik bernama Bambang ini langsung membuka brangkas miliknya dan menaruh segepok uang di atas meja.

"Ini yang kau minta, saya tak mau cari ribut. Pergilah setelah urusan kalian selesai," ucapnya sambil mengelap keringat dingin yang mengucur deras di keningnya.

"Nah, gitu dong Bambang!"

Aceng kemudian tertawa, lalu mengumpulkan sejumlah uang yang sudah ditaruh di atas meja.

"Coba dari tadi kan enak."

Sean kemudian berjalan mendekati Bambang dan berkata, "Urusanku di sini belum selesai...."

Mendengar kata-kata Sean membuat Bambang menjadi gugup dan terbata, "A-apa lagi yang kau mau!"

Keringat dingin terus menetes, Bambang mulai semakin gugup

"Aku mau minum dulu," ujar Sean sambil merangkul bahu Bambang.

"Sediakan tempat dan beserta minuman terbaik untukku." Sean menyeringai, tapi entah kenapa senyum manisnya ini terlihat begitu menyeramkan.

Mungkin karena reputasinya yang sudah sangat terkenal di wilayah ini. Bambang sendiri sudah pernah jadi saksi keganasan Sean. Tidak ada yang berani melaporkan segala tindakan kejahatan yang pernah Sean lakukan, karena Sean akan menghabisi nyawa semua orang yang terlibat, termasuk keluarganya. Beruntung Bambang belum kehilangan nyawanya tapi dia akan terus dihantui rasa takut.

Akhirnya Bambang menempatkan Sean dan Aceng diruang VIP tidak lupa dengan pelayan seksi dengan baju U can see dan rok mininya sebagai penghibur.

Sean adalah pria yang kuat minum, kadar toleransinya terhadap alkohol terbilang cukup tinggi, Whisky dan Tequila ditenggak seperti minum air biasa. Sementara Aceng sangat mudah sekali mabuk, saat kesadarannya semakin berkurang Aceng menjadi semakin berani dan bertingkah genit, dengan tidak tahu malu si Aceng meremas paha pelayan seksi sampai membuatnya tidak nyaman.

Sean menarik tangan Aceng dari perempuan yang tampak sudah sangat kesal itu.

"Sudah jangan ganggu dia," bisik Sean.

"Kenapa sih! Setiap wanita suka jual mahal sama aku! coba kalau kamu yang godain," timpal Aceng dengan kesal.

"Sudahlah, kamu mabok, Ceng," kata Sean sambil mengedipkan mata kepada si pelayan dan terang saja wanita itu langsung tersipu malu.

"Aku ga mabok, nih, aku ngomong serius, ya," ujar Aceng sambil merogoh kantung celana kemudian mengambil Smartphone miliknya. "Aku mau manggil kenalanku, katanya dia mau datang ke sini sekarang," lanjut Aceng.

"Siapa? Ada urusan apa sama kita?" tanya Sean, merasa tak nyaman.

Sean punya sifat tidak begitu mempercayai orang asing yang baru dikenalnya, dengan Aceng saja butuh waktu lama sampai mereka akrab seperti sekarang ini.

"Tenang saja ... Dia bisa dipercaya, aku mengenalnya di Sasana Tinju dia sangat jago berkelahi," ucap Aceng meyakinkan Sean

Tak lama orang yang dimaksudkan muncul, wajahnya sangat dingin, auranya tidak jauh beda dengan Sean, dari caranya berjalan saja sudah terlihat kalau pria ini sangat tangguh terlebih lagi dia sangat tampan rupawan, dengan sudut mata yang tajam, hidung mancung dan garis rahang yang tegas, bisa dibilang wajahnya itu sangat sempurna.

"Nah, ini dia yang aku ceritakan." Aceng langsung menyambut kedatangannya.

"Dia tidak pernah kalah dalam pertarungan," tutur Aceng memujinya.

"Siapa namamu?" Sean kemudian bertanya kepada pria tinggi berkulit putih di hadapannya.

"Bobo," dijawabnya hanya dengan satu kata.

Entah kenapa pria ini mengingatkan Sean dengan kawan lamanya, tapi rasanya tidak mungkin pria tampan di hadapannya ini adalah Bobo culun yang dia kenal dulu.

Pria yang baru saja bertemu dengannya ini langsung menatapnya begitu dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu.

"Apa yang kau lihat!" Sean merasa tidak nyaman dengan cara Bobo menatapnya.

"Bukan apa apa," sahut Bobo

Hanya itu yang bisa ia ucapkan walaupun sebenarnya di dalam hatinya Bobo sangat ingin memeluk Sean saat ini, karena ia sahabat yang sudah lama tidak bertemu, tapi Sean masih belum mengingatnya.

"Ayo duduk, kita minum bersama." Aceng menarik lengan Bobo dan memaksanya duduk. Aceng ingin mencairkan suasana yang menjadi beku dengan kehadiran Bobo.

Sean mengacuhkan Bobo dan tetap menghabiskan sebotol Whisky di tangannya. Lalu tiba-tiba saja, Bambang merangsek masuk keruangan tempat mereka berada.

"Ada apa, kenapa?" tanya Aceng setelah kaget dengan kedatangan Bambang.

"Bagaimana ini? Anak buah Mr. M juga datang ke sini minta upeti! Bukankah wilayah sini sudah di klaim oleh Boss besar kalian? Aku bisa bangkrut kalau harus membayar semua orang," kata si Bambang memelas.

Setelah menaruh botol kosong di atas meja, Sean kemudian berdiri dari tempat dia duduk dan diikuti oleh Aceng.

Sean melirik ke arah Bobo yang masih dalam posisi duduk di sebelah kanannya.

"Bukankah kau pandai berkelahi?" Sean bertanya pada Bobo.

Bobo mengangguk pelan.

"Ayo! kalau kau bisa buktikan dirimu, akan ku jadikan kau tangan kananku," ajaknya.

...Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!