Sayup-sayup suara kicau burung terdengar dari balik jendela kamar yang masih tertutup rapat. Sang pemilik kamar masih damai tertidur pulas dengan balutan selimut hangat yang melekat rapat ditubuhnya. Bunyi alarm sahut-menyahut membangunakan sang pemiliknya yang masih bergeming. Pintu kamar tersebut dibuka perlahan oleh Davina. Wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar putrinya, mematikan AC dan membuka jendela kamar, membiarkan serbuan udara segar yang sejak tadi tertahan di luar berdesakan dengan bebas masuk ke dalam kamar.
"Sena, ayo bangun, nak," Davina menyibak selimut putrinya.
Gadis yang masih bergelung pada tempat tidur itu perlahan menggeliat saat tubuhnya tersapu udara dingin pagi hari. Sena membuka matanya yang masih sangat berat, kesadarannya belum sepenuhnya hadir.
“Ayo bangun, katanya mau berangkat sekolah tepat waktu,” Davina masih duduk di samping tempat tidur putrinya seraya mengusap lembut kepala Sena.
Sena bangkit, dengan gerakan spontan gadis itu memluk Davina. Untuk sesaat gadis itu menenggelamkan dirinya dalam pelukan ibunya yang terasa begitu menghangatkan.
“Ma, are you ok?” Tanya Sena lirih.
Mendengar pertanyaan putrinya itu, Davina terdiam. Tentu saja saat ini perasaannya tidaklah baik. Dan ia sadar betul jika putrinya mengetahui itu.
Sena melepaskan pelukannya, ditatapnya wajah ibunya yang kini tengah tersenyum mentapnya, “ma, kalau hati mama sakit lebih baik mama lepaskan papa. You deserve to be happy,” ucap Sena dengan mata yang sudah berlinang air mata saat melihat sorot mata ibunya yang tampak jelas menyiratkan kepedihan.
Davina mengelus lembut wajah putrinya, “papa itu adalah pria yang baik. Dia sayang sama kamu dan juga sama mama. Mama percaya sama papa, jadi mama harap, kamu juga harus percaya sama papa,” jelas Davina penuh dengan kepercayaan.
Sena kembali dibuat tidak berkutik akan kebesaran hati ibunya. Jika saja ayahnya tahu, wanita yang dinikahinya itu adalah wanita yang luar biasa besar cinta dan kepercayaannya kepada keluarganya. Apakah ayahnya masih tega menduakan ibunya tersebut?
Setelah ini, rasanya ia sudah tidak dapat lagi bersikap sama seperti sebelumnya kepada sang ayah. Perasaan sakit itu telah membuat rasa cintanya kepada ayahnya seolah terkikis secara perlahan. Ia sendiri tidak bisa menjamin, apakah suatu hari nanti hatinya masih dapat meninggalkan sedikit cinta untuk ayahnya? Atau pada akhirnya hatinya akan benar-benar mati rasa untuk mencintai ayahnya? Entahlah, Sena membiarkan waktu yang dapat menjawab semua pertanyaannya tersebut.
Sena kembali memeluk ibunya, hati Davina kini tampak jauh lebih baik merasakan bagaimana putrinya begitu mencintai dirinya.
“Sena akan selalu ada buat mama sampai kapanpun. Sena janji akan jadi putri terhebat buat mama. Mama punya Sena dan Sena punya mama,” ucap Sena dalam pelukan bundanya.
“Mama percaya sama Sena, kalau Sena mau jadi putri terhebat mama, harusnya Sena siap-siap berangkat sekolah. Ini udah makin siang loh, jangan sampai putri terhebat mama ini kena skors gara-gara sering terlambat masuk sekolah,” Gurau Davina disela pelukannya dengan sang putri.
Mendengar ucapan tersebut Sena segera melepaskan pelukan itu. Wajahnya sigap menatap jarum jam di dinding kamar. Betapa terkejutnya ia saat melihat kini jarum jam telah menunjukkan pukul 06.15 pagi.
“Oh no….!!!” Pekiknya histeris.
Gadis itu segera melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi. Bahaya kalau sampai ia terlambat masuk sekolah lagi. Davina hanya tertawa kecil melihat bagaimana tingkah putrinya itu.
...*** ...
Siang itu seusai jam sekolah selesai Sena bergegas pergi menuju ruang OSIS yang terletak satu gedung dengan perpustakaan. Hanya saja ruang OSIS berada di lantai ketiga, sedangkan lantai pertama dan kedua diperuntukkan untuk perpustakaan sekolah.
Hari ini adalah rapat OSIS terakhirnya sebelum pemilihan ketua OSIS baru minggu depan. Rasanya Sena sudah tidak sabar untuk segera mempurnakan jabatannya sebagai sekretaris OSIS. Sebetulnya Sena bukanlah tipe orang yang senang mengikuti organisasi-organisasi yang dirasanya terlalu kaku, seperti OSIS ini. Tapi ia terpaksa mengikutinya karena paksaan dari wali kelasnya.
Saat itu setiap kelas diwajibkan mengirimkan kandidatnya dalam pemilihan ketua OSIS. Dan sialnya, ia terpaksa dipilih karena dihari deadline pengiriman nama kandidat, kelasnya belum juga ada yang bersedia untuk diikut sertakan. Dan Sena yang datang terlambat saat itu menjadi sasaran empuk bagi teman-teman sekelasnya, begitupun wali kelasnya untuk mengikutsertakan Sena secara paksa dalam pemilihan ketua OSIS.
Beruntung Sena tidak terpilih menjadi ketua OSIS meski pada akhirnya ia tetap dipilih untuk menjabat sebagai sekretaris yang tugasnya ternyata cukup memusingkan. Terlebih Artha adalah seorang ketua yang menurutnya sangat merepotkan dan menyebalkan. Sifat perfeksionis yang Artha miliki merupakan hal yang paling Sena kutuk selama ia menjabat sebagai sekretaris.
Ia tidak suka sesuatu yang bertele-tele dan ribet, ia memiliki metodenya sendiri dalam bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya, yang pasti secara cepat dan menyenangkan menurutnya. Tapi Artha selalu menginginkan semua dilakukan secara terstruktur, rapih, dan sempurna membuat Sena dan Artha kerap adu argumen dalam berbagai situasi selama mereka bekerja. Meski Sena lah yang akhirnya harus mengikuti ritme dan metode kerja Artha selama ini.
Saat langkahnya telah sampai di depan pintu ruang OSIS ternyata pintu tersebut masih terkunci bahkan belum ada seorangpun yang ia lihat. Sena akhirnya memutuskan untuk menunggu. Ia duduk seorang diri di bangku kayu panjang yang terletak berjejer di sepanjang koridor menghadap ke arah langit siang itu yang terlihat begitu cerah, atau mungkin bisa dikatakan terik. Tak terasa ia larut dalam sebuah lamunan kosong. Suasana yang senyap ternyata sangat menyenangkan baginya untuk sejenak menjernihkan fikiran.
"Hei..!!!"
Gadis itu melirik sekilas pada seseorang yang baru saja datang dan mengacaukan waktu sendirinya.
“Lo lagi,” gerutu Sena saat melihat Artha kini sudah duduk di sampingnya.
“Ngapain lo ngelamun disini? Ayo cepet masuk beres-beres dulu sebelum rapat,” ucap Artha sedikit dengan nada memerintah.
“Ta—“ Panggil Sena.
“Kenapa?”
Pandangan mata Sena kini beralih menghadap Artha, ditatapnya laki-laki yang duduk disampingnya itu, “lo janji ya sama gue, jangan bilang siapa-siapa tentang apapun yang gue ceritain sama lo kemarin,” pinta Sena.
Ya, kejadian tempo hari, kala ia menangis seperti orang gila dihadapan Artha membuat dirinya hilang kendali. Saat itu mulutnya tanpa permisi mengeluarkan segala unek-unek permasalahan hidupnya kepada seseorang yang bahkan tidak dapat dikatakan dekat dengannya. Sena merasa mungkin dirinya saat itu tengah mabuk. Walaupun ia tidak yakin apakah seseorang dapat mabuk tanpa meminum alkohol. Tapi sore itu ia dengan lancar mengoarkan semua perasaan sesaknya dihadapan Artha. Bodoh, begitulah ia merutuki dirinya sendiri setelahnya.
“Lo udah nanyain itu dari kemarin berkali-kali dan gue juga udah jawab berkali-kali, dan sekarang lo masih tanyain itu lagi. Apa gue keliatan kayak cowok mulut ember?” Jawab Artha yang membuat Sena memberengkut.
“Ya bukan gitu, gue kan butuh diyakinkan, Ta,” timpal Sena.
“Terus cara meyakinkan lo itu harus selalu ditanyain tiap hari? Dan gue harus jawab hal yang sama tiap hari?” Tanya Artha yang membuat Sena kali ini tertawa mendengarnya.
“Iya iya gue percaya sama lo,” ucap Sena akhirnya.
“Ya udah cepetan masuk mumpung lo udah dateng bantuin gue beresin ruangan sama beberapa file,” ajak Artha seraya bangkit dari tempat duduknya yang diikuti oleh Sena.
Rapat berjalan cukup lancar tanpa banyak interupsi dari Artha. Biasanya rapat akan memakan waktu lebih dari dua jam dikarenakan banyak hal yang Artha koreksi. Tapi kali ini sepertinya Artha lebih santai dalam memimpin rapat. Mungkin karena mereka akan segera purna dan memang tidak terlalu banyak hal yang dibahas juga dalam rapat kali ini kecuali tentang pemilihan ketua OSIS baru minggu depan.
Rapat selesai hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Sebuah hal yang luar biasa yang Sena dan anggota lainnya rasakan. Dan yang paling penting, rapat kali ini tidak ada drama perdebatan antara dirinya dan Artha. Setelah rapat usai mereka semua segera bubar, kecuali Sena. Gadis itu masih harus menuliskan beberapa surat untuk diberikan kepada pembina OSIS dan kepala sekolah mengenai pemilihan ketua OSIS baru minggu depan. Padahal Sena sudah meminta pada Artha agar dapat mengerjakan surat tersebut dirumah, tapi Artha menolak. Artha menginginkan agar surat itu jadi hari ini juga. Sena sebenarnya sudah sangat paham salah satu sifat Artha yang lain, tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Bertolak belakang dengan dirinya yang hobi sekali menunda dan mengulur-ulur pekerjaan apalagi jika deadlinenya masih sangat lama.
“Udah cepetan jangan banyak protes, lagian bikin surat begitu 15 menit selesai kalau lo gak banyak ngeluh,” ucap Artha pada Sena yang kini masih mengomel.
Sena tidak lagi protes, dari pada ia harus berdebat dengan Artha lebih baik ia selesaikan pekerjaannya sesegera mungkin.
Suasana kembali hening hanya sura keyboard yang tengah beradu dengan jari-jemari Sena yang siang itu memenuhi ruangan tersebut. Sesekali mata Sena melirik Artha yang duduk tidak jauh dari dirinya berada. Artha tampak tengah fokus menatap layar laptopnya.
“Ta?!“ Panggil Sena disela ia masih mengetik surat.
“Hm…. Udah selesai?” Jawab Artha yang fokusnya masih belum teralihkan.
Sena kembali menatap Artha, “lo lagi ngapain sih serius amat? Lagi nonton video enggak-enggak ya lo?” Celoteh Sena asal.
Artha yang mendengar pertanyaan menggelikan Sena akhirnya mengalihkan fokusnya menatap gadis itu. Ia memperlihatkan layar laptopnya pada Sena tanpa mengatakan apapun.
“Oh…. Lo lagi liat-liat Universitas,” ucap Sena saat ia melihat apa yang sedang laki-laki itu kerjakan sejak tadi.
“Emang lo mau ambil apa Ta?” Lanjut Sena.
Artha kembali membenahi posisi laptopnya untuk menghadapnya kembali. “Kedokteran,” jawabnya singkat dan pasti.
Sena manggut-manggut. Banyak temannya yang kini sudah mulai mencari univeristas yang ingin mereka tuju dan program studi yang mereka inginkan untuk diambil. Sedangkan ia sendiri masih belum menentukan hal itu, bahkan Sena belum mimikirkannya sama sekali.
“Lo sendiri?” Tanya Artha kemudian.
Mendengar pertanyaan itu Sena yang tengah mengetik, kembali terdiam. Apa yang mau ia jawab, ia sendiri tidak tahu.
“Gue? Em…. gak tahu deh,” jawabnya jujur.
Artha kembali menatap ke arah Sena dengan tatapan penuh pertanyaan, “lo belum nentuin mau kemana dan masuk apa? Kita sebentar lagi lulus loh, dan sebentar lagi kita harus mulai mempersiapkan tes masuk universitas dan lo masih santainya jawab gak tau?” Cerocos Artha saat mendengar jawaban Sena yang tampak santai tanpa beban.
Sena menghembuskan nafas kasar, “emang kenapa kalau kita sebentar lagi lulus dan gue belum tahu harus masuk univ mana dan ambil jurusan apa? Bahkan gue sendiri gak tau gue pengen jadi apa? Atau cita-cita gue apa?” Jelas Sena dengan perasaan hampa dan kosong diwaktu bersamaan.
Artha ironis mendengar jawaban Sena. Meski ia tahu jika gadis itu memang sering tidak disiplin dan kerap mendapat hukuman karena terlambat datang ke sekolah setiap paginya. Tapi Artha tahu, Sena seorang gadis yang mengagumkan dengan berbagai prestasi yang selama ini kerap ia peroleh. Sudah dua kali gadis itu mewakili sekolah dalam olimpiade biologi tingkat nasional. Belum lagi prestasi lainnya dalam menulis berbagai essay tentang lingkungan yang kerap dimuat dibeberapa redaksi ternama. Sungguh di luar dugaan jika seorang gadis semengagumkan Sena bahkan tidak tahu arah dan tujuan hidupnya.
“Mungkin lo harus mulai mencari tahu apa yang ingin lo lakukan di masa depan, siapa tahu dengan begitu lo bisa tahu apa yang sebenarnya lo inginkan. Satu hal yang pasti, hidup kita itu bukan hanya tentang kita atau keluarga kita, tapi juga tentang bagaimana kita bisa memberikan manfaat buat orang lain,” jelas Artha sedikit memberikan saran kepada Sena.
Gadis itu hanya diam mendengar ucapan tersebut. Sena bukan tidak tahu apa yang ia inginkan, hanya saja saat ini ia tengah terpuruk. Semangatnya seolah hancur lebur. Bayang-bayang masa depan seolah menjadi buram baginya. Masalah yang datang dalam keluarganya nyatanya benar-benar mempengaruhi mentalnya saat ini. Meski ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak terlalu memikirkannya, menganggap semuanya baik-baik saja seperti apa yang selalu ibunya katakan, tapi nyatanya memang tidak semudah itu.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments