Chapter 5

2020

Suara kicau burung riuh rendah menyapa pagi di awal hari itu. Suaranya yang merdu membuncah langit dan tampaknya ia bersikeras untuk tidak mau kalah dengan suara aktivitas yang mulai terdengar di rumah sakit tersebut. Suara kereta dorong yang sesekali berdecit untuk berhenti mengantarkan makanan ke setiap kamar pasien, suara jejak sepatu yang saling sahut-sahutan, suara daun pintu yang tertutup dan terbuka dalam satuan waktu, serta suara orang yang saling bertegur sapa. Aktivitas rutin di rumah sakit mulai terasa.

Seorang dokter baru saja selesai bertugas jaga malam. Kini dengan langkah gontai ia berjalan menuju halaman parkiran untuk mengambil mobilnya dan segera pulang ke rumah. Ia sudah tidak tahan lagi untuk dapat segera membaringkan tubuhnya di atas kasur empuknya dan meregangkan seluruh otot-otot badannya yang terasa kaku. Malam tadi adalah malam yang panjang baginya. Bayangkan saja pukul dua pagi beberapa mobil ambulance datang dengan membawa lebih dari 10 pasien korban kecelakaan. Ternyata dini hari tadi terjadi kecelakaan lalu lintas beruntun. Betapa chaos nya keadaan emergency room malam itu. Tapi ia bersyukur tidak ada pasien yang meninggal, semua dapat teratasi dengan baik.

Kini ia sudah bersiap untuk menggas mobilnya, meninggalkan parkiran rumah sakit. Tapi seketika sebuah dering telfon mencegahnya.

“Ish…. Siapa sih,” keluh gadis itu yang segera merogoh tas yang ia letakkan di jok samping kemudinya.

Luna calling

“Hallo…. kenapa Na?” Sapa Sena kepada seseorang yang menelfon diujung sana.

“Sen, lo baru kelar jaga malam, kan?” Tanya Una memastikan.

“Iya, ini baru kelar, kenapa?”

“Tolongin gue dong, anterin gue ketemu orang WO,” pinta Una dengan nada memelas.

“Kapan?”

“Sekarang, please,” jawab Una yang kali ini berhasil membuat Sena menaikan intonasi suaranya dan membuat Una harus menjauhkan beberapa senti telfonnya dari telinga jika tidak ingin gendang telinganya pecah.

“WHAT?!! Lo gila!!! dadakan banget. Gue baru kelar jaga malam, badan gue rasanya remuk semua dan mata gue udah kayak zombie terus lo minta gue temenin lo, gila lo ya,” omel Sena yang mulai kesal dengan permintaan sahabatnya.

“Abis gak ada lagi yang bisa temenin gue hari ini, please dong, bentar doang kok paling setengah jam, ayo dong beb….” Una sungguh-sungguh memohon dengan nada paling memelas, ia berharap jika sahabatnya itu akan luluh dan mau mengantarnya.

Sena menimbang-nimbang sesaat, sebenarnya ia sudah benar-benar ingin segera pulang untuk beristirahat tapi ia juga tidak tega jika menolak permintaan sahabatnya itu.

“Ya udah oke, tapi beneran ya gak pake lama. Lo di rumah kan? Gue jemput sekarang. Lo udah harus siap,” jawab Sena akhirnya yang membuat Una melonjak girang di ujung telfon sana.

Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah Una tidak terlalu lama, hanya memakan waktu kurang lebih 20 menit. Kini dua sahabat itu telah berada di jalan menuju kantor wedding organizer yang akan Una temui.

“Kenapa lo gak pergi sama calon suami lo sih?”

“Calon suami gue kan lagi ada tugas di luar kota dan mba-mba wo nya minta ketemu hari ini juga dan gue kikuk kalau dateng sendirian,” jelas Una.

“Ribet amat deh orang mau nikah,” gumam Sena pelan, namun masih bisa didengar oleh Una.

Una tertawa kecil mendengar gerutuan sahabatnya itu yang sejak dahulu tidak pernah berubah. Anti ribet-ribet club, begitulah Sena mengatakannya sebagai slogan hidupnya.

“Nanti juga lo bakal ngerasain sendiri waktu lo mau nika,” ucap Una dengan senyum tersimpul di wajahnya.

“Lagian siapa juga yang mau nikah,” ketus Sena menanggapi ucapan sahabatnya.

Una menatap wajah Sena yang masih fokus menyetir. Gadis itu tersenyum miris mendengar jawaban sahabat di sampingnya itu.

“Suatu hari nanti gue yakin lo pasti bakal nikah. Gue yakin banget akan ada seorang pangeran tampan dan luar biasa yang akan meluluhkan hati keras seorang Sena,” tangan Una menepuk lembut bahu sahabatnya. Itu bukan hanya sebuah ucapan, tapi sebuah doa yang tulus Una panjatkan untuk sahabat terbaiknya itu.

“Sotoy lo, geli gue dengernya,” timpal Sena yang merasa risih mendengar kata-kata itu. Una terkekeh melihat Sena yang mulai jengkel.

...***...

Meski awalnya Una meminta untuk ditemani hanya setengah jam, tapi pada akhirnya mereka menghabiskan waktu hingga tengah hari untuk berbelanja dan pergi ke café. Kini tubuhnya terasa seperti melayang, kepalanya pusing dengan kaki yang terasa tidak menjejak bumi. Dengan langkah sempoyongan Sena bergegas menuju kamarnya. Tubuhnya ia jatuhkan begitu saja di tempat tidur dengan mata yang sudah terpejam. Ia tidak memperdulikan lagi jika dirinya belum membersihkan badan atau setidaknya mengganti pakaiannya. Sena sudah benar-benar merasa teler.

Baru saja ia akan mencapai alam bawah sadarnya. Tiba-tiba Davina masuk begitu saja ke dalam kamar putrinya, membuat gadis itu kembali ke alam sadarnya dengan cepat.

“Baru pulang? Kok mama gak denger Sena ngucapin salam sih?” Tanya Davina tanpa dosa kepada putrinya yang kini tengah mati-matian menahan kesal karena sudah membuyarkan acara tidurnya.

“Mama Sena ngantuk banget, kepala Sena pusing pengen tidur. Mama ngajak ngobrolnya nanti aja,” rengek Sena yang kini menenggelamkan wajahnya pada bantal.

Davina tersenyum melihat polah putri semata wayangnya itu, “dari mana sih? Biasanya kalau abis shift malam pulangnya pagi, kok sekarang siang banget?” Tanya Davina yang seolah tidak mengindahkan permintaan putrinya yang tidak ingin diganggu.

“Nganterin Una ketemu wo,” jawabnya yang sudah setengah sadar.

“Oh iya, Una mau nikah ya, kapan acaranya?” Tanya Davina kembali.

“Tiga bulan lagi,” Sena masih menjawab meski dengan singkat.

“Una sebentar lagi nikah, Resta bulan lalu baru tunangan, Tifani udah punya calon, terus anak mamah yang satu ini kapan dong? Kan mama juga pengen liat putri cantik mama ini menikah terus kasih mama cucu-cucu yang lucu gitu,” ucap Davina kali ini berhasil membuat Sena bangkit dari tidurnya. Rasa kantuk gadis itu seolah musnah saat mendengar celotehan ibunya yang benar-benar membuatnya gerah.

“Mama…. Kenapa sih lagi-lagi ngomongin itu melulu. Sena kan udah bilang, Sena gak mau bahas itu. Udah deh mama gak usah usil kayak orang-orang di luar sana yang suka nanayain hal gak penting kayak gitu,” kesal Sena.

Davina tidak melanjutkan lagi ucapannya. Wanita itu hanya tersenyum hangat, membelai lembut rambut putrinya sebelum akhirnya ia ke luar dari kamar Sena.

Sepeninggal ibunya, Sena kini justru termenung. Hari ini entah kenapa orang-orang terdekatnya terus saja membahas masalah itu. Sena sungguh merasa benci jika harus terus-menerus ditanya tentang pernikahan. Siapa yang tidak ingin untuk menikah. Tapi setiap kali fikiran itu muncul, maka yang Sena rasakana hanyalah perasaan takut dan sakit di waktu bersamaan. Perasaan-perasaan itulah yang akhirnya membuat nyalinya menciut. Baginya pernikahan adalah sesuatu yang terlalu jauh untuk ia capai, jika hatinya saja sudah terlalu takut bahkan untuk sedikit saja mengenal cinta. Gadis itu kini menangis seorang diri, merutuki dirinya yang merasa seperti seorang pengecut bodoh.

...*** ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!