Hari masih sangat pagi, namun sepertinya mentari masih enggan menampakkan wajahnya. Langit dihiasi oleh gulungan awan kelabu. Wanita itu tampak berdiri termenung, matanya menatap ke arah luar jendela dengan tatapan sendu. Sesekali nafas beratnya ia hembuskan, berharap mampu meredakan perasaan sesak di hatinya pagi ini. Tanpa ia sadari, dari balik pintu kamarnya yang terbuka, seorang gadis berdiri mematung menatap punggung wanita itu yang seperti tidak menyadari keberadaan seseorang dibelakangnya. Gadis itu merasakan rasa sakit yang sama seperti yang wanita itu rasakan. Perasaan sakit yang ia sendiri tidak tahu harus bagaimana untuk dapat berdamai setelahnya.
Bulir bening air matanya sudah luruh sejak tadi. Ingin rasanya ia berjalan mendekat, memeluk wanita yang terlihat begitu tegar namun ia tahu bahwa hatinya telah hancur tak berbentuk. Tapi niatnya ia urungkan. Ia teringat kembali perdebatannya seminggu yang lalu sebelum semua keadaan ini terjadi. Bagaimana wanita itu dengan tegarnya mengatakan bahwa ia tidak masalah dengan keputusan suaminya untuk menikah lagi. Dan ia berbesar hati mengizinkannya.
Davina mungkin dapat berbesar hati walau entah apa alasannya, tapi tidak dengan dirinya yang sampai kapanpun tidak akan pernah mau merestui pernikahan kedua ayahnya itu. Baginya apa yang telah dilakukan ayahnya, tidak hanya melukai perasaan ibunya, tetapi juga telah menghancurkan hati Sena.
Pagi itu ia membiarkan ibunya menyendiri. Ia biarkan hati wanita itu menangis sepuasnya. Hatinya sedang tidak menentu, sungguh sejujurnya ia tidak ingin pergi ke sekolah. Tapi ia bingung akan pergi kemana jika tidak pergi ke sekolah. Ia tidak memiliki tujuan. Baginya pergi kemanapun dalam kondisi hati yang kacau tetap tidak akan terasa menyenangkan. Setidaknya di sekolah ia memiliki ketiga sahabat terbaiknya. Sahabat yang selalu mampu mewarnai hari-harinya.
Sena telah sampai di depan gerbang sekolahnya pukul 06.40, sebuah prestasi yang membanggakan bagi seorang Sena yang sudah mendapatkan predikat si “Ratu Telat.” Ia sendiri merasa takjub atas prestasinya pagi ini untuk tidak terlambat masuk sekolah.
Ia berjalan dengan santai memasuki area sekolah. Hari ini ternyata Pak Salim yang bertugas di pos satpam.
“Pagi Pak Salim,” sapa Sena yang pagi itu sengaja mampir ke pos satpam. Tujuannya adalah untuk menyombongkan diri dihadapan pak Salim yang selama ini selalu memberikan ceramah pagi pada dirinya.
Pak Salim yang melihat kedatangan Sena segera melirik jam yang tergantung di dinding pos, memastikan kembali jika jarum jam menunjukkan waktu yang benar. Dengan wajah heran pak Salim menatap gadis itu kembali.
“Wah tumben sekali kamu berangkat pagi. Bapak sampai nyaris tidak percaya. Syukurlah satu minggu bapak cuti kamu sudah insaf sekarang,” ucap Pak Salim dengan suara baritonya.
“Iya nih pak saya tadi pagi dapet hidayah soalnya. Mungkin karena tadi malam sebelum tidur saya doa dulu, biasanya suka lupa pak,” jawab Sena asal.
“Kamu ini, anak sekolah itu memang harusnya rajin bangun pagi, jangan malas, jangan tidak disiplin seperti kamu itu kemarin-kemarin. Mau jadi apa Negara kita kalau anak mudanya pada malas, hobi jam karet, tidak disiplin. Kamu tahu Negara kita ini merdeka berkat perjuangan para anak mudanya yang senantiasa disiplin,” jelas Pak Salim dengan semangat 45 memberikan orasi pagi kepada Sena.
Gadis itu sudah terbiasa mendengarkan ceramah dari pak Salim setiap pagi. Telinganya bahkan mungkin sudah kebal dengan rentetan kata-kata itu.
“Siap! mengerti Pak!” Jawab Sena sambil memberi hormat pada pak Salim layaknya prajurit kepada komandannya.
Pak Salim hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah Sena yang sudah sangat dihafalnya.
Setelah obrolan kecilnya dengan pak Salim, Sena segera bergegas menuju kelasnya. Ia yakin jika ketiga sahabatnyapun akan terkejut saat melihat kedatangannya. Langkah kecilnya berjalan dengan raut wajah yang cerah membayangkan wajah sahabat-sahabatnya nanti saat melihat dirinya hari ini tidak terlambat.
“Pagiii…. Mi amor….”
Suara ceria Sena yang baru saja memasuki kelas membuat ketiga sahabatnya yang saat itu tengah mengobrol seketika menjeda obrolan mereka. Ketiganya kompak menatap wajah sahabatnya yang baru saja duduk dibangkunya dengan wajah sumringah.
Mereka kompak memperlihatkan wajah terkejutnya. Pasalnya, sudah hampir tiga tahun mereka bersama dan entah keajaiban macam apa yang membuat mereka selalu berada di satu kelas yang sama. Namun, ini adalah untuk pertama kalinya seorang Sena Zaahirah—si ratu telat, kali ini benar-benar datang sangat awal, bahkan saat bel masuk sekolah masih kurang dari 10 menit lagi untuk berdering.
“Kenapa lo pada?” Tanya Sena basa-basi.
“Lo lagi kesambet setan rajin dari mana bisa masuk tepat waktu gini? Apa jangan-jangan lo gak tidur semalaman ya takut telat dan kena skors?” Cerocos Tifani dengan begitu penasaran.
Sena hanya mencebbikan bibirnya mendengar ocehan Tifani. Sedangkan kedua sahabatnya yang lain masih belum berkomentar apa-apa, kecuali Resta yang tiba-tiba meletakkan telapak tangannya ke kening Sena.
“Apaan sih lo, Res. Lo kira gue lagi demam apa?!” Ucap Sena seraya menampik pelan tangan sahabatnya itu.
“Ya ampun Sen, sumpah ya gue sebagai sahabat lo bangga banget nih, akhirnya si ratu telat sekolah udah tobat. Guys, kayaknya kita harus ngadain syukuran tujuh hari tujuh malam nih buat Sena,” seloroh Una yang membuat mereka berempat tertawa.
Dan disinilah Sena benar-benar dapat sejenak melupakan seluruh perasaan sedihnya. Sesaat semua perasaan sakit di hatinya seolah teralihkan saat ia sampai di sekolah dan bertemu dengan ketiga sahabatnya itu.
...***...
Bel pulang sekolah sudah berdering sejak 15 menit yang lalu. Sena dan sahabat-sahabatnya kini masih berada di dalam kelas. Mereka masih terlalu syok karena baru saja nilai ulangan harian matematika kemarin dibagikan oleh ketua kelas. Wajah muram kini tengah menyelimuti Resta, dan Una. Sedangkan Sena dan Tifani tengah berusaha memberikan semangat kepada kedua sahabatnya itu. Memang, diantara mereka berempat, nilai Sena dan Tifani adalah yang tertinggi, bahkan diantara teman-teman kelas yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika Sena dan Tifani adalah dua orang manusia yang mungkin dianugerahi otak yang encer. Bahkan jikapun mereka dihadapkan pada ujian dadakan seperti kemarin, tidak ada yang menyangsikan jika keduanya pasti akan selalu mendapatkan nilai yang bagus diantara yang lain.
“Gimana dong cara kita buat ngehibur kalian?” Tanya Tifani kepada kedua sahabatnya yang masih murung.
Sedangkan Sena hanya berusaha menenangkan dengan menggenggam tangan kedua sahabatnya itu. Jujur saja, dalam posisi seperti ini Sena memang tidak pandai menenangkan perasaan orang lain. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan agar kedua sahabatnya yang tengah bersedih ini dapat kembali ceria.
“Nilai matematika gue ancur banget, semester lalu nilai gue juga jelek banget di matematika. Sedih gue, bokap gue bisa ngamuk lagi kalau nanti pas bagi rapot nilai matematika gue ancur lagi,” jelas Una yang masih menatap kertas ulangannya dengan nanar, melihat angka 50 terpampang dengan besar di sana.
“Udahlah percuma juga gue nangis darah, ini nilai gak akan berubah juga. Cape juga gue sedih, ngapain. Toh orang tua gue juga gak peduli sama nilai-nilai sekolah gue, peduli sama sekolah gue aja enggak,” cetus Resta setelah menangis untuk sesaat. Gadis itu segera menyeka air matanya. Menatap Una dan memberikan kekuatan kepada sahabatnya itu.
Sena dan Tifani menatap Resta dengan tatapan ironis. Keduanya kompak terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Sena memecah kesunyian itu.
“Nah gitu dong semangat lagi. Nilai matematika kita bukan penentu masa depan kita, yang penting kita berjuang aja sebaik yang kita bisa, buat mimpi-mimpi kita, buat masa depan kita, ya gak?”
“Kalian enak orang tua kalian gak nuntut macem-macem, lah bokap gue, dia dosen matematika. Dan bokap gue dari gue kecil benci banget kalau ngeliat nilai matematika anaknya ancur. Semester lalu gue harus dikurung di rumah buat belajar matematika, kalau semester ini nilai gue ancur lagi, gue gak tahu bokap gue akan kayak gimana marahnya, gue takut,” jelas Una dengan wajah yang semakin murung jika mengingat betapa keras ayahnya dalam mendidiknya dan juga kakak-kakaknya.
“Harusnya bokap lo paham, kalau potensi anaknya itu pasti beda-beda. Lo mungkin gak sejenius bokap dan kakak-kakak lo dalam bidak eksak. Tapi gue yakin lo punya potensi lain yang juga gak kalah hebatnya. Heran deh sama orang tua yang kayak gitu,” sungut Tifani yang selalu saja emosi jika mendengar ada orang tua yang terlalu memaksakan kehendak kepada anak mereka tanpa melihat kesanggupan dari anak-anak tersebut.
Semua hening kembali. Mereka tengah sibuk dengan fikiran masing-masing. Sena kini menyadari, bahwa sahabat-sahabatnya ternyata memiliki masalahnya sendiri-sendiri.
Awalnya ia ingin bercerita tentang masalah yang tengah dihadapinya saat ini kepada sahabat-sahabatnya tersebut. Tapi melihat bagaimana mereka sekarang, ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin semakin membebani fikiran sahabat-sahabatnya.
“Ya udah yuk pulang, udah sepi sekolah juga. Gue harus balik naik angkot nih,” ucap Sena kepada sahabat-sahabatnya yang masih terdiam.
Mendengar ucapan Sena, mereka semua segera bangkit dari tempat duduk dan bersiap untuk pulang. Sena kini berjalan seorang diri setelah berpisah dari sahabat-sahabatnya. Niat hatinya yang ingin segera pulang ia urungkan. Ia sedang enggan untuk buru-buru pulang.
Gerimis kecil tiba-tiba turun yang membuat gadis itu harus memacu langkahnya, mencari tempat untuk berteduh. Sebuah toko kue yang berada di sisi jalan tempatnya berjalan menjadi pilihan. Gadis itu segera masuk ke dalam. Bunyi lonceng pintu toko tersebut terdengar saat Sena membuka pintunya. Aroma lezat nan menggeletik indra penciuman itu segera menyambut kedatangan Sena yang saat ini perutnya memang tengah meronta-ronta meminta untuk diisi. Sebuah toko kue kecil yang terlihat bersih dan nyaman. Hanya ada beberapa meja dan kursi di sana, tidak banyak. Sebagian besar dekorasi dan warna cat tembok toko tersebut didominasi dengan warna pastel. Cantik sekali, begitulah kesan pertama yang diperlihatkan oleh toko kue itu.
Sena berjalan menuju etalase yang memamerkan berbagai macam kue. Gadis itu akhirnya memilih cheese cake yang terlihat sangat menggoda dan tidak lupa ia meminta cappuccino panas sebagai teman makan kuenya. Seorang pelayan kini tengah menyiapkan pesanannya yang tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama untuk menyiapkan. Sena hanya tinggal membayar dan gadis itu segera membawa pesanannya yang berada pada nampan menuju tempat duduk. Pilihan duduknya jatuh pada sebuah meja yang terletak dekat kaca jendela toko tersebut. Dari sana ia bisa memandang langsung gerimis yang mulai mengganas. Hujan deras.
Gadis itu kini tengah menikmati kuenya sambil melihat ruas jalan yang tengah diguyur hujan. Suasana hatinya seolah kembali kelabu kala tatapan matanya melihat seorang ibu yang tengah berteduh di seberang jalan mendekap tubuh anaknya agar tidak kedinginan. Sena kembali teringat akan kondisi ibunya saat ini. Mungkin ibunya masih menangis di kamar, atau kini tengah merasakan kesepian seorang diri di rumah. Sena merutuki dirinya sendiri yang dirasa begitu egois dengan memilih untuk menghindar dan kini malah tengah duduk di sebuah kedai kue. Bulir jernih itu seolah mengalir tanpa permisi membasahi pipinya. Sesaat ia membiarkan air mata itu menetes, mungkin dengan begini ia dapat merasakan sedikit saja sebuah persaan lega. Toh, kedai kue ini juga terlihat sepi, hanya ada dirinya seorang.
“Sena?!” Seru seseorang yang tanpa Sena sadari kehadirannya.
Sepasang mata itu saling menemukan saat Sena mengalihkan pandangannya ke arah seseorang yang memanggil namanya. Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat kini Artha sudah berdiri dihadapan meja tempatnya duduk.
Tatapan mata laki-laki itu seolah tengah menelisik. Dan menyadari jika masih ada sisa air mata, Sena segera menyeka air mata itu dengan gerakan cepat menggunakan telapak tangannya. Perasaan kikuk kini tengah menghinggapi gadis itu, seolah ia baru saja tertangkap basah melakukan sebuah perbuatan yang memalukan.
Tanpa meminta persetujuan dari gadis dihadapannya, Artha segera meletakkan nampan yang terisi beberapa kue dan minuman coklat panasnya di atas meja tempat Sena kini duduk.
“Lo kenapa?” Tanpa basa-basi Artha langsung menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat Sena kalang kabut.
Gadis itu bingung harus menjawab apa. Ini untuk pertama kalinya ia ketahuan menangis oleh seseorang selain keluarga dan ketiga sahabatnya. Sungguh hal yang sangat memalukan bagi Sena.
“Kenapa? Gue gak kenapa-kenapa. Lo sendiri lagi ngapain di sini?” Jawabnya mengelak seraya mengalihkan pembicaraan.
Artha hanya mendengus mendengar jawaban klise tersebut. Ia tahu itu adalah sebuah jawaban yang penuh kebohongan dari seorang makhluk bernama perempuan. Tapi sudahlah, ia tidak ingin dicap sebagai orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain.
“Gue mau beli lem aibon,” jawab Artha seraya menyuap potongan brownis kedalam mulutnya.
“Dasar sinting!” Cerca Sena saat mendengar jawaban Artha yang menjengkelkan.
Artha tersenyum ditengah kunyahannya, “ya lagian lo pake tanya ngapain gue di sini. Udah tahu ini toko kue, masa gue mau beli lem aibon,” ucap Artha sembari tertawa kecil melihat wajah Sena yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tajam yang siap membunuh.
Sena enggan menimpali ucapan Artha. Ia lebih memilih kembali khusyu dengan potongan cheese cake-nya yang sempat ia abaikan.
“Ada yang pernah bilang, kalau kita sedih maka menangislah sekuat tenaga, maka kesedihanmu akan sirna,” ucap Artha tiba-tiba yang kini tengah terfokus menatap Sena.
Mendengar ucapan Artha tersebut membuat Sena yang hendak memotong kue miliknya seketika menghentikan geraknya. Wajahnya kini terangkat lurus menatap wajah Artha yang juga sedang menatap ke arahnya.
“Maksud lo?” Tanya Sena meminta penejelasan dari kata-kata yang baru saja ia dengar.
Artha menghembuskan nafasnya kasar, “gue rasa lo gak bodoh untuk mengerti maksud dari ucapan gue tadi,” timpal Artha kemudian sebelum keduanya kini kembali diliputi senyap.
Sena menundukkan pandangannya, ucapan Artha seolah berhasil membuat pertahanan dirinya kembali runtuh. Tanpa bisa untuk ditahan lagi, ia kini kembali menangis, sebuah tangisan yang memilukan. Air matanya jatuh tak terbendung. Artha hanya diam menatap gadis di hadapannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan gadis itu menumpahkan semua kesedihannya.
...*** ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments