Ketika sampai di rumah sakit, Ana lantas bergerak ke tempat administrasi. "Permisi saya mau tanya di mana korban kebakaran yang baru saja tiba?"
"Apa kau keluarga dari kedua pasien?" Si perawat balik bertanya.
"Iya saya keluarganya."
"Kedua pasien tengah berada di dalam UGD, silakan menunggu." Ana pun mau tak mau harus berjalan lemas ke ruang tunggu di depan UGD. Tom, sahabat yang ikut bersamanya turut simpati dan menghibur.
"Yang sabar Ana." Ana mengangguk lemah dan menutup wajahnya dalam-dalam di kedua telapak tangan. Menunggu dengan frustasi sampai dokter datang bersama raut wajah lelah yang tampak.
"Dokter ...." Si dokter berhenti dan menoleh pada Ana. "Apa dokter yang menangani Ayah dan adik saya?" tanya Ana dengan mimik muka cemas.
"Anda keluarga dari kedua pasien?" Ana mengangguk. Si dokter mengembuskan napas berat. "Maaf kami berusaha semaksimal mungkin tetapi Ayah anda tak bisa kami selamatkan. Sekarang dia tengah sekarat dan menginginkan kau menemui secepatnya."
"Lalu bagaimana dengan Lina, adik saya?"
"Dia terluka cukup parah di bagian leher. Kondisinya kritis dan perlu di operasi." jawab si dokter.
"Operasi?" Hendak menjawab tiba-tiba ponsel si dokter berbunyi. Si dokter itu pun sesudah mengangkat telepon, berjalan meninggalkan Ana beserta Tom tanpa membalas perkataan.
Lantas Ana masuk dan menemukan Ayahnya tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Ana ...." suaranya bahkan terdengar sangat lemah membuat Ana miris. Didekatinya pria itu dan menggenggam tangan ketika Walter berusaha menjangkaunya.
"Anaku sayang, maafkan Ayah tak bisa menyelamatkan Ibu dan adikmu. Ayah pun harus meninggalkanmu meski sebenarnya Ayah tak ingin. Apa yang akan terjadi padamu dan juga adikmu jika Ayah tak ada, Ayah pun tak bisa membayangkan." Gadis itu hanya diam tetapi air mata tetap menetes di pipi.
"Ana, kau sudah dewasa meski belum sepenuhnya. Jaga adikmu, Ayah yakin kau pasti bisa melakukannya karena kau bertanggung jawab. Kau bisa, 'kan memenuhi permintaan Ayah?"
"I-iya Ayah pasti.. aku a-akan terus menjaga Lina dan membuatnya bahagia ... Aku sayang Ayah." Walter tersenyum lemah. Dengan sisa tenaga Walter membuka kedua lengan dan tanpa berkata Ana merebahkan tubuhnya di atas sang Ayah, memeluk Walter untuk terakhir kalinya.
"Ayah juga sayang padamu Ana." Dalam pelukan sang putri sulung, Walter mengembuskan napas yang terakhir. Goyahlah pertahanan Ana yang tak mampu membendung kesedihan.
Perawat pun mengambil alih dan membuka semua alat yang membantu Walter sebelum akhirnya mereka menutup jenazah dengan kain. Kaki Ana yang lemas keluar beserta dengan mayat Ayah yang berpindah menuju kamar mayat.
Meski larut dalam kesedihan, pikiran Ana melayang bagaimana caranya mendapatkan uang yang begitu banyak untuk operasi sang adik sedang Lina harus secepatnya operasi.
"Permisi ...." Sepasang mata Ana mendarat pada seorang dokter wanita yang menghampiri. Kedua matanya menatap tepat pada Ana sedang tangannya memegang sebuah dokumen.
"Apa kau wali dari Lina Erickson? gadis yang terluka dengan sayatan di leher?" tanyanya dengan sedikit melirik pada dokumen tersebut.
"Iya, saya kakaknya."
"Aku dokter Aikara, aku akan mengoperasi adikmu jadi aku minta--"
"Tapi aku tak punya uang sedang aku baru saja kehilangan rumah dan kedua orang kami juga telah meninggal," potong Ana bernada sendu.
"Itu tak penting sekarang kau perlu tanda tangan dokumen ini. Nyawa adikmu lebih penting." kata Aikara sembari memberikan dokumen yang dipegangnya. Ana memandang dokumen yang disodorkan dan Aikara secara bergiliran.
"Apa dokter serius mau menyelamatkan adik saya tanpa uang?" tanya Ana masih tak percaya dengan Aikara. Aikara membuang napas kasar.
"Aku ini seorang dokter, aku berusaha menyelamatkan nyawa pasien bukan untuk menyusahkan mereka. Tanda tangan dan aku akan sebisa mungkin menyelamatkan adikmu." Gadis itu segera menandatangi dokumen dengan tangan bergetar. Dia tak tahu harus melakukan apa selain percaya pada dokter Aikara.
"Tolong selamatkan adikku ya dok." Dokter pun hanya mengangguk dan menyuruh beberapa perawat yang mengikutinya agar cepat membawa Lina ke ruang operasi.
Ana merasa sedikit lega dan duduk kembali di kursi yang disediakan. Tangannya lalu terulur mengambil sebuah kartu nama di saku. Ditatapnya lama sambil mengingat perkataan si pria yang menginginkan Ana untuk bekerja. Ini adalah kesempatan Ana, membayar biaya rumah sakit! Dia harus ke tempat pria itu!
"Tom, bisakah kau menunggu di sini. Aku akan pergi ke suatu tempat untuk meminjam uang." Terlihat raut wajah Tom tidak enak.
"Sebenarnya aku tak bisa berlama-lama, jadi bisa tidak kau menghubungi tetangga yang dekat dengan kalian untuk menemani Lina?" usul Tom.
"Baiklah. Aku akan menghubungi Bibi Dian agar datang ke sini." Menghubungi Bibi Dian, wanita itu bersedia dan pergi selekas mungkin ke rumah sakit.
Dia lagi-lagi meminta bantuan Tom untuk menuju alamat kerja si pria yang tak dia kenal itu. Tom pun menurutinya dengan mengantarnya dan begitu sampai mereka sama-sama terdiam karena alamat yang mereka bawa adalah sebuah club.
"Kau yakin ingin masuk? Aku rasa pria yang memberikan kartu ini bukan orang baik terbukti alamat ini sebuah klub." kata Tom meminta Ana untuk memikirkan dua kali tentang dirinya meminjam pada si pria.
"Tapi aku tak punya pilihan hanya ini saja yang bisa aku lakukan demi adikku." Tom membuang napas berat.
"Baiklah aku mengerti. Jaga dirimu baik-baik." Sesudah mengucapkan selamat tinggal, Tom pun pergi meninggalkan Ana sendirian. Dengan keberanian, Ana berjalan mendekati penjaga yang sedang memeriksa beberapa orang yang hendak masuk.
"Permisi, aku mau bertemu dengan pemilik kartu ini." Salah satu penjaga mengambil dan melihat kartu nama tersebut sebelum melihat lagi pada Ana dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ayo ikuti aku." Tentu saja Ana langsung mengikuti dan begitu masuk telinganya di sapa dengan musik yang memekakan telinga. Begitu banyak orang. Ada yang menari di lantai dansa, ada yang mengobrol dan lain-lain.
Masuk ke dalam lagi. Ana melihat beberapa pasangan tengah bercumbu bahkan melakukan sesuatu yang lebih membuat suasana menjadi tak enak terutama saat beberapa pria yang sedang bercinta memandangnya dengan tatapan tajam.
"Bos, ada yang ingin bertemu denganmu." Perkataan si penjaga menyadarkan Ana dan sepasang mata Ana melihat pria yang baru dia kenal tengah bertelanjang dada duduk bersama beberapa wanita yang mencumbu tubuhnya.
"Oh ternyata kau, wah cepat sekali kau menghubungiku. Katakan kau tertarik dengan pekerjaan yang aku tawarkan?" tanyanya dengan senyuman smirk.
Ana menunduk. "Ya, aku mau dan aku meminta bantuanmu. Adikku sedang di operasi dan aku butuh uang secepatnya jadi aku ..."
"Kau ingin aku membayar operasinya? Itu gampang asal kau mau--"
"Berapa uang yang kau butuhkan?" suara seorang pria menginterupsi cepat. Ana menoleh ke sumber suara dan menemukan sosok pria yang memandangnya dingin. Tangannya menggenggam segelas yang masih terisi penuh bir.
Sama seperti pria di sebelahnya, pria itu mempunyai beberapa wanita yang menggodanya tetapi dia tak menggubris.
"Mm, aku masih belum tahu karena adikku sedang di operasi dan pihak rumah sakit belum memberikan tagihannya." kata Ana dengan kepala yang menunduk, sungguh Ana merasa sangat terintimidasi dengan pandangan si pria yang baru bertanya itu.
Ana makin ketakutan mendengar beberapa langkah mendekat dan tiba-tiba saja kepalanya terangkat memandang si pria yang saat ini tengah mencengkram wajahnya dengan satu tangan.
"Aku akan membayar semua pengobatan adikmu asal kau harus tinggal bersamaku, bagaimana?" Pandangan si pria begitu menusuk pada Ana sehingga gadis itu hanya bisa mematung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
𝕽𝖈⃞Butirn𝕵⃟dBUᶜʙᵏⁱᵗᵃ
🤧🤧🤧🤧🤧
2021-08-27
0
Kenzi Kenzi
wowwwwww
2021-01-30
0
Vivianvellanie
lanjut
2021-01-18
0