Dear Diary,
Inilah cerita empat puluh hari setelah aku tenggelam. Kalau boleh aku jujur, empat puluh hari ini adalah hari-hari yang berat menurutku. Sebuah awal dari perjalananku menjadi seorang indigo.
***
Setelah tiga hari melakukan pemulihan di ruang perawatan rumah sakit. Akhirnya hari ini aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Menjalani rawat jalan di rumah dengan harus tetap melakukan kontrol rutin.
Sesampainya di rumah aku langsung berlari menuju kamarku di lantai dua. Rasanya aku rindu sekali dengan rumah dan seisinya. Membuatku tak sabar untuk segera bermain.
"Kalista sayang jalan saja. Hati-hati! Tidak usah terburu-buru." Teriak mama karena aku berlari menaiki anak tangga.
- Ceklek -
"Aira......" Teriakku memanggil adik yang berada di dalam kamar.
"Kakak..." Balas Aira.
"Aira kangen kakak." Tambahnya.
"Kakak juga kangen Aira."
Kenalkan dia adalah adiiku Qumaira Kusumaningrum Rahardjo, biasa dipanggil Aira. Usia kami terpaut empat tahun, kini usianya lima tahun. Kami memiliki satu kamar yang sama dengan dua bed tempat tidur. kamar tersebut as sekaligus ruang bermain kami, karena banyak sekali mainan koleksi bersama.
Aku buka korden beserta jendela kamarku. Jendela kamar adalah salah satu tempat favoritku di kamar. Dari situ aku melihat pemandangan rerumputan hijau di bawah sana. Tepat di pekarangan rumah kami yang penuh dengan tanaman buah, bunga, dan sayur. Meskipun tinggal di kota, kedua orang tuaku suka menanam.
Setelah aku buka jendela, angin pun perlahan masuk ke dalam kamar. Sembari melihat pemandangan luar kamar, aku hirup udara segar sore itu. Rasanya adem dan tentram, bisa kembali ke rumah ini.
"Tutup jendelanya nak, sudah menjelang Magrib ini." Suara mama memecah fokusku.
"Ayo segera ditutup jendelanya." Katabya lagi karena aku tetap berdiri mematung di dekat jendela.
"Kalista!" Kali ini panggilannya disertai penekanan. Itu artinya mama sudah mulai kesal. Aku pun langsung menutup jendela beserta kordennya.
"Emang kenapa sih ma?" Tanyaku.
"Magrib itu waktunya semua bagian rumah, pintu dan jendela ditutup. Takut ada yang masuk." Katanya.
"Siapa emang yang mau masuk malam-malam begini." Protesku.
"Kalau dibilangin orang tua jangan ngeyel ya. Itu nasihat nenek sejak mama kecil."
"Iya deh iya ma."
Aku lihat jam sudah menunjukkan pukul 17.15 WIB. Mama ke kamar untuk mengantarkan makan sore beserta obat yang harus aku minum. Diletakkannya nampan itu di meja kecil samping tempat tidurku.
"Ayo sini, makan dulu. Habis itu diminum obatnya." Perintah mama kepadaku.
Aku pun menurut dengan mama. Setelah disuapin makan dan minum obat. Mama menyuruhku untuk segera tidur. Karena kata dokter aku harus banyak istirahat. Mama meninggalkan aku dan Aira di dalam kamar.
Aku berusaha menuruti apa kata mama untuk segera tidur. Namun rasanya mataku sama sekali tak bisa terpejam. Padahal baru saja aku minum obat yang di dalamnya mengandung obat tidur. Tetapi tidak berdampak apapun bagiku. Ku lihat Aira yang tadi bermain boneka sendiri, kini dia sudah tertidur di ranjangnya.
Meskipun susah, aku tetap berusaha untuk tertidur. Belum lama aku tidur. Rasanya sekujur tubuhku panas. Masih dengan mata terpejam, aku buang selimut yang menutupi tubuhku. Saat itu tanganku rasanya menyentuh sesuatu. Tetapi aku tahu apa itu. Sesuatu itu sangat dekat denganku. Dengan masih terpejam ku coba merabanya. Menurut analisis di dalam pikiranku, itu hanyalah guling. Ya, bentuknya mirip sekali dengan guling. Namun, aku tidak terbiasa tidur dengan guling. Lalu apakah sesuatu disampingku itu. Pikiranku terus bertanya-tanya, mencoba menebaknya.
Hawa ruangan semakin terasa panas. Tubuhku mulai berkeringat. Aku yang awalnya tidak ingin membuka mata. Dengan terpaksa aku harus membuknya. Inginku mencari remote AC, untuk mengurangi rasa panas di dalam kamarku. Ku buka mataku perlahan.
Dan ternyata.....
Sesosok mahluk putih berbentuk seperti guling, dengan ikat di bagian atas kepala dan bawah kaki. Terbalut kain berwarna putih kecoklatan karena telah bercampur tanah. Ya, orang menyebutnya pocong. Wajahnya tepat di depan wajahku, jika ku perkiraan kan kami hanya berjarak sepuluh centimeter. Wajahnya terlihat pucat dengan kapas yang masih menempel di hidungnya. Matanya menatapku tajam dan dalam. Baunya anyir seperti bau darah. Seram adalah satu kata yang mewakili dia.
Jantungku berdebar sangat kencang. Napasku terengah-engah melihat sosok itu tepat di depanku. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun apa daya suaraku tertahan. Aku tak mampu mengatakan apapun. Rasanya tenggorokanku ada sama sekali tidak berfungsi saat itu. Air mataku menetes di keduah pipiku, bercampur peluh yang terus keluar. Aku menangis di dalam hati, karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Tuhan tolong aku. Jauhkan dia dari hadapanku." Doaku dalam hati.
"Tuhan aku mohon. Jauhkan dia dari hadapanku." Ulangku.
"Ya Tuhan, ku mohon."
Aku terus berdoa di dalam hati dengan doa-doa yang pernah mama dan nenekku ajarkan. Setelah lama aku berdoa, mengucapkan ayat-ayat sesuai kepercayaanku. Aku sedikit tenang, karena aku yakin Tuhan selalu ada bersamaku. Namun, dengan doa-doa itu sama sekali tidak membuat pocong itu hilang dari hadapanku. Dia terus di depan mataku, terus menatapku. Ketika aku berusaha mengalihkan pandangan dia selalu mengikuti kemana aku berpaling.
Teng ..... Teng ..... Teng .....
Suara jam dinding tua koleksi papaku berbunyi. Menandakan saat ini telah pukul 00.00 WIB. Sangat lama sekali rasanya malam ini. Aku ingin sekali malam cepat selesai. Mungkin dengan begitu "dia" akan pergi ketika malam telah berganti pagi.
Detik demi detik ku lewati dengannya yang masih tak berubah sedikitpun dari posisinya. Lama kelamaan aku lelah, aku berusaha memejamkan mataku. Namun rasanya mataku kaku dan tak mau terpejam. Sebenarnya aku ngantuk sekali.
Kini akhirnya aku pasrah dengan keadaan. Aku pandangi "dia" yang masih terus memandangku. Lama sekali bola mata kami saling bertemu. Tiba-tiba saja dia menghilang dari pandanganku. Cepat sekali dia menghilang. Ku lihat sekelilingku untuk mencari keberadaan ya. Namun, tidak ku temukan sosok itu lagi. Ternyata selang beberapa menit kemudian Adzan Subuh berkumandang. Aku pun menarik napas lega dan akhirnya tertidur pulas.
Ceklek.
Mama membuka kamarku tepat pukul 07.00 WIB. Bergegas membangunkanku untuk menyuruh sarapan dan minum obat. Dibukanya jendela dan korden kamarku. Merapihkan selimut yang kubuang ke lantai semalam.
"Sayang bangun yuk. Sarapan dulu terus minum obat." Katanya sembari mengelus keningku.
"Lho kamu demam nak?"
"Kita ke dokter ya nak." Kata mama panik.
"Papa.... Papa.... " Teriak mama memanggil papa yang sedang sarapan di bawah.
"Ada apa ma?" Papa menghampiri mama.
"Kalista demam pa. Kita harus bawa dia ke rumah sakit."
"Ehmm ...." Aku mendehem lemah.
"Nak kamu kenapa?" Tanya mama lagi.
"Aku gak apa-apa kok ma." Kataku dengan lemah.
"Aku hanya kurang tidur."
"Kita harus ke rumah sakit nak." Ajak mama.
**
Malam berikutnya.
Benar kataku bahwa aku hanya kurang tidur saja. Setelah dari rumah sakit tadi pagi. Selama seharian aku tidur, hanya terbangun ketika mama menyuruhku minum obat. Rasa lelah bermalam dengan "dia" sudah sedikit menghilang.
Sejak minum obat sore tadi aku kembali tertidur. Rasanya ngantuk sekali. Entah karena bawaan obat tidur atau memang lelah begadang semalaman. Pokoknya aku tertidur setelah minum obat dan terbangun sekitar jam 21.00WIB.
"Lho udah malam ya?" Gumamku.
"Yah, Aira sudah tidur" Aku melihat Aira terlelap di ranjangnya.
Aku beranjak ke toilet yang masih ada di dalam kamar. Setelah buang air kecil, aku pun kembali ke ranjangku. Aku nyalakan AC kamar, kemudian kutarik selimut untuk menutupi badanku.
"Kok baunya?"
Hidungku mengendus-endus bau tersebut. Memastikan kalau itu hanya halusinasiku. Tapi lama kelamaan bau itu semakin tercium anyir.
"Ah iya! Bau ini seperti?" Kata-kataku terhenti.
Ya, anyir darah seperti bau yang malam kemarin aku cium. Saat aku tidur bersama "dia". Aku pun mulai gugup dan berniat menutupi badanku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan selimut. Belum sempat niatku terlaksana. Ketika aku menengok ke kanan. Dan ya!
Dia ada lagi disana. Dengan tampilan yang sama seperti malam sebelumnya. Tidak ada yang berubah sama sekali dengannya. Tatapannya masih saja tajam dan seram. Lagi-lagi aku tak bisa berkata-kata semua bagian tubuhku kaku. Jangankan berlari untuk berteriak saja aku tak mampu.
"Tuhan. Kenapa kau hadirkan lagi dia di hadapanku." Protesku pada Tuhan.
"Apa kurang cukup aku tidur dengannya kemarin malam?"
"Sudah Tuhan! Sudah! Aku gak mau kaya gini!"
Selain berdoa dalam hati aku juga protes kepada Tuhan. Meskipun dalam hati, biarkan saja aku luapkan kekesalanku itu. Malam itu berjalan sama persis seperti malam kemarin. Terasa lama dan panjang sekali malam itu. Lagi-lagi aku pasrah dengan keadaan. Aku hanya bisa menanti Adzan Subuh untuk bisa tidur.
Bagaimana dengan malam berikutnya?
Masihkah "dia" akan menemani tidurku lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Radin Zakiyah Musbich
ijin promo sekalian 🙏
jgn lupa mampir di novelku jg dg judul "AMBIVALENSI LOVE"
kisah cinta beda agama 🦋🦋🦋
jgn lupa like and comment, ku tunggu 🙏🙏🙏❤️
2020-10-03
0
W.Willyandarin
seru kak
2020-09-08
0
Elina EL
aku bacanya waktu jamkos, kan rame suara temen" pada berisik jdinya aku gk takut, tp nggk tau lagi nanti malem moga aja gk kebawa😅
2020-09-08
1