Makanan pun tersedia di meja makan saatnya untuk disantap keluarga besar yang sudah pakai komplit melengkapi bangku bangku yang kosong. Abrar tak sabar lagi untuk menyantapnya. Obrolan-obrolan ringan pun berubah menjadi obrolin yang sedikit berat. "Cie sekarang bentar lagi bakalan jadi ibu rumah tangga."
"Iya nih mah bentar lagi jadi ibu rumah tangga. Siap-siap harus siap siaga sama suami dan siap-siap juga buat nanti punya anak," ucap Ema yang berbeda sekali ketika beberapa tahun kebelakang yang masih manja dan masih kekanak-kanakan kini berubah menjadi sosok yang keibuan dan dewasa. Semakin berjalannya waktu akan seperti itu manusia akan berubah ketika di waktu yang tepat.
"Rencananya kalian akan menikah kan di bulan akhir? Emang jadikan?" tanya mama kepada Ema kakak pertama Abrar. Kebetulan mereka sedang duduk di meja makan.
"Iya mah, kayaknya sebulan lagi, persiapan sudah hampir selesai kok. Ya kali mah kalau enggak jadi mah ribet mau cari cowok yang kayak gimana lagi kan mantan-mantan aku semuanya enggak mama setujuin kecuali sama mas Benny? Akhirnya aku dapat restu juga dari mama."
"Bagus dong. Pokoknya kamu harus jadi istri yang baik ya bagi suami kamu. Bukannya mama pilih-pilih ya karena pengen anak mama bisa nemuin orang yang bener-bener sayang sama dia dan bisa ngejagain anak kesayangan mama yang lama rawat selama ini dari kecil sampai sekarang."
"Iya dong mah, pastinya," sahut Ema yang begitu santai sekali menjawab ucapan mama.
"Pada kita dan keluarga dia menjadi keluarga bersama kamu sebagai anak harus menjaga harkat dan martabat keluarga kita dan kamu harus jadi istri yang penurut kepada suami kamu sendiri nantinya."
Oke sekarang giliran Abrar.
"Abrar," panggilnya di hadapan warga yang lain.
"Iya mah?"
"Kamu masih saja ya pacaran sama perempuan itu? Kenapa gak kapok juga sih buat jalanin hubungan? Kenapa kamu berani sekali ajak dia ke sini kemarin? Kenapa kamu bawa dia ke pesta Chilla?"
"Mah, mama kan tau kalau misalnya aku cinta dan sayang dia dengan tulus dan kita juga udah lama juga kok saling kenalnya." Ema hanya bisa menatap kedua mata adiknya yang begitu fokus sekali menjawab.
"Kamu contoh kakak kamu, apakah kamu bisa cari yang sepadan dan dia. Masa kamu nggak bisa sih?"
"Mah semua orang tuh punya cerita dengan masing-masing orang itu punya caranya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Jadi nggak bisa disamaratakan mah semua orang itu beda-beda. Mama dan papa aja beda iya kan?"
"Kamu jangan cantik itu ngomong sama mama ya udah berani sekarang?"
"Udah-udah di meja makan nggak boleh ngomong kayak gitu."
Abrar merasa tak terima apabila mama menjelek-jelekkan Alya, karena Alya tidak seperti apa yang dibilang. Alya adalah gadis sederhana dan baik yang selama ini tidak pernah seperti orang-orang pikir. Tak berapa lama Benny pun datang, dia adalah calon suami Ema yang sudah direstui hubungannya mereka berdua oleh mama dan papah karena mereka sama-sama berprofesi sebagai dokter. Benny salim kepada kedua orang tua yang duduk mengapit Ema kanan dan kiri. "Hallo tante hallo om assalamua'laikum."
"Waa'laikumsalam."
"Maaf banget ya aku telat datangnya tadi kebetulan di jalan ada macet jadi terpaksa deh buru-buru datang ke sini takut telat soalnya."
"Jangan buru-buru juga ntar kalau misalkan ada apa-apa kayak gimana jangan ngebut ya!"
Kedekatan antara Benny dan mama begitu dekat sekali. Diantara pacar-pacar Ema yang lain hanya Benny yang direstui oleh mama dan papah, karena selain berprofesi yang sama dengan anaknya dia juga memiliki paras yang ganteng yang bisa sepadan dengan Ema.
"Kamu lapar? Ya udah yuk makan?"
"Nggak usah tante nggak papa kok aku udah kenyang tadi di rumah udah makan juga. Aku kesini cuma pengen silaturahmi aja pengen deket sama keluarga yang ada di sini. Abrar kamu kenapa?"
Abrar hanya menggeleng pertanyaan dari Benny. Ia sudah galau dengan pertanyaan dan ocehan mama tadi. "Nggak papa nggak papa kok." Karena Abrar adalah status adik dari Ema maka ia tidak terlalu menanyakan sesuatu yang terlalu berlebihan.
Ema pun berbisik kepada Benny. "Biasa dia lagi galau jadi gitu deh mukanya dan raut wajahnya nggak bisa ditebak sama sekali." Benny mengangguk dengan paham ucapan dari Ema tersebut.
"Oh iya rencananya kamu mau kenalin temen kamu sama Abrar kan? Kapan?"
"Hah?"
Abrar langsung saja menatap kedua mata Ema dengan tatapan yang begitu sangat tajam seolah-olah ia berharap agar kakaknya tak menyambut pertanyaan dari mama. "Nggak tau juga mah nanti deh aku urus lagi."
"Mampus gue bisa-bisa gue di musuh yang sama Abrar!" Gumamnya dalam hati yang memposisikan ketika ia ditanya seperti itu oleh mama.
"Mau ke mana kamu Abrar?" Abrar sudah merasa tak nyaman dia pun memundurkan bangku yang ia duduki di sedari tadi, permisi untuk ke kamarnya kalau punya percakapan hanya dengan gerak-gerik mereka pun tahu maksud dan tujuan Abrar tersebut.
"Abrar ngantuk kali mah."
"Masih ngantuk udah jam segini? Biasa juga larut malam?" Geleng mama dengan singkat. Abrar melangkahkan kaki menuju ke arah kamar ia langsung saja mengunci kamarnya dengan cepat. Ia bete banget ketika mama bersikap seperti itu. Seharusnya mama tidak perlu ikut campur karena ia merasa dirinya sudah dewasa tidak perlu diatur-atur seperti anak kecil lagi ya sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk kedepannya nanti. Perkara baik atau tidaknya itu balik lagi ke konsekuensi yang dipilih oleh Abrar sebagai seorang anak.
***
Abrar masuk ke dalam kamarnya. Ini sama sekali tak terima dengan ucapan mama tadi di ruang tamu. "Kenapa sih mama kayak gitu banget menilai Alya. Padahal kan yang dinilai itu hatinya. Apa besok gua ajakin dia buat ketemu mama lagi ya atau ajakin ke mall biar mereka bisa saling mengenal satu sama lain lebih jauh?" Sepertinya ide yang bagus Abrar pun mengirimkan pesan teks kepada Alya kalau misalkan besok dia akan mempertemukan ibu dan calon yang Insya Allah akan di nikahnya nanti.
Ia berinisiatif untuk menelpon Alya.
Alya
"Hallo, tumben kamu nelfon aku?"
"Kamu lagi ngapain? Besok kamu ada waktu nggak aku pengen ngajakin kamu ke rumah?"
Alya
Ekspresinya begitu terkejut sekali ketika mendengar ajakan untuk rumah kedua kali. "Ngapain aku ke rumah kamu lagi bukannya udah kemarin?" Pertanyaan macam apa ini seharusnya Alya merasa senang ketika ia sering untuk diajak ke rumah Abrar pacarnya itu tandanya Abrar serius.
"Kok kamu ngomongnya kayak gitu sih aku pengen kenalin kamu sama mama lebih jauh lagi biar mama tuh nggak salah sangka sama kamu."
Alya
"Salah sangka?"
"Enggak maksud aku, aku pengen kamu kenal lebih jauh aja sama mama biar lebih akrab dan lebih kenal aja satu sama lain. Kamu jangan salah paham dulu kamu mau kan nanti ke rumah?"
Alya
"Ya udah deh kalau gitu nanti aku ke rumah kamu ya."
"Ya udah kalau gitu. Kamu kalau misalkan pengen tidur jangan lupa berdoa ya semoga doa kamu diijabah sama Allah dan semoga tidur nyenyak dan mimpiin aku di tidur kamu yang indah itu."
Alya
"Apaan sih kamu suka banget gombal dari dulu nggak pernah berubah sama sekali."
"Hahaha ya iyalah aku nggak akan pernah berubah kan cintanya aku cuma kamu." Entah tahu kenapa ketika Abrar teleponan dengan Alya mood yang awalnya rusak dan nggak mood sama sekali berubah menjadi mood bahagia dengan cara yang sangat sederhana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments