Bab 3

Jika biasanya Shanin akan berangkat ke toko bunga tempatnya bekerja saat pagi hari, maka hari ini berbeda dengan hari yang sebelumnya, semalam dia meminta izin kepada bos nya untuk tidak masuk bekerja dengan alasan mempunyai acara keluarga.

Padahal keluarga saja sudah tidak punya, sedari kecil dia tidak tau dimana kedua orang tua kandungnya, dulu dia diadopsi oleh ibu angkatnya di sebuah panti asuhan, namun disaat usianya menginjak tujuh belas tahun, sang ibu angkat meninggal dunia karena sakit yang dideritanya.

Kini Shanin harus hidup sebatang kara dan bekerja dengan giat untuk membiayai hidupnya, setelah lulus sekolah menengah atas, Shanin langsung mencari pekerjaan kesana-kemari, padahal dari dulu dirinya benar-benar ingin melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.

Tapi apa boleh buat jika Tuhan belum berkehendak, dia hanya bisa berusaha untuk ikhlas menjalankan semua rencana yang diberikan oleh sang maha kuasa.

Alasan sebenarnya Shanin tidak berangkat ke tempat kerja hari ini adalah untuk membawa Samuel ke rumah sakit, lelaki itu dari semalam terus mengeluh sakit kepala dan juga kaki kanannya yang sakit.

Shanin melihat terlebih dahulu isi di dalam dompetnya, apakah akan cukup atau tidak untuk biaya pengobatan di rumah sakit nanti.

Pagi-pagi perempuan itu harus menghela nafas kasar melihat isi dompetnya yang hanya pas-pasan jika dipakai untuk biaya pengobatan lelaki itu di rumah sakit, syukur-syukur kalau pas-pasan, bagaimana kalau kurang?

Dengan senyum yang dipaksakan, Shanin keluar dari dalam kamar sudah dengan penampilan yang rapih, di kursi yang ada di meja belajarnya sudah ada Samuel dengan wajah jenuhnya.

"Ayo."

"Mau kemana?"

"Kita ke rumah sakit, kita cek keadaan kamu."

"Tidak usah, aku tidak punya uang."

"A-aku ada kok, pake uang aku." Shanin mengucapkan itu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Lelaki di hadapannya menghela nafas panjang. "Ya sudah, bantu aku berjalan."

Dengan sigap Shanin langsung membantu lelaki itu untuk berjalan keluar dari kontrakan, di depan kontrakan sudah terparkir motor kesayangan perempuan itu, yang nantinya akan membawa mereka berdua ke rumah sakit.

Perempuan itu teringat ketika dia merawat sang ayah, dulu ayahnya juga mengalami kesulitan berjalan karena sakit yang di deritanya, Shanin dengan senang hati membantunya saat hendak berjalan kemanapun.

"Pelan-pelan naiknya." Ucap Shanin saat lelaki itu mulai menaiki jok belakang motornya.

Saat lelaki itu sudah berhasil duduk di jok belakang, Shanin dengan cepat menyusul untuk duduk di depan.

"Udah siap belum?" Tanya Shanin kepada lelaki yang ada di belakangnya sebelum menyalakan mesin motornya.

Lelaki di belakang itu hanya berdeham untuk menanggapi pertanyaan yang diberikan oleh perempuan yang ada didepannya.

Mendapatkan respon seperti itu, Shanin tidak ingin ambil pusing. Perempuan itu langsung menyalakan mesin motornya dan kemudian menjalankan motor tersebut dengan perlahan.

***

"Tidak ada masalah serius pada pasien, hanya saja kaki kirinya mengalami keretakan, itu bisa membaik dalam satu atau dua minggu." Jelas seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaan Samuel kepada Shanin.

Mendengar hal itu membuat Shanin dapat menghela nafas lega.

"Tapi dok, dia sering ngeluh kalo kepalanya sakit."

"Ah soal itu, itu hanya karena terkena benturan yang cukup keras, tapi tidak ada yang perlu di khawatirkan tentang itu, saya akan memberikan resep obat untuk kaki dan juga untuk meredakan rasa sakit di kepalanya."

Shanin hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh dokter yang ada di hadapannya.

"Baiklah, ini resep obatnya. Anda bisa menebus di depan, sekaligus menyelesaikan urusan administrasinya."

Mendengar kata administrasi membuat Shanin lesu seketika, tapi dia berusaha untuk ikhlas demi membantu orang lain.

Tidak apa-apa jika bulan ini dia tidak bisa pulang ke kampung untuk berkunjung ke makam ayah dan juga bunda nya disana, masih ada bulan selanjutnya, dia mencoba untuk meyakinkan dalam hati.

Untung saja Shanin tidak punya tanggungan apapun, kontrakannya sudah dia bayar untuk bulan ini, tinggal membayar untuk bulan depan, dia bisa menggunakan gajinya di bulan depan untuk membayar kontrakan.

Mata perempuan itu melirik ke arah ranjang rumah sakit dimana terdapat seorang lelaki yang sedang terbaring disana, berjalan ke arah lelaki itu.

"Ayo, kita tebus obat buat kamu dulu di depan." Ajak Shanin kepada lelaki itu.

Mata mereka bertemu beberapa detik sebelum lelaki tersebut memutuskan tatapan itu, dia kemudian dengan perlahan turun dari atas ranjang dibantu oleh Shanin yang berada di sebelahnya.

"Hati-hati." Ucap Shanin sambil menggenggam tangan lelaki tersebut.

Setelah Samuel berhasil turun dari atas ranjang, Shanin dengan cepat mengambil tongkat yang akan dia beli dari rumah sakit ini kepada Samuel.

"Bisa gak pake nya?" Tanya Shanin yang melihat lelaki itu seperti kesulitan saat menggunakan tongkat tersebut.

Lagi-lagi lelaki itu hanya berdeham untuk menanggapi pertanyaan dari Shanin dan mulai berjalan mendahului perempuan itu yang mengikutinya dari belakang.

Dengan wajah yang kesal dan mulut yang komat-kamit, Shanin mengikuti Samuel dari belakang, sekalian berjaga-jaga jika lelaki itu terhuyung ke belakang.

Ya walaupun Shanin tidak yakin dapat menahan tubuh besar lelaki tersebut jika terjatuh nanti.

"Dimana tempat menebus obatnya?"

Lelaki yang sedari tadi berjalan di depan tiba-tiba bertanya kepada Shanin yang ada di belakangnya.

"Eumm.. kesini, ke sebelah kanan." Ucap Shanin dengan tangan yang mengarah ke arah koridor yang cukup ramai.

Tanpa menanggapi apapun, lelaki itu kembali berjalan dengan tongkatnya meninggalkan Shanin yang ada di belakangnya.

***

Rasanya Shanin ingin menangis melihat kwitansi pembayaran dari rumah sakit yang ada di tangannya, uangnya akan benar-benar habis setelah ini.

Menatap canggung ke arah Samuel yang ada di sampingnya, lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak enaknya, masih tetap dengan wajah datarnya.

Shanin mendengus kesal, bahkan kata terimakasih pun tidak dia dapatkan dari Samuel, walaupun sebenarnya Shanin sudah ikhlas membantu lelaki itu, tapi tetap saja.

"Ayo pulang."

Setelah mengatakan itu Shanin sudah melenggang terlebih dahulu meninggalkan Samuel yang ada di belakangnya.

Sedangkan tanpa Shanin sadari jika lelaki yang ada di belakangnya itu sedikit mengeluarkan senyuman tipis di bibir, meskipun itu hanya terjadi sebentar saja.

Samuel langsung menyusul Shanin yang ada di depannya, walaupun sedikit kesusahan karena harus dibantu oleh tongkat yang baru saja dibelikan oleh perempuan itu.

***

"Kita mampir ke pasar dulu ya, aku mau beliin kamu baju sekalian sama celana dan eumm.. ********** juga." Ucap Shanin sebelumnya menyalakan mesin motornya.

"Iya."

Hanya balasan itu yang Shanin dapatkan dari lelaki yang ada di belakangnya, setidaknya ini lebih baik daripada lelaki itu hanya berdeham padanya.

Motor yang mereka tumpangi melaju membelah jalanan siang yang terik hari ini, tidak dapat diragukan lagi sebanyak apa polusi di kota metropolitan ini.

Sepanjang perjalanan asap dari berbagai jenis kendaraan, membuat Samuel sesekali terbatuk-batuk, sedangkan Shanin sama sekali tidak masalah dengan hal itu, dia sudah terbiasa.

Motor milik perempuan itu sudah terparkir di sebuah parkiran pasar tradisional, sangat banyak sekali orang yang berlalu lalang, meskipun ini bukan hari libur, tapi pasar ini ramai, bagaimana jika dengan hari libur nanti?

"Kamu mau tunggu disini aja atau ikut ke dalem?" Tanya perempuan itu  memastikan pada lelaki yang ada di sampingnya.

"Ikut."

"Ya udah, ayo."

Shanin berjalan terlebih dahulu, menyelinap di sela-sela keramaian pasar, sedangkan lelaki di belakangnya harus dengan pelan-pelan berjalan menggunakan tongkat.

Samuel dapat bernafas lega saat berhasil keluar dari dalam kerumunan orang-orang dan langsung mencari keberadaan Shanin yang tadi ada di depannya.

Menelisik ke seluruh jajaran toko baju untuk menemukan keberadaan perempuan itu, matanya menangkap sosok Shanin di sebuah toko dengan tangan yang memegang baju, seperti sedang bernegosiasi dengan penjual.

"Lima puluh ribu gak dapet bu?"

"Belum bisa dek, mentok di tujuh puluh ribu."

"Mahal banget, kalo lima puluh ribu aku beli dua nih."

"Ya udah ambil deh lima puluh ribu kalo beli dua."

"Sebentar bu, aku tanya ke orangnya dulu mau warna apa."

"Sam! Kesini!"

Perempuan itu sedikit berteriak untuk memanggil lelaki yang sedang berdiri dengan radius beberapa meter darinya, mau tidak mau Samuel harus menghampiri perempuan tersebut.

"Liat deh baju ini, kamu pilih warna apa?"

"Terserah kamu."

Percuma saja Shanin memanggil lelaki itu untuk memilih warna bajunya, jika ujung-ujungnya tetap Shanin yang menentukan.

"Jadinya yang item sama yang biru ini aja deh bu."

Shanin pikir kedua warna itu akan cocok dipakai oleh Samuel, ya walaupun tidak cocok lelaki itu harus tetap memakainya karena memang tidak ada pakaian lain.

Setelah memberikan satu lembar uang berwarna merah itu kepada si penjual, Shanin kemudian mengajak Samuel untuk ke toko celana yang ada di seberang toko baju tadi.

"Kamu mau yang panjang atau pendek celananya?"

"Pendek."

Shanin mengangguk setuju dengan pernyataan Samuel, celana pendek merupakan pilihan terbaik untuk saat ini, mengingat kakinya yang masih terluka, pasti akan sangat merepotkan jika harus mengenakan celana panjang.

Membeli satu celana jeans dan tiga celana kolor untuk Samuel, Shanin melihat ke dalam dompetnya yang hanya tersisa tiga lembar uang seratus ribu, semoga saja cukup untuk satu minggu ke depan walaupun terasa mustahil.

Tiga ratus ribu adalah uang terakhir yang Shanin miliki, mungkin itu akan cukup untuk waktu satu minggu jika hanya dia sendirian yang menggunakannya, tapi kali ini berbeda, ada tanggungan lain yang dia miliki.

Sepertinya Shanin harus meminjam uang kepada teman kerjanya, siapapun itu yang dapat meminjamkan uang kepadanya.

Tanpa Shanin sadari, sedari tadi lelaki yang ada di sampingnya melirik ke arahnya sejak perempuan itu menghela nafas panjang sambil melihat ke dalam dompetnya yang hanya terdapat uang tiga ratus ribu.

Samuel mengerti apa yang sedang Shanin rasakan, tapi dia sama sekali tidak merasa bersalah ataupun semacamnya karena besok dia pastikan kalau dia akan mengganti uang itu.

Sebenarnya dompet milik Samuel masih ada di dalam saku celananya saat di tenggelam di dalam sungai dan dibantu oleh perempuan itu, untungnya saja kartu ATM miliknya masih ada disana.

"Ayo kita pulang."

Mendengar ajakan dari perempuan yang berjalan mendahuluinya membuat Samuel mengangguk kecil dan mulai mengikutinya dari belakang.

BERSAMBUNG.

Terpopuler

Comments

Wirda Lubis

Wirda Lubis

lanjut

2023-05-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!